Tampilkan postingan dengan label Mengenal Diri; cerita psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mengenal Diri; cerita psikologi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Februari 2009

Kisah Kambing: Pelajaran tentang Kehilangan

Diantara semua tulisan Miranda Risang Ayu, kisah tentang kambing kurban adalah salah satu kisah yang paling mengesankan buat saya. Kisahnya sederhana saja. tentang seorang temannya yang masih keturunan kalangan berada di masyarakat adat di sebuah daerah di luar Jawa. Keluarga itu memiliki tradisi memberi kambing pada seorang anak untuk dipelihara dan kelak dijadikan hewan kurban.

Sang kambing dipelihara bukan sebagai kelompok, tapi sebagai individu yang dirawat dengan cermat oleh si anak. Seiring perawatan yang baik itu si kambing akan tumbuh dengan subur dan gemuk. Dengan sendirinya selama masa perawatan akan tercipta hubungan yang manis antar dua individu, si kambing dan si anak.

Pelajaran penting yang akan diterima si anak adalah saat hari raya kurban. Kambing yang telah dipelihara, dirawat dengan sepenuh hati harus berakhir di ujung pedang-- untuk dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Tak heran pernah terjadi saat kambing terkapar disayat pedang, si anak perawatnya hampir ikut roboh bersamaan dengan kambing kesayangannya, seolah-olah dirinyalah yang merasakan sayatan pedang.


^_^

Pelajaran yang dahsyat tentang pengorbanan buat seorang anak kecil. Pelajaran yang dalam tentang kehilangan. Tentang perpasangan antara kepemilikan dan kehilangan. Sesuatu yang si anak miliki, suatu saat bisa saja diambil oleh pemilik sejatinya, yaitu Allah yang Maha Kaya. Keterikatan pada benda-benda yang dapat musnah adalah sebuah peluang untuk kesedihan. Bila kebahagiaan si anak didasarkan pada materi, maka kesedihan akan selalu datang bila sang materi hilang dari genggaman sang anak (undil)


Jumat, 31 Maret 2006

Horor Saat Menyeberang Jalan

Mengapa menyeberang jalan terkadang menjadi acara yang "menakutkan" bagi Shinichi. Karena saat menyeberang jalan seolah-olah dirinya menyerahkan "nasib tubuhnya" pada kebaikan hati orang-orang yang mengendarai kendaraan. Apakah mereka bersedia memperlambat mobilnya atau agak membelokkan motornya agar tidak menerjang Shinichi. Bagaimana bila mereka meleng? Atau ngantuk? Atau seorang egois memilih menabrak Shinichi daripada harus memperlambat mobilnya. Sungguh tak enak bagi Shinichi untuk menggantungkan nasibnya pada orang lain. Sayangnya hal itu tak dapat dia hindari dalam kehidupan sehari-hari.

Mau tak mau Shinichi harus bersedia menggantungkan dirinya pada orang lain. Pada saat sakit dia harus percaya pada seorang dokter. Pada saat naik kereta api dia harus percaya pada ketrampilan masinis. Bahkan pada saat makan Shinichi sebatas memilih rumah makan, selebihnya dia "harus" percaya bahwa si koki tidak menghidangkan makanan basi. Percaya, percaya dan percaya. Apalagi yang harus Shinichi lakukan selain mencoba mempercayakan banyak hal dalam hidupnya pada orang lain. Surender, berhenti mencoba mengendalikan segala sesuatu. Biarlah Tuhan yang akan menjaganya.