Selasa, 06 Oktober 2009

Lintang

Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan
yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti
embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum
membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang
perempuan yang merancang sendiri kehidupannya. Sejak remaja
ditentukannya apa yang akan ia lakukan, kapan akan menikah,
dengan laki-laki seperti apa, akan punya anak berapa, seperti apa
akan membesarkan mereka, itu semua sudah ia pikirkan.
Perempuan itu menggoreskan sendiri takdirnya.
Saat berusia dua puluh tahun ia jadi ibu dari dua anak, satu
perempuan dan satu laki-laki. Sebuah peristiwa telah mengubah
impiannya, jadi mimpi menyeramkan. Sekolah tempat ia bekerja
dibakar. Ayah dan suaminya menghilang entah ke mana. Tinggallah
ia bersama ibu, delapan adik, dan dua anak di rumah masa kecilnya.
Tak ada yang mau mendekati rumah itu. Beberapa orang bahkan
melempari temboknya dengan tinja. Siang hari hanya mereka yang
bersepatu lars sesekali terlihat ke luar masuk. Malam hari rumah itu
bagai bayangan besar yang pekat, gelap, tak ada terang setitik pun.
Pintu dan jendelanya tetap terbuka. Engsel-engselnya menjerit saat
angin menyentuh. Tapi perempuan itu tahu kadang ada nafas-nafas
lain selain ia, ibu, adik dan anaknya. Mereka, gerombolan bersarung
yang siap menggasak apa saja, termasuk nyawa sekalipun. Menurut
kabar, mereka telah penggal beratus, bahkan beribu kepala manusia
di sepanjang Kali Brantas. Karena itu, setiap kali mereka datang,
malam pun jadi sesak. Perempuan itu bersama ibunya akan berjagajaga
di balik pintu kamar sambil berdoa. Saat semburat pertama
mengembang di ufuk timur, perempuan itu menghitung tubuhtubuh
yang berjejal di kolong dipan.
"Delapan, lengkap!"
1 7 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
4 Laha collection
Anak perempuannya lelap di dekapan ibunya yang pulas di sudut
kamar.
"Lengkap…."
Ia pun tertidur sambil memeluk anak laki-lakinya.
Tahun hampir berujung, namun satu interogasi ke interogasi lain
seolah tiada akhir. Awalnya perempuan itu menggigil saat pertama
kali digiring ke markas. Kali ketiga ia mulai terbiasa, bahkan ia
sudah bisa tersenyum saat menjawab pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan
yang sama, yang ia jawab dengan jawaban yang juga
selalu sama: tidak tahu! Ia memang sungguh tak tahu di mana ayah
dan suaminya berada. Tapi ia sudah tahu takdir kedua lelaki itu,
mereka tak mati, tak boleh mati. Dan, ia putuskan untuk melukis
pencarian di setiap jengkal kota.
Perempuan itu tahu pasti ayah dan suaminya tak mati. Detak
jantung kedua lelaki itu terus memanggil-manggil, mengajaknya
melangkah ke penjara Tangerang. Di halamannya yang kering,
keduanya hampir tak bisa dibedakan dengan ratusan lelaki lain
yang sedang berdiri dalam barisan, kurus dan kumal. Sejak itu,
setiap minggu senyum perempuan itu jadi penguat bagi mereka
untuk tetap memberi jawaban yang sama pada petugas: tidak tahu!
Satu tahun sudah peristiwa itu berlalu. Perempuan itu masih tinggal
di rumah masa kecilnya. Tetap saja, hanya mereka yang bersepatu
lars yang datang. Satu adik perempuannya memilih kawin dengan
kepala gerombolan yang dulu acapkali porak-porandakan rumah.
Hal itu sedikit membawa perubahan, tak ada lagi tamu yang
merusak malam. Sisanya tak berubah, teman atau kerabat sama saja,
membuang muka saat berpapasan. Penghuni rumah itu dianggap
petaka. Orang-orang tahu, seribu mata- mata memasang mata dan
telinga untuk menangkap siapa pun yang dianggap mengenal
mereka.
Nyanyian jangkrik mengurai sepi. Sepi pun porak bagai kaca pecah
ketika anak perempuannya berteriak dari beranda belakang.
"Bapak pulang! Bapak pulang!"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 5
"Suruh anakmu diam!" perintah ibunya panik.
Perempuan itu setengah berlari menghampiri anaknya yang sedang
bermain.
"Buu, Bapak pulang!"
"Sst, Maya jangan begitu, diam sayang, nanti dikira orang betul
Bapakmu pulang…."
Sosok tipis menghampiri perempuan itu. Tak percaya ia tatap tubuh
di balik caping petani yang tutupi tirus pasi.
"Ini aku."
Perempuan itu lepaskan bekapan di mulut anaknya. Ia peluk lelaki
di hadapannya. Dua bulir basahi dada kerontang lelaki itu.
"Bapak bagaimana?"
"Bapak masih di sana. Mereka melepaskanku karena disentri yang
semakin parah. Aku disuruh pergi, sebelum mati di penjara."
Tak ada lagi kata-kata, malam pun berlalu dengan lengang yang tak
berbeda. Senyum perempuan itu butakan mata, tulikan telinga para
mata-mata. Berhari seperti itu, seolah tak ada yang berarti terjadi.
Tak ada yang tahu, bahkan ketika mereka tinggalkan rumah itu,
tinggalkan Jakarta.
"Lintang, ajak Suryo pergi dari sini, Ibu sudah siapkan semuanya.
Pergilah kalian ke tempat Mang Golibi. Geura indit, geulis, bawa
Maya, biar Ibu yang urus Teguh."
Sebuah kota yang diselimuti kabut menyambut mereka. Tak ada
rasa takut sedikit pun di hati perempuan itu. Sekali lagi, ia tentukan
takdirnya. Ia akan bertahan bersama suami dan anak
perempuannya. Mereka bertiga tak boleh mati!
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
6 Laha collection
Mang Golibi, saudara jauh ibunnya, mengantar mereka ke sebuah
pondok pesantren. Pemiliknya, Kiai Hanafi, memberikan
pengharapan. Tak ada tatap menyelidik, tuturnya sisipkan hangat.
"Ulah asa-asa, anggap saja di rumah sendiri."
Tapi, Mang Golibi ingatkan mereka untuk tetap tajamkan rasa.
"Sama saja, di dieu oge banyak yang dibui, banyak juga yang
dibuang ka pulo, yang mati juga banyak, yang hilang komo deui".
Meski dipagari gunung, tak urung kebencian yang sama mengalir
sampai ke dusun-dusun terpencil. Perempuan itu tahu, tak ada
pilihan, si kecil pun harus dibiasakan dengan panggilan baru,
mengingat nama baru ayah dan ibunya, dan tentu saja tak boleh
bercerita tentang kakek- neneknya kepada orang lain. Perempuan itu
sadar, jika ingin hidup, tak ada pilihan, mereka harus kubur semua
riwayat.
Tak ada yang berubah dalam diri perempuan itu, walau hari kadang
menggigit. Ia tetap berikan senyum pada suaminya yang berubah
jadi pemarah, yang sering tanpa sebab, memakinya atau merusak
perabotan rumah atau meleleh dalam takut yang sangat. Lelaki itu
acapkali terbangun tengah malam ketika sepeda motor melintas di
depan rumah. Bukan sekali lelaki itu tiba-tiba lunglai saat
mendengar derap kaki orang di dekat rumah.
"Mereka datang, mereka datang. Habislah aku, habislah kita!"
