Minggu, 17 Januari 2010

Cerpen Kisah Perjalanan Amara dan Eyang

Amara Hilda terheran-heran ketika Eyang Putri (nenek) justru mengajaknya ke kebun saat dirinya minta diantar ke pasar untuk membeli jajanan. Tangan kanan Eyang memegang galah bambu, sementara tangan kirinya menuntun tangan gadis kecil berusia 5 tahun itu. Ada belasan pohon pisang yang berbaris rapi di sisi kanan kebun. Perempuan itu dengan cekatan bergerak mendekati satu pohon pisang yang buahnya nampak mulai menguning.

Eyang mempergunakan galah bambu untuk mengunduh pisang. Ujung bambu yang runcing itu ditusuk-tusukkan ke bagian atas batang pisang, tepat di bawah untaian buah yang satu dua telah berubah menjadi kuning. Tak berapa lama kemudian pohon pisang mulai merunduk, dan perlahan-lahan condong ke bawah hingga buahnya menyentuh tanah.


picassos-girl-with-dove
(paintingsilove.com)

Dengan gesit Eyang memotong tandan pisang dengan pisau yang tajam berkilat. Beberapa sisir pisang yang telah dipotong itu lalu dimasukkan ke dalam wadah anyaman bambu.

Berikutnya Eyang mengajak Amara melihat petarangan Si Blorok, nama ayam kampung betina peliharaan Eyang. Petarangan adalah tempat khusus yang disediakan Eyang untuk tempat bertelur ayam-ayamnya. Dihitungnya telur-telur yang ada di petarangan Si Blorok, ada 8 butir. Eyang mengambil 5 butir dan menyisakan 3 butir.

Eyang beralih ke petarangan Si Putih dan mengambil 4 butir telur. Pada petarangan Si Brintik, Eyang mengambil 6 butir telur. Dengan hati-hati telur-telur itu ditempatkan pada tempat telur berbentuk persegi dengan lekukan-lekukan yang masing-masing berukuran satu telur pada posisi berdiri.

“Kita jual pisang dan telur, nanti uangnya kita belikan barang-barang yang kau inginkan!” kata Eyang pada Amara

Amara mengangguk tanda setuju. Baru pertamakali ini dirinya membeli sesuatu dengan terlebih dahulu menjual sesuatu untuk mendapatkan uang. Heran dan senang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana rasanya yah mendapatkan uang dari menjual sesuatu?. Sebentar lagi dirinya bakal merasakannya.

^_^

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke pasar. Eyang membawa pisang dan telur pada satu keranjang besar dari anyaman bambu yang ditenteng dengan tangan. Sementara Amara mendorong roda dorong mini yang berisi dua sisir pisang.


Eyang telah berkata pada Amara untuk belajar mendapatkan uang dengan tangannya sendiri. Amara-pun telah setuju dengan hati berbunga-bunga membayangkan akan mendapatkan uang dengan kerja sendiri. Makanya dia tidak mengeluh saat harus mendorong roda kecil bermuatan pisang menuju ke pasar.

Seorang tukang cukur menyapa Eyang tatkala mereka lewat di depan kiosnya. Amara dengan riang menceritakan bahwa dirinya sedang mencari uang untuk beli makanan kecil. Si Tukang Cukur tertawa senang mendengar kata-kata Amara yang penuh semangat. Katanya kelak bila cucunya telah seumuran Amara, akan dilatihnya mencari uang dengan sekali-kali membantunya membawakan bedak & handuk di kiosnya.

Seorang tukang sepatu menyapa Cucu dan Nenek itu kala mereka lewat di depannya. Eyang balas menyapa sambil menceritakan tentang Amara yang baru pertamakali akan menjual sesuatu ke pasar. Wajah tukang sepatu tampak terkejut, tapi kemudian tertawa melihat dua sisir pisang di roda dorong Amara. “Wah-wah semoga pisangnya cepat laku di pasar yah!” katanya sambil menepuk-nepuk kepala Amara. Gadis kecil yang bersekolah di TK itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya akan menjual dua sisir pisang untuk mendapatkan uang buat jajan.

Ketika melintas di hadapan nenek tua yang berjualan beberapa buah pot tanah liat, Eyang berhenti sebentar. Dia duduk di depan nenek tua itu sambil bercakap-cakap. Sesaat kemudian Eyang mengeluarkan satu sisir pisang & dua butir telur, lalu mengulurkan pada nenek tua itu. Wajah nenek tua yang tadinya murung tiba-tiba berseri-seri sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Eyang.

Amara kaget, kenapa pisang dan telur yang akan dijual malahan diberikan pada nenek tua itu. Tapi Eyang tersenyum sambil menggandeng Amara meninggalkan tempat itu.

Sambil berjalan Eyang menjelaskan bahwa nenek tua itu telah berjalan sejauh 10 km sambil menggendong 5 buah pot bunga dari tempat pembuatannya. Pot-pot yang dia jual belum tentu laku dibeli orang, jadi Eyang memutuskan untuk memberikan pisang dan telur buat makan si nenek selama menunggu dagangannya. Nanti sepulang dari pasar, jika masih tersisa uang, Eyang juga bermaksud membeli dua buah pot yang dijual seharga 5 ribu rupiah itu.

Amara yang sebelumnya mau marah, berubah jadi sedih. Diam-diam air matanya menetes karena terharu atas kerja keras yang harus dilakukan nenek tua demi mendapatkan makanan. “Andai dia punya kebun pisang atau punya ternak ayam tentu tidak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan uang” kata Amara dalam hati.

Berikutnya mereka melewati seorang penjual pakaian dan perlengkapan sehari-hari yang memajang dagangannya pada sebuah mobil pickup terbuka. “Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga” teriak orang itu sambil mengacung-acungkan handuk pada orang-orang yang melintas di dekatnya. Beberapa orang nampak tertarik lalu melihat-lihat dagangan orang itu. Amara tampak juga tertarik lalu berbisik pada Eyang. “Yangti, murah banget handuknya. Ntar kita beli yah!”

Namun Eyang tersenyum lalu mengatakan bahwa sesuatu yang berharga murah tetap merupakan pemborosan bila Amara membelinya saat tidak membutuhkan. “Jangan lihat harganya mahal atau murah, tapi lihatlah apakah kita membutuhkan” katanya

Amara mengangguk-angguk tanda setuju. Dirinya memiliki lebih dari lima buah handuk. Jadi tidak butuh handuk baru lagi. Lebih baik uangnya buat keperluan yang lain saja.

Saat lewat di depan tukang ikan hias, terdengar teriakan-teriakannya menawarkan beberapa ikan koki mungil dalam plastik. Amara tersenyum karena teringat ada banyak ikan koki besar di kolam depan rumah nenek. Dirinya tidak membutuhkan ikan-ikan itu, tapi dia tertawa senang melihat ikan-ikan kecil yang lucu itu. Tangannya menepuk-nepuk plastik ikan dengan riangnya sampai-sampai si Tukang Ikan tertawa geli melihatnya.

^_^

Akhirnya sampailah mereka di pasar. Eyang mengajak Amara ke Tukang Pisang yang berada di pojok utara pasar. Satu demi satu pisang dikeluarkan dari tasnya. Disusul dua sisir pisang dari roda dorong Amara di berikan ke Tukang Pisang. Ada 9 sisir pisang yang ditawarkan kepada pedagang itu. Si Tukang Pisang nampak mengamat-amati pisang-pisang tersebut, sejenak kemudian dia menyebutkan harga untuk ke-9 sisir pisang.

Eyang nampak belum setuju dengan harga yang ditawarkan Tukang Pisang. Setelah tawar menawar sejenak, akhirnya mereka sepakat dengan harga pisang delapan ribu rupiah satu sisirnya. Berarti untuk 9 sisir pisang Amara dan Eyang mendapatkan uang 72 ribu rupiah.

Setelah itu Eyang mengajak Amara ke Tukang Jamu untuk menjual telur. Satu telur ayam kampung langsung dihargai 1500 rupiah oleh tukang jamu, sehingga dari 12 telur yang dibawa, mereka mendapatkan 18 ribu rupiah. Dengan demikian sekarang mereka berdua punya uang 90 ribu rupiah dari penjualan pisang dan telur. Eyang tampak berseri-seri sambil mengucapkan Alhamdulillah atas rizki yang dikaruniakan Allah pada mereka berdua.

Sejenak kemudian Amara telah diantar Eyang ke tukang jualan jajanan pasar. Namun kali ini Amara tidak bermaksud membeli banyak-banyak seperti biasanya. Dia berhitung dari dua sisir pisang yang dibawanya dia hanya mendapat 16 ribu rupiah. Jadi dia bermaksud membeli jajanan kurang dari jumlah itu.

Amara memilih dengan hati-hati makanan yang akan dibelinya. Tiap kali dia berhenti dan menghitung jumlahnya. Dibandingkannya dengan uang yang dihasilkannya. Setelah beberapa lama Amara telah membeli wajit, cenil, tiwul, gatot, kue pukis, grontol jagung dan gethuk. Semua makanan yang diinginkannya telah dibeli. Uang yang dikeluarkan tak lebih dari 10 ribu rupiah. Eyang tersenyum geli melihat tingkah laku Amara. Setelah Amara selesai berbelanja, Eyang membeli tambahan beberapa gethuk dan kue-kue untuk dimakan ramai-ramai di rumah.

Kemudian Eyang menggandeng Amara pergi ke tukang sayur untuk membeli sayur-sayuran, tempe, tahu dan satu butir kelapa yang telah diparut. Lalu mendatangi Tukang Beras untuk membeli ketan hitam dan kacang hijau untuk sarapan besok pagi.

Ketika berjalan di dekat seorang berkakinya lumpuh -- yang sedang duduk menunggui dagangan berupa sandal-sandal yang terbuat dari kayu -- Eyang menghampiri orang itu. Sesaat kemudian dipanggilnya Amara untuk mencoba sandal kecil dari kayu. Amara tampak gembira sekali mendapatkan sandal kayu yang telah dilukis warna-warni itu. Diam-diam dirinya tahu bahwa Eyang bermaksud menolong orang yang menjual sandal kayu itu. Dia membayangkan teman-teman orang itu di kampung pastilah menunggu dengan harap-harap cemas atas hasil penjualan sandal-sandal kayu buatan mereka.

Saat melewati masjid kecil yang terletak di sisi barat pasar, Eyang memanggil seorang kuli angkut dan menyuruh kuli itu untuk mencuci karpet masjid sambil mengulurkan uang 20 ribu rupiah. Si kuli tampak senang dan dengan cekatan mengeluarkan dua karpet dari dalam masjid dan mencucinya di sumur umum tak jauh dari masjid. Amara bermaksud ikut orang itu mencuci karpet, namun dilarang oleh Eyang karena bajunya nanti basah. Jadi Amara hanya mengamati orang itu mencuci karpet dengan mempergunakan sebuah sikat besar hingga nampak bersih, lalu menjemurnya.

Dalam perjalanan pulang Eyang mampir ke rumah seorang sahabatnya yang tinggal di selatan pasar, sambil membawa satu bungkus gethuk sebagai oleh-oleh. Sahabat Eyang itu berkata pada Amara bahwa mereka berdua telah bersahabat sejak kecil. Mereka pernah sama-sama merantau kala sekolah SGA di Jogja dan kini berkumpul kembali di kampung halaman. Belakangan ini mereka berdua tengah berencana membuat tempat penitipan bayi dengan biaya murah di pasar. Tujuannya untuk melayani padagang-pedagang kecil yang memiliki bayi, agar bayi mereka tetap ada yang memperhatikan pada saat ibunya sibuk berdagang.

Lima belas menit kemudian mereka berpamitan pada Ibu tua yang baik hati itu dan melanjutkan perjalanan pulang. Eyang menyempatkan diri mampir ke nenek tua pedagang pot bunga untuk membeli dua buah pot seharga 10 ribu rupiah. Rencananya Eyang akan mempergunakan pot itu untuk memindahkan cabe rawit yang ditanam di kebun belakang. “Biar lebih mudah dipetik bila di taruh di dekat dapur” kata Eyang pada Amara. Nenek tua penjual pot nampak berseri-seri melihat dagangannya dibeli.

Amara menggamit tangan Eyang, sambil minta Eyang memberikan lima ribu rupiah sisa uang penjualan dua sisir pisang untuk membeli satu buah pot bunga. Amara ingin mengambil beberapa melati yang wangi dari kebun belakang untuk ditanam di dalam pot itu. Si nenek tua tampak bahagia sekali melihat Amara membeli satu buah potnya yang tersisa. Dia bercerita bahwa beberapa saat yang lalu ada seorang Bapak yang membeli dua buah potnya, sehingga kini lima buah pot semuanya telah laku terjual. Hari ini dia bisa pulang cepat karena dagangannya telah laku semua

Amara terharu sampai meneteskan air mata melihat kegembiraan di wajah nenek itu. Baru disadari bahwa dirinya jauh lebih beruntung dibanding si Nenek tua yang sudah lanjut usia masih harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Sementara dirinya dapat hidup berkecukupan tanpa perlu berkerja. Amara juga takjub, bahwa sedikit saja bantuan dari dirinya sudah cukup untuk membuat nenek tua itu nampak bahagia sekali.

Amara dan Eyang melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Liburan kali ini benar-benar liburan yang istimewa buat Amara. Dirinya mendapatkan banyak pengalaman baru, mulai dari bagaimana mendapatkan uang, cara membelanjakan uang dan mempergunakan uang untuk menolong orang lain. “Kapan lagi yah aku bisa liburan sehebat ini?” kata Amara Hilda dalam hati (undil – 2010)

tags: contoh cerpen, contoh cerita pendek, cerita anak, cerpen



Tidak ada komentar:

Posting Komentar