Selasa, 22 Desember 2009

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka

Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang
ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya,
menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga
puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari
seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun
begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk
jasadnya.
Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya
mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering
merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya
seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah
tak bisa ditampik.
Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang
begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua
orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan,
kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini,
memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal
tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai
rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang
hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang
terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya.
Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya
dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang
lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya.
Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah
terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut,
menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap
teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan
kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan
ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan
kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan
5 4 Februari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
32 Laha collection
kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya
menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang
terlalu dalu.
Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala
jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang
ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu,
benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama
yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari
petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, "Habis
manis sepah dibuang", sungguh menemukan tamsil pada peti mati
itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini.
Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil
jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala
jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah
meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan
itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar.
Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut
berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan
pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati
membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau
mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. "Tanpa bunga dan
telegram duka," *) begitu teks lukisan tersebut.
Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah,
tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan
remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan
wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke
arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak
sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup
menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam
menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke
depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di
bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali
mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin
siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk
matanya.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 33
"Ba, tak kusangka," bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala
peti mati suaminya itu. "Oh, siapa yang menyangka bisa jadi
begini…?" Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang
mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.
Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak.
Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun
tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali
kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun
kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam
terhadap laki-laki di dalam peti mati itu?
Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batangbatang
kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka
adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan
oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang
menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki
yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang
terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa
pasrah menghadapi sebuah dendam.
Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan
yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah
komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-
an, ketika gencar-gencarnya "aksi sefihak" yang dilancarkan oleh
organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan
landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar,
harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undangundang
pokok agraria Republik.
Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang
memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah
merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani
tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki
yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang
membawa malapetaka menyusul pemusnahan "sampai ke akarakarnya"
terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh
para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan
massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
34 Laha collection
kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru,
ditendang ke dalam air.
Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali
kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan
tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak
memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan,
persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk
merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat
mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan.
Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas
tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah
mereka.
Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung.
Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah
mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan
entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah
mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku
dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan
pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan
perintah berdarah dingin: "Kirimkan mereka ke sekolah, ke
sukabumi… ya, bunuh mereka!"**)
Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota.
"Ba…," lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya.
Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu
banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya
berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun
yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki
yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.
Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk
militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan
lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang
melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang
dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa
mau dikata…
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 35
Menyusul pula kabar bahwa "Ba" datang sendiri di tengah malam,
mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah
persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep
penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari
rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas
militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang
menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia
mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada
yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan
perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan
Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena
jasanya.
Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan
yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua,
"Ba" terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian
mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut
menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang
diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai
eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di
situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya.
"Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab,
Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!" kata orang buangan
itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari.
Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang
lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali,
sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke
Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah
buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah
mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia
dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu
menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur
tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.
Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama
tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang
berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih
dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu.
Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
36 Laha collection
untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia,
dan suaminya, memungut anak.
Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang
ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang
melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia
temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak
yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia
melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi
gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya
tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di
rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.
"Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak
bersalah. Tapi, orang ini," ujar penggali kubur itu seraya menunjuknunjuk
peti mati, "bagaimanapun harus dihukum." Orang itu
berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah
cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. "Gunakanlah…,"
tukang gali itu membujuk.
"Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana
penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain.
Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia
juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh
belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat
kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu
kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap
teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…" Belum sempat dia
menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: "Kami tak
punya pilihan." Dan orang itu beringsut pergi.
Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah,
sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali
pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang
lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja
menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke
ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang
sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 37
dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya
ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati
suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk
menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan
sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. ***
*) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan Sulistyo, "Palu Arit Di Ladang Tebu".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar