Selasa, 22 Desember 2009

Lampu Ibu

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu.
Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan
sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak
dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.
"Antar aku dulu menengok abangmu," ujar beliau saat kujemput di
SoekarnoHatta. "Besok-besok aku menginap di rumah si Nina." Ia
selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan
memanggil anak-anak kami "cucuku". "Nina dan cucu-cucuku
sehat?"
"Sehat," kubilang. "Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore
kuantar…."
"Tak penat aku!" tukasnya keheng, keras kepala. "Terus sajalah."
Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat?
Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya
seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau;
melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baikbaik,
mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi
yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik
jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa
lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempotempo,
jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam
masalah.
Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan
juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana
bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut,
seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon.
Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak,
cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga
4 28 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 25
tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk
dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut
itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam....
Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal
terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku
menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke
samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur.
Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku
di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya
melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.
"Libur kau, Man?" tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja
ke mana-mana.
Ia tergeragap. "Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!"
"Kuliahmu lancar?"
"Lancar." Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di
kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana
kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat.
Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. "Sudah dua hari
tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?" tanya beliau suatu
pagi.
"Naik gunung," jawab Kak Leila. "Diajak kawan-kawannya."
"Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?"
"Ala, tak apa-apa Bunda," adikku Rosa menyahut. Maksudnya
membantu Kak Leila. "Biasa itu, anak laki-laki."
"Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?"
ujar bunda.
Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila
berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu
memanggilnya, berucap lunak, "Elok-elok kau jalani umur muda
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
26 Laha collection
Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak
mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat
pula, serupa mayat!" Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman
bermalam di kantor polisi.
Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang
berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang
berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi
Grogol. Lalu Slipi.
"Kurang dingin AC-nya Bunda?"
"Cukup." Dan diam lagi, memandang jalanan.
Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak
membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri
saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia
ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih
sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi,
dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi
manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi
beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas
ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu
manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia
ucapkan?
"Bagaimana abangmu sekarang?" Bunda melepas pandang dari
jalanan.
"Baik saja. Tak apa-apa," kubilang.
"Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?"
suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, o, pulang dari rumah sakit." Tiba-tiba aku jadi gugup.
Dan bunda menyergap pula, "Sudah pulang abangmu dari rumah
sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 27
Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki
abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban.
Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. "Sudah, sudah," kubilang.
"Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja." Kusodorkan HP
ke bunda. "Nina, Bunda. Mau bicara." Mudah-mudahan lama,
tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.
Lalu, suara bunda: "Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih
kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucucucuku?
Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah
kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian
itu dulu…."
"Apa kata Nina, Bunda?" Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu
berakhir.
"Biasalah," ia bilang. "Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar
istrimu."
"Nina manajer pemasaran, Bunda."
"Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga.
Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?"
Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan,
karena bunda lantas bertanya, "Mengapa kau ketawa?"
"Tentu punya waktu," kataku. "Buktinya aku kini tak ke mana-mana,
Bunda."
"Bukan hanya karena hendak menjemputku?"
Aku menggeleng. "Syukurlah," ujarnya. "Aku cuma khawatir.
Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia
alami seperti keponakanmu, Aida."
Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap
dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut.
Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
28 Laha collection
serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara
dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta.
Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai
Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar
berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat
semua orang sibuk kasak-kusuk. "Jangan kalian berahasia lagi.
Ceritakan apa yang terjadi!" katanya meradang.
Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda
tetap bertaut. "Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!" ujarnya
keras. "Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan
tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu
nasibnya!"
Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke
Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah
Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun
gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam
terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin
berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak
ketahuan rimbanya.
Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus
keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia
mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas
mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine
yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi.
"Sudah sampai belum?"
"Sudah, sudah."
"Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?" tanyanya
antusias.
"Belum tahu. Aku di kakus, kencing."
"Dasar!"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 29
"Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak
diam. Nanti saja aku kabari."
Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan
agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara
Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan.
"Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila
mendustai Bunda," dia bilang.
"Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa
berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?"
"Tidak sesederhana itu, Bunda."
"Di mana rumitnya?"
Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik
napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. "Aku punya
atasan, Bunda," ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak,
hampir menyerupai bisik. "Aku punya kawan. Aku juga kader
partai.…"
Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar
suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.
"Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam," sahut bunda
kemudian. "Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan
sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja,
dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat
pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan
negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah."
Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan
berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang
bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.
"Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu." Bunda
mengedarkan senyum, juga kepadaku. "Apalagi kau, Palinggam,
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
30 Laha collection
kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu
terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya."
Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian
berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelapkelip
mercu suar di malam gulita penuh badai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar