Sabtu, 29 Januari 2011

Mengobati Penyakit Aneh

Kali ini kisah abu nawas akan menyajikan tentang cara mengobati penyakit aneh yang di derita oleh pangeran.

Al Kisah...
Sang Pangeran sedang sakit.
Puluhan tabib telah dikerahkan untuk menyembuhkan pangeran.
Namun...
Apa yang terjadi sungguh mengherankan karena jangankan mengobati penyakit pangeran.
Mengetahui penyakitnya saja tidak tahu.

Para tabib yang terkenal menyerah tanpa bisa berbuat banyak.
Maka tak ada jalan keluar, kecuali mengadakan sayembara.

Raja memerintahkan agar sayembara diumumkan secepatnya.
Sayembara ini boleh di ikuti oleh rakyat dari semua lapisan.
Tak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.

Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan ini dalam waktu beberapa hari saja berhasil menyerap ratusan peserta.
Namun dari ratusan peserta itu tak ada satu pun dari mereka yang berhasil mengobati sang pangeran.


Akhirnya...
Sebagai sahabat dekat, Baginda Raja Harun Al-Rasyid menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda Harun Al-Rasyid mengatakan bahwa salah seorang rakyatnya yang bernama Abu Nawas mungkin bisa menolong, karena selama ini belum pernah ada masalah yang tidak berhasil dipecahkannya.

Hayo...
Kena lagi tuh si Abu Nawas.
Harus mentaati perintah Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
Kalau tidak bisa, dipotong nanti kepalanya.
Hukuman pancung...

Raja sahabat Baginda Harun Al-Rasyid menerima usul itu dengan penuh harapan.
Abu Nawas pun segera diundang ke negeri tetangga.

Abu Nawas sadar sesadar-sadarnya bahwa dirinya bukan tabib.
Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa.
Para tabib yang ada di istana tercengang karena Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin diperlukan.

Mereka berfikir mungkinkag orang macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran ya.
Sedangkan para tabib yang terkenal dengan perlengkapan lengkap saja tak mampu mengobati penyakit sang pangeran, bahkan penyakitnya saja tak diketahui sakit apa.

Bisa tidak ya Abu Nawas Mengobati Penyakit Sang Pangeran.
Semua pandangan tertuju ke Abu Nawas, namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar sang pangeran yang sedang terbaring.
Ia menghampiri pangeran dan duduk di sisinya.

Dialog Abu Nawas.
Setelah Abu Nawas dan pangeran saling berpandangan beberapa saat, Abu Nawas berkata,
"Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering menyusuri pelosok negeri."

Dan orang tua yang di inginkan Abu Nawas didatangkan.
"Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan," perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.

Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya di dada sang pangeran.
Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur.

Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohong agar di izinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara.
Raja pun merasa heran.

"Engkau kuundang kesini bukan untuk bertamasya," kata Raja.
"Hamba tidak bermaksud berlibur yang mulia," jawab Abu Nawas.
Tetapi aku belum paham wahai Abu Nawas," kilah Raja.
"Maafkan hamba, paduka yang mulia, rasanya kurang bijaksana kalau hamba jelaskan sekarang," jawab Abunawas.

Rajapun akhirnya memberi ijin kepada Abunawas untuk pergi ke desa sebelah utara.
Selama 2 hari abunawas pergi, dan sekembalinya ke istana, dia langsung menemui sang pangeran.

Abu Nawas membisikkan sesuatu ke pangeran, kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran.
Lalu Abu nawas menghampiri raja.


"Apakah yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?" tanya Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" balas Raja bertanya.
"Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini," jelas abunawas.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Raja.
"Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan, tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini.
Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada baginda."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" kata Raja penuh ragu.
"Cinta itu buta Baginda, bila kita berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati."

Aha..
Rupanya saran Abunawas tidak bisa ditolak oleh Raja.
Sang Pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.

Abunawas benar.
Begitu mendengar persetujuan Sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih.
Sebagai tanda terima kasih, Raja memberi Abunawas sebuah permata amat indah..

Selamat ya Pak Abu..
Jangan lupa yang menulis ini diciprati sedikit saja permatanya ya....

Itulah kisah abu nawas yang mengobati penyakit aneh.
Maaf kalau ada kata yang kurang berkenan.
Ini kan hanya sebuah cerita, dongeng Abu Nawas belaka sob.

Kamis, 20 Januari 2011

Menjual Raja | Kisah Abu Nawas

Kisah Abu Nawas kali ini akan menceritakan bahwa si Abu Nawas menjual Rajanya.
Woo berani sekali ya si Abu Nawas ini.

Berikut Kisahnya:
Belum pernah Abu Nawas merasa menyesal dan seputus asa akhir-akhir ini.
Sudah 2 hari dapurnya tidak mengepul asap lagi karena tidak ada lagi barang yang busa dijual.

Sebenarnya Abu Nawas bisa saja menjual salah seorang dari teman-temannya untuk dijadikan budak oleh pembelinya.
Tetapi Abu Nawas tidak tega, apalagi kebanyakan teman-teman Abu Nawas adalah orang-orang yang miskin.
Namun bagaimanapun juga ia harus menjual manusia karena Abu Nawas sudah merasa tidak memiliki sesuatu barangpun yang patut untuk dijual.

Dengan tekat yang amat bulat, Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja.
Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang pantas untuk dijual.
Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya...

Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang ini giliran Abu Nawas menyusahkan Baginda Raja.
Akhirnya Abu Nawas menghadap Baginda Raja dan berkata,
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia," kata Abu Nawas memulai.
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung penasaran.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas dalam benak Paduka yang mulia," kata Abu Nawas meyakinkan.

"Kalau begitu cepatlah ajak aku kesana untuk menyaksikannya," kata Baginda.
"Tetapi Baginda...," lanjut Abu Nawas.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu," jelas Abu Nawas.


Karena begitu besar keinginantahuan Baginda Raja, maka Raja bersedia menyamar sebagai rakyat kecil seperti yang diusulkan oleh Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al-Rasyid berangkat menuju sebuah hutan.

Setibanya di hutan, Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ.
Sementara itu Abu Nawas menemui seorang kenalan yang pekerjaannya menjual budak.
Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh.

Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya.
Maka dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata.
Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan, ia merasa cocok.
Abu Nawas pun membuat surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.
Setelah itu Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di bawah pohon ketika pedagang budak menghampirinya.
Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya.
Baginda juga merasa heran kenapa ada orang lain di situ.

"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedang budak itu.
"Aku adalah tuanmu sekarang," kata pedagang budak agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja dalam pakaian yang amat sederhana itu.

"Apa maksud perkataanmu?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya," kata pedagang budak itu dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda dengan murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?"
"Tidak dan itu tidak perlu," kata pedagang budak itu dengan ketus.
"Aku adalah Rajamu, Sultan Harun Al-Rasyid," kata Baginda sambil menunjukkan tanda pengenal kerajaan.

Pedagang itu terperanjat dan mulai mengenal Baginda Raja.
Ia pun langsung menjatuhkan diri sembari meyembah Baginda Raja.
Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu.
Akan tetapi kepada Abu Nawas, Baginda amat murka dan gemas.
Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas.
Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti kertas hehe...

Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menagkap Abu Nawas.
Tetapi Abu Nawas telah raib entah kemana karena ia tahu sedang diburu oleh prajurit kerajaa.
Dan setelah Abu Nawas tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, barulah ABu Nawas berani pulang.

Abu Nawas mulai menceritakan kepada istrinya apa yang sebenarnya terjadi.
Abu Nawas akhirnya memutuskan untuk mengelabui Baginda dengan cara berpura-pura mati.
Abu Nawas hanya bisa berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.

Kini kabar kematian Abu Nawas mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Baginda sangat terkejut, marah dan geram sebenarnya.
namun juga merasa kasihan juga mendengar kabar kabar meninggalnya, mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawalnya menuju rumah Abu Nawas.
Setelah melihat tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja merasa terharu dan meneteskan air mata.
Beliau bertanya kepada istrinya.

"Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?" tanya Baginda.
"Ada Paduka yang mulia," jawab istri Abu Nawas sambil menagis.
"Katakanlah," kata Baginda.
"Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya di depan rakyat," kata istri Abu Nawas terbata-bata.

"Baiklah kalau itu permintaan terakhir Abu Nawas," kata Baginda menyanggupi.
Kemudian Baginda Raja mengumpilkan rakyatnya di tanah lapang dan berkata,
"Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini, aku Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan semua kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku.
Dan kalianlah sebagai saksinya," Ujar Baginda.

Begitu mendengar pengampunan dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid sendiri, Abu Nawas lekas-lekas beranjak dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bginda.
Haahaaa...
Ada saja ini si Abu Nawas triknya.

Minggu, 16 Januari 2011

Menangkap dan Memenjarakan Angin

Menangkap dan memenjarakan angin.

Itulah judul dari kisah abu nawas kali ini.
Rasanya kok sulit ya untuk dilaksanakan oleh Abu Nawas ini.

Al kisah...
Abu Nawas kaget bukan main saat seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya.
Ia diharuskan menghadap Baginda secepatnya.
Pikiran Abu Nawas bertanya-tanya, permainan apalagi yang akan dihadapi kali ini.

Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
GR langsung tuh Abu Nawas...

"Akhir-akhir ini aku sering mendapt gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku terkena serangan angin," kata Baginda memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil," tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Ia tidak memikirkan cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat.
Tida ada benda yang lebih aneh dari angin.
Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat.
Sedangkan angin tidak.

Parahnya lagi, Baginda hanya memberi waktu tidak lebih dari 3 hari.
Abu nawas pulang dengan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun Abu Nawas tidak begitu sedih.

Karena berpikir adalah sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan.
Ia yakin bahwa dengan berfikir akan terbentanglah jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Dan dengan berfikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin.
Karena tak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Akan tetapi sudah 2 hari ini si Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya.
Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja.
Abu Nawas hampir putus asa.
Abunawas benar-benar tidak bisa tidur walaupun hanya sekejap.

Mungkin sudah takdir, kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda.
Ia berjalan gontai menuju istana.

Nah...
Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia teringat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" guman Abu Nawas.
Ia langsung kegirangan dan segera berlari pulang.

Sesampainya di rumah, ia secepat mungkin segala sesuatunya kemudian menuju istana.
Di pintu gerbang istana, si Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin hai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan wajah berseri-seri.

Abu Nawas kemudian mengeluarkan botol yang sudah disumbat.
Kemudian botol tersebut diserahkan kepada Baginda.
Baginda Raja menimang-nimang botol itu sebelum bertanya lebih lanjut.

"Mana angin itu hai Abunawas?" tanya Baginda.
"Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda.
"Ampun Tuanku, memang angin tidak bisa dilihat, tetapi bila paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan.

Setelah tutup botol dibuka, Baginda mencium bau busuk.
Bau busuk yang sangat menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah.
"Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol.
Karena hamba takut, angin yang hamba buang itu keluar.
Maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," jelas Abu Nawas.

Akan tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal.
Untuk kesekian kalinya Abu Nawas selamat.

Jumat, 14 Januari 2011

Abu Nawas Mewujudkan Mimpi

Sebuah Kisah Abu Nawas yang cerdik mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.

Seandainya saja Abu Nawas mau, maka sudah sejak dulu ia menjadi kaya raya dan hidup makmur bersama anak istrinya.
Karena Abu Nawas berkali-kali memperoleh sepundi penuh uang emas.
Hadiah-hadiah yang melimpah ruah tersebut habis, karena dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sangat memerlukan.

Abu Nawas memang dikenal sebagai orang yang suka membela orang-orang yang lemah dan tertindas.
Suatu hari ada seorang laki-laki yang mengadukan nasibnya yang amat buruk.

Tak seorang pun berani menolong karena masalahnya melibatkan penguasa yaitu seorang hakim.
Maka ia disaranka agar minta tolong kepada Abu Nawas.

Laki-laki itu bercerita kepada Abu Nawas.
"Ketika tidur aku bermimpi berdagang dengan Tuan Hakim.
Aku membeli dagangan beliau dengan jumlah yang amat besar hingganilainya mencapai ribuan dinar.
Namum ketika aku melakukan pembayaran aku terjaga," kata laki-laki itu.

"Lalu apa masalahmu?" tanya Abu Nawas.

"Kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada teman dan tetangga.
Dan tak kusangka-sangka mimpiku itu tersebar kemana-mana.
Ketika Tuan Hakim mendengarnya, dia langsung ke rumah mencariku dan meyita rumahku dan isinya.
Dia tidak peduli walaupun itu hanya terjadi dalam mimpi.
Karena aku dianggap melanggar hukum.
Menurut dia, mestinya aku segera melaporkan tentang mimpiku kepadanya kemudian langsung melakukan pembayaran.
Kini aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.
Tolonglah aku Wahai Abu Nawas...," laki-laki itu bercerita.

Abu Nawas gemas mendengar pengaduan laki-laki itu.
Ia menyanggupi akan membantu laki-laki itu dan berjanji akan mengembalikan semua kekayaan yang telah dirampas oleh Hakim dengan semena-mena.

Abu Nawas mengumpulkan seluruh murid-muridnya.
"Kita wajib membantu orang yang memang memerlukan pertolongan.
Besok tepat setelah shalat subuh kita hancurkan rumah hakim yang terkenal zalim itu.
Sekarang siapkan peralatan yang dibutuhkan," kata Abu Nawas dengan serius.

Murid-murid Abu Nawas menyiapkan segala sesuatunya tanpa membantah sedikit pun.
Setelah mengerjakan shalat jamaah subuh, Abu Nawas bersama-sama muridnya berangkat menuju rumah Hakim.
Dan tanpa perintah lagi mereka mulai menggempur rumah Hakim.
Tuan Hakim yang sedang tidur lelap tiba-tiba terbangun karena kegaduhan itu.

Karena jumlah murid Abu Nawas yang begitu banyak, tuan Hakim tidak berani mencegah.
Ia berlari menuju istana untuk melaporkan kepada Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas pun segera dipanggil menghadap Baginda.

"Wahai Abu Nawas, benarkah engkau dan murid-muridmu ingin merobohkan rumah tuan Hakim?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa yang menyebabkan engkau berbuat begitu?
Bukankah engkau tahu bahwa perbuatan seperti itu tergolong tindakan pidana dan bisa dihukum?" tanya Baginda.

"Baginda yang mulia, sebenarnya yang menyebabkan hamba nekat berbuat begitu hanya karena mimpi," kata Abu Nawas menjelaskan.
"Hanya karena mimpi?" tanya Baginda hera.
"Betul Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Mimpi apa?" tanya Baginda penasaran.
"Hamba bermimpi telah membeli rumah tuan Hakim.
Hamba merencanakan rumah tuan Hakim yang telah hamba bayar itu untuk dijadikan masjid.
Dari itulah hamba memerintahkan murid-murid hamba untuk merobohkannya," jelas Abu Nawas.

"Undang-undang yang mana yang membenarkan perbuatyan seperti itu hai Abu Nawas?" kata Baginda mulai marah.
"Undang-undang yang dirancang oleh tuan Hakim sendiri, Baginda junjungan hamba," jawab Abu Nawas meyakinkan.
"Apa maksudmu?" tanya Baginda belum mengerti.

Abu Nawas lalu bercerita tentang nasib laki-laki yang malang itu.
Mendengar cerita Abu Nawas, Baginda Raja naik pitam.
"Ini betul-betul perbuatan yang tidak masuk akal.
Hai Hakim, benarkah apa yang diceritakan Abu Nawas?" tanya Baginda kepada hakim itu.

"Sepenuhnya benar Tuanku yang mulia," jawab tuan Hakim dengan tubuh gemetar.
"Engkau sebagai hakim mestinya tidak melanggar undang-undang.
Engkau seharusnya menjaga dan menerapkan undang-undang dengan baik dan adil.
Namun engkau dengan kekuasaan yang aku berikan malah merobek-robek keadilan dengan melakukan penyitaan harta orang lain hanya karena mimpi," murka Baginda kepada hakim.

"Ampun Baginda yang mulia," jawab Hakim.
"Itu adalah perbuatan yang paling memalukan yang pernah aku dengar.
Sekarang engkau harus mengembalikan semua harta dan rumah yang engkau sita kepada laki-laki itu," murka Baginda lebih lanjut.

Di samping harus mengembalikan harta dan rumah, tuan Hakim yang zalim itu juga mendapat hukuman dari Baginda Raja.
Abu Nawas telah mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan.
Hakim yang jahat.
Kok bisanya membuat undang-undang sendiri.
Memang berlian harus digosok dengan berlian.

Rabu, 12 Januari 2011

Dikalungi Api | Siksa Alam Kubur

Sebagai Selingan Akan Kisah Abu Nawas.
Ini ada sebuah kisah Siksa kubur yang diterima oleh orang kikir.

Diceritakan dari Ibnu Hajar bahwa ada serombongan orang dari kalangan Tabi'in yang pergi berziarah ke rumah Abu Sinan.
Baru sebentar tandang, Abu Sina mengajak ziarah ke tetangganya yang sedang berduka.

Berduka
Sesampainya di sana mereka mendapati saudara almarhum menangis karena sedih ditinggal mati.




"Apakah kamu tidak tahu bahwa kematian itu merupakan takdiq yang mesti dijalani oleh setiap orang?" tanya salah seorang tamu.

"Itu aku tahu. Akan tetapi aku sangat sedih karena memikirkan siksa yang telah menimpa saudaraku ini," jawab saudara almarhum.

"Apakah engkau mengetahui perkara yang ghaib?" tanya tamu lagi.
Saudara almarhum pun menceritakan pengalamannya saat berada di kuburan ketika semua orang telah pergi.

"Ketika aku menguburkan dan meratakan tanah saudaraku, di atasnya telah terjadi sesuatu yang menakutkan," ujar saudara almarhum.

Saudara almarhum melanjutkan ceritanya.
"Ketika itu orang-orang telah pulang, tapi aku masih duduk di atas kuburnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari jeritan dan rintihan dalam kubur.
Mereka tinggalkan aku seorang diri menanggung siksa.
Padahal aku mengerjakan puasa dan shalat. Jeritan itu betul-betul membuatku menangis karena kasihan.
Aku coba menggali kuburnya karena ingin tahu apa yang sudah terjadi di dalamnya."

Saudara almarhum pun terkejut bukan kepalang.
Ternyata di dalam kubur almarhum itu telah penuh dengan api.
Leher si mayat ada rantai dari apa.

Karena kasihan kepada saudaranya, dirinya mencoba untuk melepaskan rantai itu dari lehernya.
Tapi dirinya tak kuasa menolong lantaran tangannya terbakar saat mengulurkannya.

Tak Pernah Zakat
Untuk meyakinkan para tamu, saudara almarhum lantas menunjukkan tangannya yang masih hitam dan mengelupas kulitnya karena jilatan api dari alam kubur.

Saudara almarhum meneruskan ceritanya.
"Aku terus menimbun kembali kubur itu dengan tanah dan segera pulang ke rumah.
Bagaimana aku tidak menangis apabila mengingat kejadian itu?" katanya.

"Apa yang sudah dilakukan oleh saudaramu ketika di dunia?" tanya para tamu.
"Dia tidak pernah sekalipun mengeluarkan zakat hartanya," jawabnya.

Dengan jawaban tersebut, teman-teman Abu Sinan pun membuat kesimpulan tentang kebenaran ayat suci Al-Qur'an.

"Janganlah mereka yang bakhil itu menyangka terhadap rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka.
Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat." 

 

Selasa, 11 Januari 2011

Karena Cerdik Lolos Dari Maut

Abu Nawas lolos dari maut karena cerdik.
Abu Nawas memang terkenal cerdas dan cerdik dalam menghadapi suatu persoalan.
Begitu pula saat dirinya terhindar dari kekejaman seorang Raja yang telah banyak membunuh para ulama.

Kisah Abu Nawas selanjutnya adalah sebagai berikut:

Pada suatu masa, raja yang memimpin wilayah tempat Abu Nawas tinggal telah terjadi peperangan.
Dengan kemenangan perang tersebut berarti Raja telah memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun sudah banyak wilayah yang ditundukkan, namun Raja juga ingin menghabisi setiap nyawa para ulama dan kaum cendikiawan yang ada di wilayah barunya.

Ulama Diundang ke Istana.
Raja mengundang para ulama untuk datang ke istananya tanpa terkecuali kemudian dikumpulkan ke aula kerajaan.
Para ulama kebingungan ada apa sebenarnya mereka kok dikumpulkan.

Tak lama kemudian, Raja muncul dengan mengenakan jubah lengkap dengan membawa sebilah pedang panjang di tangan kanannya.
Raja kemudian melontarkan pertanyaan satu persatu kepada para ulama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja dengan bengis.

Para ulama yang hadir tak bisa menghindari tkadir yang telah digariskan.
Dengan pilihan yang diberikan oleh Raja, mereka meninggal dunia satu persatu di tangan Raja yang kejam.

Semua ulama tak memiliki pilihan yang lebih baik, begitu pula dengan jawaban para ulama yang pasrah oleh pilihan yang diberikan Raja.
Mereka tak bisa berbuat banyak.

Pertemuan Abu Nawas dan Raja Kali Pertama.
Setelah banyak korban yang berjatuhan, kini tibalah Abu Nawas yang diundang oleh Raja untuk hadir ke istananya.
Ini adalah perjumpaan resmi ABu Nawas yang pertama kalinya dengan sang Raja.

Namun, sebelum mendatangi istana, rupanya Abu Nawas sudah mendengar kabar tentang kekejaman Raja terhadap para ulama.
Tepat di aula ditengah-tengah istana, Raja yang sudah menanti kedatangan Abu Nawas kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja.

Abu Nawas mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir sejenak.
Tak berapa lama kemudian, dengan kecerdikannya selama ini, Abu Nawas pun menjawab pertanyaan Raja.

"Sesungguhnya, kami para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang yang lalim dan abai.
Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami," jawab Abu Nawas.

Setelah berfikir sejenak, Raja pun mengakui kecerdikan Abu Nawas.
Raja pun akhirnya membebaskan Abu Nawas, begitu pula para ulama lain.
Itulah sebuah kisah dan dongeng Abu Nawas kali ini.

Minggu, 02 Januari 2011

OFF Sementara

Kisah Abu Nawas akan OFF untuk sementara.
Doakan agar bisa bergabung kembali lain waktu.

Admin Kisah Abu Nawas ingin mengucapkan terima kasih kepada sobat-sobat yang sudi nongkrong di blog ini.

Seringkali Kisah Abu Nawas ini BW dan selalu koment.
Komen walau hanya 2 kata menurut admin adalah sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah menyampaikan pikiran, menulis dan mempublishnya.

Kisah Abu Nawas sangat menghargai sobat yang sudi bertukar link.
Blogroll yang ada di sidebar itulah penyemangat untuk BW.
Rajin aku kunjungi.

Admin Kisah Abu Nawas juga meminta maaf kalo ada salah selama ini ya...
Entah disengaja atau pun tidak.

Salam...
Admin Kisah Abu Nawas.

Uang Receh

Uang receh adalah uang yang nilainya relatif kecil. Uang kembalian pecahan lima ribu ke bawah kadang kita anggap akan merepotkan karena bikin penuh saku atau dompet. Buat  mereka yang tidak telaten dalam menyimpan uang receh lalu meletakkannya dimana saja, maka mereka akan mendapati uang receh bertumpuk dalam jumlah besar.

Bila uang receh kurang terurus maka dia akan ada dimana-mana. Ada yang di atas meja, di atas lemari, di saku jaket, di dalam tas atau bertumpuk di dalam laci. Uang receh dalam jumlah banyak tentu merepotkan saat kita ingin menggunakannya untuk membeli sesuatu yang nilainya besar. Segepok uang harus dibawa untuk membayarnya.

Namun kadang-kadang kita ingin memiliki uang receh karena kebutuhan tertentu yang bersifat rutin. Seperti bayar parkir atau naik angkot yang ingin kita bayar dengan uang pas. Hal itu saya alami saat ini. Setelah kuliah di UI Salemba, saya harus kuliah lagi di UI Cikini. Biasanya saya naik bajaj ke sana. Bayarnya antara tujuh hingga sepuluh ribu rupiah.

Kalau saya ingin bayar tujuh ribu, maka saya harus menyiapkan satu pecahan lima ribuan dan satu pecahan dua ribuan atau dua pecahan seribuan. Karenanya uang lima ribu dan dua ribu adalah pecahan favorit yang sangat saya butuhkan saat kuliah di UI pada hari Kamis, Jumat dan Sabtu.

Uang pecahan yang saya dapat selama di Bandung dari hari Minggu hingga Rabu akan sangat berguna kala saya kuliah ke UI. Tentunya dengan kondisi seperti itu uang pecahan adalah kebutuhan bagi saya. Uang pecahan bukan lagi merepotkan tapi sangat berguna bagi saya. Bolak-balik kuliah dari Mikrobiologi Klinik UI Cikini ke UI Salemba, IHVCB (Institut of Human Virus and Cancer Biology) atau ke Eijkman (Lembaga Biologi Molekuler Eijkman) sangat terfasilitasi dengan keberadaan uang pecahan untuk membayar bajaj.

Bila kita punya kebutuhan uang receh secara rutin, maka banyaknya uang receh yang kita terima tidak begitu bermasalah. Namun bila kita jarang butuh uang receh, maka ada potensi uang kita akan menumpuk dalam bentuk recehan. Tanpa kita sadari uang kita akan akan mengendap dalam bentuk recehan (Undil -Nopember 2010).