Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka
berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai
putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua
orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu
menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang
memerlukan bantuan.
Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!"
Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.
"Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir Raja.
Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang
tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir
Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!"
Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi
mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa.
Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru
untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk
menyadarkan kedua orangtua mereka.
Keduanya sampai di sebuah
gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek
sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk
pintu.
"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah
tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu
sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, "Kami,
kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."
Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar
kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba
menerima keduanya menjadi muridnya.
Panembahan Manraba menurunkan
ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari.
Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai
ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru
bijaksana dan sakti itu.
Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua. "Anakku, Kusmantoro
dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini.
Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu
amalan."
"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari.
"Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan
gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini.
Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan
Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua
mereka."
Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.
"Dua
kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan
buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat
jika disertai kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba.
Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah.
Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus
terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika
tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal
kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.
Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini."
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah
Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu
di istana."
Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri
Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah
Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka
yang berbaring lemah itu.
Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan.
Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja
dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat
bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan
menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama
Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.
Senin, 28 Mei 2012
Biji Biji Burung Gereja
Di suatu lembah yang subur, sekelompok binatang hidup dengan aman dan nyaman. Mereka tidak pernah berkekurangan.
Lembah itu menyediakan semua yang dibutuhkan para hewan. Sumber mata air yang segar, pohon-pohon yang selalu berbuah tanpa mengenal musim. Semua hewan hidup dengan bahagia.
Suatu hari bertemulah seekor monyet dengan burung gereja yang sedang mematuk-matuk di tanah.
“ Apa yang sedang kau lakukan burung Gereja ?” Tanya Monyet.
Burung Gereja memandang Monyet dan berkata “ Aku sedang mengumpulkan biji-bijian “
Mendengar jawaban Burung Gereja, Monyet tertawa terbahak-bahak “Ha…ha..ha…., untuk apa kau mengumpulkan biji-biji itu, lihatlah di selilingmu, begitu banyak buah-buahan yang bisa kau makan, kenapa kau malah mengumpulkan sesuatu yang dibuang ?”
Tapi Burung Gereja tidak menghiraukan perkataan Monyet dan tetap mengumpulkan biji buah-buahan kemudian membawanya ke atas bukit.
Esok harinya, Monyet bertemu lagi dengan Burung Gereja, kali ini Monyet membawa buah apel di tangannya
“ Hai Burung Gereja, kau sedang mencari biji-bijian lagi ya ? pantas saja kau tidak bertambah besar, yang kau makan bijinya, bukan buahnya…ha.. ha…ha… “ Ejek Monyet
Burung Gereja hanya diam dan terus mengumpulkan biji- biji apel yang dibuang oleh Monyet.
Suatu hari turun hujan deras berhari-hari, lembah itu tertutup oleh air, semua binatang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi di atas bukit.
Mereka kedinginan dan kelaparan. Ketika hujan berhenti, mereka turun ke lembah untuk mencari makanan, tetapi semua pohon tumbang tersapu air hujan, tidak ada lagi buah-buahan untuk dimakan.
“ Aku lapar, mengapa tidak ada sama sekali buah yang bisa dimakan ?” rintih Monyet sambil melihat ke kanan dan ke kiri berharap menemukan buah yang bisa dimakan.
Setelah berjalan menyusuri lembah, Monyet bertemu lagi dengan Burung Gereja
“ Hai Burung Gereja, kau kan bisa terbang tinggi, bisakah kau tunjukkan padaku dimana ada buah yang bisa ku makan ? aku lapar sekali “ Tanya Monyet.
“ Mari, pergilah ke rumahku di atas bukit, kau akan menemukan buah yang bisa kau makan “ Ajak Burung Gereja.
Karena tidak menemukan jalan lain lagi, Monyet mengikuti Burung Gereja menuju ke atas bukit.
Betapa terkejutnya Monyet melihat halaman rumah Burung Gereja penuh dengan pohon yang berbuah lebat, Pisang, Apel, Strawberry, Mangga, dan banyak lagi yang lainnya.
“ Bagaimana bisa begitu banyak pohon buah tumbuh di halaman rumahmu “ Tanya Monyet heran.
“ Sudah sejak lama aku mengumpulkan biji buah-buahan dan menanamnya di halaman rumahku , aku menyiramnya dan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh, aku merawatnya setiap hari “ jawab Burung Gereja.
“ Oooo…. Itulah sebabnya kenapa kau selalu mengumpulkan biji buah-buhan yang dibuang. Kenapa aku tidak berpikir untuk menanamnya sepertimu ya ?”
Burung Gereja juga memberi tahu hewan-hewan lain untuk mengambil buah-buahan di halaman rumahnya. Sejak saat itu, setiap kali mereka memakan buah, mereka menyisihkan biji-bijinya untuk ditanam kembali, agar mereka tidak kelaparan lagi.
Asal Mula Rumah Siput
Dahulu kala, siput tidak
membawa rumahnya kemana-mana… Pertama kali siput tinggal di sarang
burung yang sudah ditinggalkan induk burung di atas pohon .
Malam
terasa hangat dan siang terasa sejuk karena daun-daun pohon merintangi
sinar matahari yang jatuh tepat ke sarang tempat siput tinggal. Tetapi
ketika musim Hujan datang, daun-daun itu tidak bisa lagi menghalangi air
hujan yang jatuh,.. siput menjadi basah dan kedinginan terkena air hujan.
Kemudian
siput pindah ke dalam lubang yang ada di batang pohon, Jika hari panas,
siput terlindung dengan baik, bahkan jika hujan turun, siput tidak akan
basah dan kedinginan. Sepertinya aku menemukan rumah yang cocok
untukku, gumam siput dalam hati.
Tetapi
di suatu hari yang cerah, datanglah burung pelatuk ,,
tok..tok…tok…burung pelatuk terus mematuk batang pohon tempat rumah
siput, siput menjadi terganggu dan tidak bisa tidur,
Dengan
hati jengkel, siput turun dari lubang batang pohon dan mencari tempat
tinggal selanjutnya. Siput menemukan sebuah lubang di tanah,
kelihatannya hangat jika malam datang, pikir siput. Siput membersihkan
lubang tersebut dan memutuskan untuk tinggal di dalamnya, tetapi ketika
malam datang, tikus-tikus datang menggali dari segala arah merusak rumah
siput. Apa mau dikata, siput pergi meninggalkan lubang itu untuk
mencari rumah baru….
Siput
berjalan terus sampai di tepi pantai penuh dengan batu karang.
Sela-sela batu karang dapat menjadi rumahku !!! siput bersorak senang,
aku bisa berlindung dari panas matahari dan hujan, tidak aka nada burung
pelatuk yang akan mematuk batu karang ini, dan tikus-tikus tidak akan
mampu menggali lubang menembus ke batu ini.
Siput
pun dapat beristirahat dengan tenang, tetapi ketika air laut pasang dan
naik sampai ke atas batu karang, siput ikut tersapu bersama dengan
ombak. Sekali lagi siput harus pergi mencari rumah baru. Ketika berjalan
meninggalkan pantai, siput menemukan sebuah cangkang kosong, bentuknya
cantik dan sangat ringan….
Karena lelah dan kedinginan, Siput masuk ke dalam cangkang itu , merasa hangat dan nyaman lalu tidur bergelung di dalamnya.
Ketika
pagi datang, Siput menyadari telah menemukan rumah yang terbaik
baginya. Cangkang ini sangat cocok untuknya. Aku tidak perlu lagi
cepat-cepat pulang jika hujan turun, aku tidak akan kepanasan lagi,
tidak ada yang akan menggangguku, …. aku akan membawa rumah ini
bersamaku ke manapun aku pergi.
Petani Yang Baik Hati
Di suatu desa, hiduplah seorang petani yang sudah tua. Petani ini hidup seorang diri dan sangat miskin, pakaiannya penuh dengan tambalan dan rumahnya terbuat dari gubuk kayu. Musim dingin sudah tiba, Pak Petani tidak punya makanan , juga tidak mempunyai kayu bakar untuk menghangatkan diri, jadi hari ini Pak Petani hendak pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Ketika keluar dari rumah, dilihatnya ada sebutir telur tergeletak diatas tanah bersalju.
Dengan hati-hati dipungutnya telur tersebut dan dibawanya ke dalam rumah. Pak Petani menyelimuti telur itu dengan kain lusuh dan meletakkannya di dalam kardus agar tetap hangat. Setelah itu dia pergi ke pasar untuk bekerja.
Pak Petani membuat telur itu menjadi hangat setiap hari sampai telur itu menetas. Ternyata telur itu adalah telur Burung Camar, mungkin induknya menjatuhkannya ketika hendak pindah ke tempat yang lebih hangat. Pak Petani merawat Burung Camar kecil itu dengan penuh kasih sayang. Dia selalu membagi setiap makanan yang diperolehnya dari bekerja di pasar. Ketika harus meninggalkan Burung Camar itu sendirian, Pak Petani akan meletakkannya di dalam kardus dan menyalakan perapian agar Burung Camar tetap hangat.
Hari-hari berlalu, Burung camar kecil tumbuh semakin besar. Pak Petani sadar, Burung Camar ini tidak selamanya akan tinggal bersama dirinya. Dengan berlinang air mata, Pak Petani melepaskan Burung Camar itu agar pergi ke selatan, ke tempat yang hangat.
Suatu hari, Pak Petani terbaring sakit karena kedinginan, dia tidak punya uang untuk membeli obat, kayu bakar dan makanan.
Tok…tok…..tok……., terdengar suara dari pintu rumah Pak Petani.
Ternyata Burung Camar itu kembali, diparuhnya terdapat benih tanaman.
Pak Petani heran Burung Camar itu masih mengingatnya, dibiarkannya Burung Camar itu masuk dan memberinya minum. Sambil memandang benih yang dibawa oleh burung Camar, Pak Petani bertanya-tanya… benih apakah ini ? dapatkah aku menanamnya di tengah musim dingin ini ? tanyanya dalam hati.
Burung Camar keluar dari rumah Pak Petani, membuat lubang di halaman rumah Pak Petani lalu menanam benih itu . Ketika hari menjelang senja Burung Camar itu pergi meninggalkan Pak Petani.
Esok harinya, keajaiban terjadi, benih yang ditanam Burung Camar tumbuh menjadi Pohon lengkap dengan buahnya hanya dalam sehari !!!! Pak Petani sangat terkejut melihatnya.
Karena lapar, Pak Petani memakan buah pohon itu. Ajaib, tubuhnya menjadi kuat dan dia tidak merasa sakit. Karena Keajaibannya, Pak Petani menamakan Pohon itu Pohon Dewa, karena buahnya dapat membuat Pak Petani menjadi sehat kembali.
Pak Petani merawat pohon itu dengan baik. Meskipun musim dingin, pohon itu terus berbuah dan tidak menjadi kering. Pak Petani menjual buah itu dan mendapatkan banyak uang.
Sekarang Pak Petani tidak lagi kedinginan dan kelaparan. Meskipun demikian , Pak Petani tetap murah hati, dia ingat bahwa apa yang diterimanya sekarang adalah buah dari ketulusannya menolong sesama makhluk hidup.
Langganan:
Postingan (Atom)