Kalau sudah begitu, perempuan itu akan berikan dekapan hangat,
mengusap-usap punggungnya, menenangkannya, hingga lelaki itu
kembali bermimpi di bawah elusan senyumnya. Senyum yang sama
yang ia berikan saat bumi menjemput hari. Senyum yang sama yang
ia bagikan pada waktu yang terus berjalan. Ia pun terus merajut hari
dengan kesabaran. Kesabaran yang membalut nyeri di hati
suaminya, hingga lelaki itu perlahan mulai bisa pijakkan kaki di
bumi.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 7
Begitulah hari merambat. Terkadang hari berjinjit sambil sematkan
kabar di pucuk atap. Ibu, dua adik, dan anak lelakinya sudah tak
lagi di Jakarta. Adik-adiknya yang lain tinggal berpencar, jadi
pembantu di rumah kerabat. Hanya dua adik lelaki dan satu adik
perempuan yang masih tinggal di rumah yang sama. Bapak masih
ditahan, entah kapan akan pulang, tak tahu kapan bisa bertemu.
Surat terakhir mengatakan, Bapak dipindah ke Salemba. Sementara
seorang paman menjadi penghuni pulau di timur.
Aku tak pernah bisa berhenti mengenang perempuan itu. Semua
cerita tentangnya kukumpulkan remah demi remah. Aku bahkan
sengaja mewawancarai orang-orang yang pernah kenal, atau
sekadar tahu dirinya. Perempuan itu hidup dalam hidupku.
Sebagian kisahnya hidup dalam hidupku.
Orang pasti berpikir perempuan itu karang yang bergeming saat
gelombang pasang, tapi tidak bagiku. Aku tahu pasti saat
senyumnya luluh ketika pedih terlalu tajam. Tak jarang ia ingin
bunuh hari saat hadapi trauma suaminya. Di saat seperti itu
biasanya ia kemasi barang-barangnya. Aku masih ingat bagaimana
perempuan itu mengangkat koper tua berwarna coklat muda pudar.
Sebungkus air mata disembunyikan di bawah senyumnya. Saat itu
aku pikir ia akan tinggalkan suaminya dan akan mengajakku
kembali ke rumah masa kecilnya. Tapi ternyata ia hanya ingin
titipkan pedih pada sebuah makam yang tak jauh dari rumah.
Perempuan itu percaya kematian bisa dengarkan kehidupan.
"Aku tak tahu makam siapa ini," katanya menjawab pertanyaanku,
“yang pasti, saat kita mencium wewangian, kita bisa mengadu pada
jasad di bawah sana."
Ia punguti kembang kemboja yang berjatuhan di sekitar makam, lalu
ditaruhnya di atas makam itu, lalu lanjutkan kata-katanya.
"Aku sangat ingin bertemu ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku juga
ingin menimang anak lelakiku. Putingku masih merasa berdosa
karena tinggalkan bibirnya. Kau tahu, aku ingin ada seorang yang
bisa dengarkan diriku. Tapi, kepada siapa aku bisa bicara, jika tak
seorang pun tahu diriku, tak seorang pun tahu namaku."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
8 Laha collection
Telaga menggenang di kedua matanya, perlahan menetes jadi
gerimis yang perih. Saat itu untuk pertama kali aku mengerti arti
pedih.
Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan.
Masih jelas tergambar saat ia menghitung untung barang-barang
yang dikreditkannya pada orang-orang kampung. Masih kuingat
saat ia ajari masukkan jamu godokan, racikannya sendiri, ke dalam
botol-botol bekas sirup. Saat itu satu botol harganya limaratus
rupiah. Aku tak akan lupa hari-hari yang dilewati perempuan itu.
Hari ketika seorang tamu datang dan menangis sambil memeluknya.
"Ternyata Zus masih hidup."
Seperti biasa perempuan itu berikan senyumnya. Senyum yang sama
yang diberikannya padaku saat kutanya mengapa aku harus
memanggil Kiai Hanafi kakek, padahal aku tahu dia bukan kakekku.
Senyum yang sama juga diberikannya padaku saat kutanya
mengapa ia tak lagi memanggilku Maya.
Senyum perempuan itu memang tak pernah berubah, sama, tetap
sama. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kusibak
kafan dan kubisikkan kata:
"Akan kutulis di nisanmu namamu, namamu yang sesungguhnya,
Lintang, biar mereka tahu siapa dirimu, siapa kita sebenarnya.
Selamat jalan, Bunda!"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar