Jumat, 30 Oktober 2009

Musibah2

Menjelang tengah malam. Ponsel dekat "bedlamp" bergetar. Terlalu
lama untuk sebuah pesan pendek. Di perbatasan antara terjaga dan
bermimpi, Budiman berdecak kesal sekaligus meraih ponselnya.
Telepon dari Mbak Lita? Di malam selarut ini?
"Halo...." "Budiman? Cepat setel televisi! Laporan khusus!"
Lalu, terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang
ditutup.
Budiman malas-malasan meraih remote control dan menghidupkan
televisi. Pas di channel yang menayangkan sisa laporan khusus.
Tampak seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun dalam
posisi membelakangi kamera digiring dan dikawal belasan petugas
kejaksaan dan kepolisian memasuki sebuah mobil tahanan yang
parkir di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Puluhan wartawan
berbagai media merangsek berusaha mendekati pria tua ini,
melontarkan berbagai pertanyaan yang tak begitu jelas terdengar.
"Siapa yang menelepon?"
Budiman tak menjawab pertanyaan istrinya yang ikut terjaga sebab
seluruh konsentrasinya sedang terpusat untuk mengingat- ingat,
siapa gerangan sosok pria tua yang serasa begitu dikenalnya itu.
Sayang, kamera terus mengikutinya dari belakang hingga wajahnya
tak kunjung tampak. Barulah ketika pria tua ini memasuki mobil
tahanan, kamera bergerak sedemikian rupa hingga berhasil
mengambil closeup-nya.
"Pakde Muhargo...!"
2 14 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 11
Budiman cepat-cepat mengambil ponselnya lagi. Menelepon balik ke
ponsel Mbak Lita. Tidak aktif. Dicobanya langsung ke rumahnya di
Batam. Tak ada yang mengangkat.
"Coba saja tanya Mbak Rina."
"Sudah sebulan ini dia tinggal di Amerika. Aku nggak tahu nomor
teleponnya."
"Kenapa nggak langsung nelpon ke rumah pakde aja?"
Budiman terdiam. Saat ini suasana rumah pakde pastilah sangat
tidak kondusif untuk menerima telepon dari luar. Dan sebelum ia
memutuskan untuk menelepon atau tidak, ponselnya sudah lebih
dulu berbunyi, berturut-turut atas masuknya belasan pesan pendek.
Dari saudara-saudara dan teman-teman dekat, yang semuanya
bicara tentang penahanan atas diri Pakde Muhargo. Ada yang
sekadar mengabarkan yang baru saja tertayang di televisi, ada yang
mengajak semua berdoa untuk keselamatan beliau, ada yang
mengutuk tindakan kejaksaan yang "biadab", dan sebagian terbesar
mengimbau agar para sanak saudara berkepala dingin dan tetap
tenang karena "sekarang ini penahanan memang lagi ngetren dan
lebih besar muatan politisnya daripada benar-benar untuk
menjunjung supremasi hukum". Namun, Budiman paling tertarik
dengan pesan pendek dari sebuah nomor yang tak dikenalnya, yang
menyebutkan bahwa Bude Muhargo dirawat di paviliun VVIP
sebuah rumah sakit internasional di Cikarang.
"Eh, Budiman.... Sini, sini."
Budiman menghampiri budenya yang segera bangkit dari tempat
tidur.
"Tidak usah duduk, bude. Tiduran saja."
"Kamu pikir aku sakit?" tanya budenya sambil tersenyum. "Aku
menginap di sini atas saran Nak Ustadz Ramadan ini. Supaya
terbebas dari kejaran wartawan."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
12 Laha collection
Seorang lelaki muda bersurban putih berwajah bersih yang berdiri
tak jauh dari tempat tidur bude tersenyum hormat pada Budiman
dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Ramadan."
"Budiman."
"Pengasuh pondok pesantren Janturan, yang didirikan pakdemu
setahun lalu di Yogya," kata bude menjelaskan. "Pakde melihat tata
susila di kota pelajar itu makin lama makin memprihatinkan, dan
terdorong untuk menyumbang karya nyata yang diharapkan
minimal bisa menghambat laju kemerosotan moral di kalangan
generasi muda. Eh, kok kebetulan ketemu dengan Nak Ramadan
yang punya perhatian sama terhadap pembinaan anak-anak di sana.
Ya, jadilah pesantren itu."
"Oh...." Budiman mengangguk- angguk, sementara dalam hati ia
merasa telah keliru menilai situasi. Semula ia membayangkan bude
berbaring dengan jarum infus, pipa oksigen berikut segala macam
kabel peralatan kedokteran menempel di bagian tubuhnya. Semula
ia mengira akan melihat bude dengan tatapan mata menerawang ke
arah langit-langit ruangan, dengan air mata yang diam-diam
membasahi pipi, dan bicara dengan suara terbata- bata. Nyatanya,
beliau bicara sangat lancar. Kualitas suaranya tetap jernih.
Ketenangannya tetap terjaga. Bahkan terlalu tenang untuk situasi
yang mestinya sangat depresif ini.
Menjelang saat sarapan tiba, Ustadz Ramadan berpamitan dan
secara amat hati-hati bicara. "Kalau sekiranya subsidi dari Bapak
buat pesantren untuk sementara dikurangi atau bahkan dihentikan,
Insya Allah kami siap berswadaya."
"Oh, tidak, tidak. Sejak mulai berurusan dengan kejaksaan, Bapak
selalu berpesan bahwa subsidi buat pesantren sudah merupakan
komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar, dan dengan cara apa pun
Bapak akan tetap menjalankan komitmennya. Jadi Nak Ramadan
tidak perlu risau oleh kondisi yang sedang dihadapi Bapak saat ini."
Sepeninggal Ustadz Ramadan, barulah bude menghela napas
panjang.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 13
"Zaman sekarang lebih dari zaman edan, Bud. Semua orang lagi
pada mabuk kepingin jadi pahlawan. Tapi karena sudah terlalu lama
jadi orang miskin, yang paling gampang dijadikan musuh ya orangorang
yang punya rezeki lebih, seperti pakdemu."
"Boleh tahu, bude, apa yang dituduhkan kejaksaan pada pakde?"
"Cerita lama, Bud. Penyalahgunaan yayasan Mangayu Bagyo,
pembangunan hotel di Bogor dan Kintamani, yang katanya izin
bangunannya tidak sesuai peruntukan, mark-up dana pembelian
kapal-kapal patroli buat angkatan laut, dan... apa lagi, gitu, aku
malah tidak ingat semuanya. Terlalu banyak, Bud. Terlalu banyak
orang yang ingin kebagian rezeki dengan cara-cara yang tak kenal
malu hingga segala sesuatu yang sudah semestinya malah diutakatik,
diobok-obok, supaya seolah-olah ada masalah. Lalu, ahli-ahli
hukum yang katanya pinter-pinter itu berebut menyumbang
kepintarannya dengan cara menafsir-nafsir pasal-pasal hukum
hingga yang selama ini dianggap benar bisa jadi salah, yang selama
ini tidak melanggar hukum bisa dianggap melanggar hukum.
Memalukan, Bud, memalukan sekali orang-orang seperti itu. Sampai
hati menistakan diri sendiri demi uang yang tak seberapa nilainya."
Tidak seperti biasanya, selewat tengah malam Budiman terjaga
untuk melakukan salat tahajud. Tak kurang dari sejam ia berdoa dan
terus berdoa, memohon pada Tuhan agar Pakde Muhargo diberi
kekuatan lahir dan batin menghadapi situasi yang absurd ini.
Budiman sungguh tak rela kalau pakdenya yang sangat
dihormatinya itu sampai benar-benar dimejahijaukan dan dipenjara.
Bagi Budiman, Pakde Muhargo memang segala-galanya. Lebih dari
sekadar kakak almarhum ayahnya, beliau adalah seorang panutan,
sesepuh sekaligus "juru selamat" bagi kehidupan pribadi dan rumah
tangganya. Budiman tak akan pernah melupakan masa remajanya,
yaitu setelah lulus SMP pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah
pakdenya ini. Setiap pagi ia bangun jam setengah lima untuk
mengepel lantai, mencuci mobil, dan menyapu taman sebelum ia
mandi dan bergegas berangkat sekolah dengan mengejar bus kota
untuk mencari celah di antara belasan orang yang bergelantungan di
pintu belakang.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
14 Laha collection
"Jer basuki mawa bea, Bud," begitu Pakde Muhargo saat itu selalu
berucap pada Budiman. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan
pastilah diperlukan pengorbanan.
Budiman sangat mempercayai ucapan itu karena Pakde Muhargo
telah membuktikannya sendiri. Bagaimana beliau dengan gagah
berani menjalani masa- masa penuh kemiskinan sebagai prajurit di
berbagai pertempuran dan tugas-tugas ketentaraan lainnya, terus
merangkak naik menjadi perwira tinggi, menjabat sebagai
komandan di berbagai kesatuan, sampai dipercaya memegang
jabatan-jabatan penting di pemerintahan berikut jabatan komisaris di
berbagai perusahaan.
"Nasib orang memang sulit diduga, Bud. Kadang bisa di puncak,
kadang bisa di bawah. Untuk itu kita harus selalu ingat pada
falsafah pohon. Puncak pohon bisa berkibar anggun karena
dukungan batang dan kekuatan akar. Jadi selagi kita di puncak, kita
tidak boleh melupakan yang di bawah. Tidak boleh melupakan akar
yang diam-diam mendukung kita tanpa pernah mau menonjolkan
diri."
Dan falsafah tersebut secara konsisten diterapkan Pakde Muhargo
dalam kehidupan sehari- hari. Setiap memperoleh pendapatan lebih
dari gaji yang diperolehnya tiap bulan, entah itu dari proyek-proyek
yang dipercayakan padanya atau dari sumber mana pun, beliau
senantiasa membagi rata ke setiap bawahan. Dari tingkat staf sampai
karyawan paling rendah. Tak terkecuali. Itulah maka semua
bawahannya, atau bahkan yang sudah jadi mantan bawahan,
senantiasa loyal dan sangat menghormati pakde. Mereka senantiasa
mengenang beliau sebagai atasan yang "sangat penuh pengertian"
dan mengenang periode menjadi bawahan beliau sebagai "masa
penuh kesejahteraan".
Namun, orang yang sangat dihormati itu kini terkurung di sebuah
ruang tahanan yang menghinakan dirinya, yang menistakan
martabatnya, yang menafikan segala kebajikan yang pernah
diperbuatnya. Maka, Budiman pun merasa harus segera bertindak
untuk menghentikan penzaliman terhadap pakdenya ini.
Seminggu kemudian....
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 15
"Insya Allah semuanya akan terkendali, bude. Saya sudah
menghubungi Mas Prawoto. Dia yang akan mengatur susunan
hakim di pengadilan tingkat pertama."
"Tetap harus ke pengadilan juga?"
"Demi menghormati prosedur hukum saja, bude. Nggak enak juga
kalau sudah terlanjur kelihatan digelandang masuk tahanan, tahutahu
keluar begitu saja. Kasihan Oom Karsono."
"Ah! Karsono itu cari muka. Demi ambisinya untuk bisa naik jadi
jaksa agung dia tega mengkhianati pakdemu."
"Sebenarnya tidak seburuk itu, bude. Sebelum malam penjemputan
itu, pakde ternyata sudah berkomunikasi dengan Oom Karsono dan
bisa memahami posisi Oom Kar yang sangat sulit dalam
menghadapi tekanan publik untuk menyeret pakde ke meja hijau.
Jadi, ini soal tarik ulur saja. Cuma... itulah, dari dulu pakde tidak
punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus
pakde sama sekali tidak terkontrol."
"Kebebasan...," Bude bergumam lirih sambil menghela napas
panjang. "Semuanya jadi kebablasan."
"Memang, bude. Sehubungan dengan itu pula saya ingin
menyarankan bude agar segera pindah dari rumah sakit ini."
"Lho kenapa...??"
"Sudah ada wartawan yang tahu bude menginap di rumah sakit ini."
"Oalah, Gusti.... Terus aku harus pindah ke mana?"
"Terserah bude memilih mana. Rumah di Pondok Indah saya rasa
cukup aman."
"Jangan! Nanti bisa bikin pekewuh Mas Abdul. Masa istri tahanan
bertetangga sama Kapolda. Kalau sampai ketahuan, beritanya bisa
dipelintir jadi macam- macam."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
16 Laha collection
"Atau di Kota Wisata?"
"Memang kita ada rumah di sana?"
"Ada, bude. Yang tahun lalu dikasih sama si Tantra. Ideal sebagai
tempat nyepi. Tapi kalau bude menghendaki yang di masih di
Jakarta, paling sepi ya rumah Kemang."
"Lho, bukannya sudah dijual?"
"Nggak jadi, bude. Sama broker dikasih harga sembilan milyar,
jadinya malah nggak laku. Cuma kondisinya memang sekarang
kurang terawat. Kalau bude mau pindah ke situ harus dibersihkan
dulu."
"Padahal harus segera."
"Benar, bude. Yang paling siap huni dan paling aman sebetulnya di
apartemen. Terserah bude, mau memilih yang di Paku Buwono atau
yang di Menteng. Sampai sekarang dua-duanya belum pernah ada
yang menempati."
"Nggak ah. Kalau gempa bumi bisa mati berdiri."
Sebuah Mercy seri 600 meluncur lembut dan berhenti di pelataran
parkir VIP bandara. Budiman membantu Bude Muhargo keluar
mobil, membawanya ke arah pintu khusus, untuk menunggu
penerbangan ke New York. Bude akhirnya memutuskan untuk
sekalian menemani Rina, putrinya, yang sedang mengambil S-3 di
sana. Di ruang tunggu bude menyerahkan sebuah tas kecil ke
Budiman.
"Ini kunci-kunci safe deposit box, Bud. Semua aku titipkan ke kamu.
Kalau kamu perlu cash US dollar ambil saja dari yang di Citibank.
Kalau tidak salah masih ada sisa sekitar satu atau satu setengah juta
di situ. Buat bayar uang muka pengacara-pengacara aku rasa lebih
dari cukup. Kalau mau rupiah, tadi siang aku sudah transfer lima M
ke rekening kamu. Prawoto sama Karsono pasti perlu buat ngasih
teman- temannya."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 17
"Eyaaang!"
Budiman menoleh mendengar suara Tito, anaknya, yang menyusul
datang dengan mobil lain sepulang dari les matematika. Bude
Muhargo langsung tersenyum lebar dan menyambut si kecil dengan
pelukan hangat.
"Eyang! Aku tadi lihat eyang kakung di televisi."
Budiman seketika berpandangan dengan istrinya.
"Eyang kakung itu ternyata koruptor, ya?"
"Tito!!!"
"Bukan, sayang," buru-buru bude mendahului bicara. "Eyang
kakung bukan koruptor. Koruptor itu orang jahat. Eyang bukan
orang jahat. Eyang cuma dituduh melakukan kejahatan. Orangorang
yang menuduh itu justru yang jahat."
"Kalau memang nggak salah kenapa eyang mau ditahan?"
Bude Muhargo terdiam sesaat. Lalu berbisik dekat telinga Tito.
"Kalau sudah besar nanti Tito akan tahu, tidak semua yang tidak kita
inginkan itu bisa kita hindari. Seperti halnya musibah. Nah eyang
kakung saat ini sedang ditimpa musibah." ***
Jakarta, 10 November 2006
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar