Minggu, 31 Juli 2011

Menipu Abu Nawas

Kisah Abu Nawas hadir kembali.
Kali ini tentang hebatnya tongkat yang dimiliki oleh Abu Nawas, padahal tongkat itu ia cari hanya di hutan seperti kebanyakan orang. Hal ini dilakukan Abu Nawas karena ingin mengerjai para pencuri yang telah terlebih dahulu mengerjai dirinya.

Kisahnya.
Krisis ekonomi yang sedang melanda negeri yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid, membuat seorang Abu Nawas mengalami kesulitan uang. Ia memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya, padahal kendaraan itu miliknya satu-satunya.



Tak peduli siapapun orangnya, semua pun bisa terkena imbas dari krisis ekonomi, tak terkecuali Abu Nawas. Bahkan, demi menjaga asap dapur agar tetap bisa mengepul, dirinya harus rela menjual keledai kesayangannya walaupun sebenarnya ia tak tega untuk menjualnya.

Keesokan harinya, Abu Nawas membawa keledainya ke pasar. Namun, dari kejauhan Abu Nawas rupanya sedang diintai oleh sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang.

Mereka pun berencana untuk memperdaya Abu Nawas dengan beberapa strategi yang telah disusun. Ketika Abu Nawas sedang beristirahat di bawah pohon, salah seorang pencuri mendekatinya dan mengatakan kalau ingin membeli kambing yang akan dijualnya. Abu Nawas pun terkejut mendengar perkataan pencuri tersebut. Tapi, dirinya terus melanjutkan perjalanannya karena yakin bahwa yang dibawanya adalah seekor keledai, bukan seekor kambing.



Abu Nawas Tertipu.
Di tengah-tengah perjalanan, Abu Nawas pun kembali dihentikan oleh pencuri kedua dan ketiga. Keduanya pun tak berhasil meyakinkan Abu Nawas. Abu Nawas percaya diri bahwa yang hendak dijualnya adalah seekor keladai, bukan seekor kambing.

Walaupun mulai tampak ragu karena ada tiga orang yang menyebut keledainya dengan seekor kambing, Abu Nawas tetap melanjtukan perjalanan pergi ke pasar.
Sebelum sampai di pasar, Abu Nawas langsung didatangi oleh pencuri keempat. Dengan percaya diri, pencuri tersebut meyakinkan Abu Nawas untuk menjual kambing yang dibawanya.
"Ahaa...bagus sekali kambingmu," kata pencuri keempat percaya diri.
"Kau juga yakin kalau ini adalah kambing," tanya Abu Nawas.

Setelah bernegoisasi, Abu Nawas pun akhirnya menjual keledai yang dibawanya kepada pencuri keempat sebesar tiga dirham. Dengan perasaan bingung, Abu Nawas langsung pulang ke rumah karena mengetahui bahwa keledainya hanya dihargai tiga dirham saja.

Benar saja, sesampainya di rumah, Abu Nawas langsung dimarahi oleh istrinya karena telah menjual seekor keledai dengan harga yang murah, hanya tiga dirham saja. Abu Nawas pun menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya.

Menipu Pencuri.
Akhirnya, terpikir oleh Abu Nawas untuk balik mengerjai komplotan pencuri tersebut. Abu Nawas pergi ke hutan mencari kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan dengan lancar.

Tak lama kemudian, banyak orang mulai membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Dan berita itu akhirnya terdengar juga oleh komplotan pencuri yang telah menipu Abu Nawas dulu. Bahkan, mereka langsung tertarik karena melihat sendiri kesaktian tongkat tersebut. Cukup dengan mengacungkan tongkatnya saja, Abu Nawas terlihat makan di kedai tanpa membayar uang sepeserpun.

Para pencuri pun berfikir kalau tongkat itu bisa dibeli, maka tentu saja mereka akan cepat kaya. Setelah bernegoisasi yang cukup alot, akhirnya Abu Nawas menjual tongkatnya sebesar seratus dinar uang emas.

Setelah transaksi selesai, Abu Nawas pun segera melesat pulang sambi membawa uang dari hasil penjualan tongkat tersebut. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat itu. Seusai makan, mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai, yang tentu saja membuat pemilik kedai marah besar.

Keempat pencuri itu tidak terima, karena sebelumnya, Abu Nawas juga melakukan hal yang sama dengan mengacungkan tongkat saja.
Pemilik kedai pun menjelaskan bahwa sebelum makan di kedai miliknya, Abu Nawas telah menitipkan sejumlah uang kepadanya.
Kali ini Abu Nawas berhasil seratus persen mengelabui keempat pencuri itu.
Makanya sob, jangan suka menipu atau mencuri, nanti akan terkena balasannya loh seperti para pencuri yang ada dalam kisah ini.

Sabtu, 09 Juli 2011

Panah Pembawa Rezeki

Abu Nawas memang cerdik, msekipun tak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan titah sang raja, namun dia selalu berhasil melaksanakan tugasnya. Dan hadiah selalu menanti, sungguh rezeki yang tak disangka.

Suatu ketika Abu Nawas diundang oleh Raja Harun Ar-Rasyid untuk makan bersama. Maka berangkatlah para pengawal kerajaan untuk menjemput Abu Nawas di rumahnya. Tak berapa lama kemudian Abu Nawas telah sampai di istana dengan pakaian sederhana saja.
Abu Nawas langsung diajak berbincang di sebuah pendapa dengan berbagai jamuan makanan lengkap dengan minuman yang segar.

Melihat begitu banyaknya makanan, Abu Nawas pun sangat lahap menyantap makanan yang dihidangkan kepadanya. Sementara itu, raja masih meneruskan perbincangannya dengan Abu Nawas tentang kekuasaannya.




Raja Harun Dihargai 100 dinar.
Raja Harun bercerita kepada Abu Nawas terkait dengan luasnya wilayah yang telah dipimpinnya. Namun Abu Nawas nampak tidak menggubris malah dia sibuk dengan makanan yang tersaji di hadapannya.
Tak Lama kemudian, raja mulai melontarkan berbagai pertanyaan kepada Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, kalau setiap benda ada harganya, berapakah harga diriku ini?" tanya raja.
Abu Nawas yang masih dalam kondisi kekenyangan setelah makan makan, menjawab sekenanya tanpa berpikir panjang.
"Hamba kira, mungkin sekitar 100 dinar saja Paduka," jawab Abu Nawas.
"Terlalu sekali engkau Abu Nawas, harga sabukku saja 100 dinar," bentak raja.

"Tepat sekali Paduka, memang yang saya nilai dari diri Paduka hanya sebatas sabuk itu saja," ujar Abu Nawas.
Karena merasa tak ingin dipermalukan oleh Abu Nawas karena kecerdikannya, kali ini raja tidak mau lagi mengambil resiko dengan beradu pendapat lagi.
Oleh karena itu, Abu Nawas diajak menuju ke tengah-tengah prajuritnya yang merupakan ahli beladiri dan ketangkasan.

"Ayo Abu Nawas, di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuan memanahmu. Panahlah sekali ini saja, kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah akan menantimu. Tapi kalau gagal, engkau akan aku penjara," kata raja.

Abu Nawas Mendapat Hadiah.
Abu Nawas pun bergegas mengambil busur dan anak panah. Dengan memantapkan hati, Abu Nawas membidik sasaran dan mulai memanah. Namun panahnya meleset dari sasaran.
"Dari pengamatan saya, ini adalah gaya memanah para makelar tanah," ujar Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya.

Sesaat kemudian, Abu Nawas mencabut sebuah anak panah lagi dan membidik sasaran. Lagi-lagi anak panah yang dibidikkan itu melesat terlalu jauh dari sasaran.
"Kalau yang ini Paduka, ini gaya Juragan Buah kalau sedang memanah," sahut Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya yang kedua.

Untuk yang ketiga kalinya, Abu Nawas kembali mencabut anak panah dan mulai membidiknya. Namu kali ini kebetulan anak panah yang dibidikkan tersebut mengenai sasaran.
"Nah yang ini Paduka, ini baru gaya Abu Nawas kalau sedang memanah, saya pun menunggu hadiah yang Paduka janjikan," kata Abu Nawas dengan gembira.

Dengan tak bisa menyembunyikan tawanya, Paduka Raja lantas memberikan hadiah kepada Abu Nawas. Dengan kecerdikannya bermain kata-kata yang masuk logika akhirnya Abu Nawas mendapat hadiah, dia pun langsung mohon diri karena tak sabar untuk memberikan hadiah itu kepada istrinya.

Jumat, 08 Juli 2011

Sisi Positif Aristokrasi Menurut Romo Wage


Romo Wage berpandangan bahwa aristokrasi tidak selalu buruk. Menurut Romo, aristokrat , kaum ningrat, atau bangsawan tidak melulu soal keturunan. Aristorasi adalah seperangkat karakter dan tingkah laku yang harus diikuti seseorang agar layak tergolong kelompok aristokrat. Standar etika yang tinggi dan disiplin yang keras menjadikan kelompok aristokrat layak menjadi panutan bagi masyarakat umum.

Disiplin tingkat tinggi ini mengingatkan Romo Wage pada ibunya yang selalu menerapkan standar yang tinggi. Misalnya beliau selalu meminta Romo Wage untuk sholat di masjid dan mengaji sehabis maghrib. Bukan sekedar menyuruh sholat, tapi harus sholat di masjid. 

Bukan sekedar melarang nonton TV sehabis maghrib, tapi menyuruhnya mengaji. Tak cukup dengan mengaji, dirinya juga diminta  Ibunya untuk setor hapalan surat-surat pendek beserta artinya seminggu dua kali. Standar tinggi yang diterapkan Ibunya itu membuat Romo Wage dapat dengan mudah memenuhi standar umum yang berlaku di masyarakat.    

^_^

Bagi Romo Wage, pada jaman kiwari ini Aristokrat dapat disamakan dengan elite. Seseorang yang sudah memasuki kelompok elite dalam masyarakat di bidang bisnis, politik, budaya, pendidikan dan bidang lainnya, idealnya menyadari posisinya sebagai elite. Dia adalah segelintir orang yang menjadi contoh bagi masyarakat banyak.

Makanya Romo Wage tak akan banyak komentar saat melihat seorang temannya membuang bungkus permen sembarangan bila dia seorang pegawai biasa di kecamatan, tapi lain halnya bila dilakukan oleh temannya yang jadi camat. Romo Wage pasti akan berusaha untuk menegurnya walaupun secara halus.

Memaki orang lain dengan kata-kata kasar tidak terlalu dipikirkan oleh Romo Wage bila dlakukan seorang pegawai biasa di kampus, tetapi akan membuat Romo Wage geleng-geleng kepala bila dilakukan oleh temannya yang sudah profesor. Romo Wage juga punya pengalaman dahulu saat dia masih kerja di travel, bila punya bos yang suka terlambat maka dirinya juga jadi tak begitu hirau dengan ketentuan jam masuk.

Romo Wage berkesimpulan bahwa semua orang yang berada dalam posisi elite adalah contoh yang akan ditiru, atau bisa dijadikan alasan pembenar oleh orang awam yang melakukan kesalahan serupa.

Persis yang pernah dialaminya. Saat Romo Wage sering main games di warung bakso, dia mendapati para pegawainya juga lebih suka main games dengan HP daripada mencuci mangkok-mangkok bakso bekas pelanggan. Alasannya “si bos saja main mafia war” kok saya gak boleh main games. Saat Romo Wage tidak ramah pada pembeli, dia mendapati anak buahnya ikut-ikutan mengomeli pelanggan yang banyak keinginan saat memesan bakso.

Dengan demikian kesadaran bahwa seseorang merasa dirinya termasuk kelompok elite dalam pandangan Romo Wage tidak berhubungan dengan kesombongan ataupun memandang rendah orang lain. Namun terkait dengan disiplin yang harus dijalaninya sebagai seorang elite. Kesadaran itu terkait dengan spesifikasi dasar untuk menjadi seorang elite.


Tak heran Romo Wage sering memberi nasehat pada teman-temannya: “Jika kamu seorang gubernur dan sedang jalan-jalan dengan seorang teman – berhati-hatilah saat menyeberang jalan. Seorang gubernur seharusnya menyeberang di jembatan penyeberangan atau zebra cross. Jadi mau tak mau dirimu harus memaksa temanmu mencari zebra cross terdekat sebelum menyeberang jalan”. (undil-juli 2011) 

Sumber gambar: turkeyforholydays.com

Sabtu, 02 Juli 2011

Cara Mitsunari Mengatasi Rasa Kantuknya

Seperti malam-malam sebelumnya Mitsunari kembali keluar kamar karena kantuk tak tertahankan. Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tugas presentasi kuliah buat besok pagi, serta tumpukan dokumen kantor yang harus dibereskan malam ini telah memaksanya untuk menunda tidurnya. Semua harus beres malam ini. Sialnya matanya tak tahan lagi untuk tidak terpejam.

Maka seperti yang biasa dilakukannya, Mitsunari keluar dari rumahnya sambil menenteng ransel dan berjalan menuju warung tenda yang berada hanya 300 meter dari rumahnya. Warung itu melekat pada pinggiran sebuah taman kecil di tengah pertigaan Jalan Eijkman. Taman berbentuk segitiga dengan panjang sisinya 20 meter itu pada dua sisinya dijejali deretan warung. Satu sisi yang lain berisi mobil-mobil yang diparkir. Mitsunari menuju salah satu warung yang menjadi langganannya.

Warung langganan Mitsunari menjual makanan standar kakilima. Pecel lele, sop kikil, soto ayam, bebek goreng dan ayam goreng. Mitsunari biasa memilih salah satu menu secara bergantian. Namun untuk malam ini yang hanya bertujuan mengusir kantuk, Mitsunari memesan kopi susu plus beberapa potong pisang goreng saja. Dia ngobrol barang 5-10 menit dengan Bapak yang melayani makan, baru kemudian menyingkir ke tempat duduk dari semen yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pembatas taman.

Di bawah penerangan sinar lampu taman yang lumayan terang, Mitsunari meneruskan segala tetek bengek tugas kuliah dan kerjaan kantor di situ. Dikeluarkannya laptop dan buku-buku dari dalam tas, kemudian Mitsunari mulai beraksi membereskan tugasnya.

Anehnya saat mengerjakan tugas di warung ini Mitsunari berkurang jauh kantuknya. Mungkin karena pengaruh angin malam, mungkin juga karena obrolan orang-orang di warung yang membuatnya bersemangat mengerjakan tugas karena melihat orang lain juga terjaga. Sesekali diseruputnya kopi dan dicomotnya pisang goreng sebagai selingan. Satu dua kali dia ikutan nyeletuk menimpali obrolan yang tengah berlangsung seru di warung.

Biasanya pengunjung warung secara konstan datang dan pergi silih berganti. Jarang warung sampai kosong. Obrolan di sana pun bervariasi topiknya, tergantung selera pengunjungnya. Mitsunari tak ambil pusing dengan isi obrolan karena pikirannya tertuju paa tugas-tugasnya. Dia menyelesaikan semua tugas kuliah dan dokumen kantornya bersamaan dengan jam tutup warung. Pukul 3 pagi kala penjaga warung beres-beres warungnya, saat itulah biasanya pekerjaan Mitsunari juga sudah selesai.



Untung malam ini tidak hujan. Jika hujan tiba-tiba turun Mitsunari bisa pindah ke serambi mushola yang ada di seberang taman. Di serambi yang tidak berdinding itu, dia dapat meneruskan pekerjaannya hingga selesai.

Terkadang bila kantuk tidak tertahankan, Mitsunari masuk ke kamar mandi Mushola dan menyegarkan badannya dengan mengguyurkan air ke kepalanya. Jika kantuk benar-benar parah Mitsunari mandi di tempat itu. Lazimnya kantuk Mitsunari jauh berkurang setelah mandi.

Diam-diam Mitsunari berasa berhutang budi pada warung yang telah membantunya memicingkan mata semalaman. Tanpa bantuan mereka bisa jadi tugas-tugas kuliah ataupun pekerjaan kantor terlambat atau bahkan terbengkalai. Untunglah mereka membuka warung di tempat itu sehingga Mitsunari yang harus lembur dapat terbantu (undil – 2011)

Jumat, 01 Juli 2011

Keju Subhat Penyebab Lupa

Yang dinamakan subhat adalah suatu barang yang hukumnya samar-samar, antara haram dan halal.
Dalam kitab Arrisalah Al'aliyah dikisahkan bahwa awalnya tokoh sufi yang bernama Abu Yazid Albusthomi mudah lupa, terutama jika mendengarkan suatu kebaikan.
Berikut Kisahnya.
Pada saat Abu Yazid menemui ibunya untuk menanyakan sesuatu,
"Apakah ibu ingat, pernah memakan sesuatu yang haram atau subhat ketika mengandung atau menyusuiku, sebab jika mendengar kebaikan, aku mudah lupa," tanyanya.
"Anakku, suatu hari ketika sedang mengandung atau menyusuimu, aku melihat sepotong keju yang tergeletak di tempat si Fulan. Saat itu aku mengidam dan benar-benar menginginkan keju itu. Lalu aku ambil secuil keju dan kumakan tanpa sepengetahuan pemiliknya," tukas ibunya.

Kekhilafan Ibu.
Mendengar jawaban ibunya, Abu Yazid segera menemui pemilik keju itu.
Setelah bertemu dengan pemilik keju itu, ia menceritakan kekhilafan yang telah dilakukan oleh ibunya saat mengandung dirinya. Kepada pemilik keju itu, Abu Yazid merengek meminta maaf.

"Dahulu ketika mengandung, ibuku telah memakan secuil kejumu. Sekarang aku memohon agar engkau sudi memaafkannya, atau engkau tetapkan harga secuil keju itu, nanti aku akan membayarnya," kata Abu Yazid setelah bertemu pemilik keju itu.
"Ibumu telah kumaafkan dan apa yang ia makan telah aku halalkan," kata pemilik keju.




Sejak saat itu, Abu Yazid tak pernah lupa, bila mendengar kebaikan. Anggota tubuhnya semakin ringan untuk berbuat kebajikan.

Didatangi Muridnya.
Suatu hari Abu Yazid Al-Busthomi didatangi oleh seorang muridnya yang bernama Sahal bin Abdullah. Sahal saat itu melaporkan karomah dan kelebihan yang dimiliki oleh seseorang.
"Wahai guruku, dia dapat menyelam di laut dalam waktu yang sangat lama," kata Sahal menerangkan tentang seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa.

Abu Yazid tersenyum dengan pernyataan muridnya. raut wajahnya biasa saja tanpa menunjukkan sesuatu yang mengagumkan.
"Wahai muridku, aku lebih kagum kepada ikan paus yang dapat menyelam di laut lebih lama," jelasnya.

"Selain itu dia bisa meloncat dan terbang, dia dapat pergi ke Makkah dalam tempo sekejap," kata Sahal lagi.
"Saya lebih heran kepada Iblis yang dengan sekejap dapat mengelilingi dunia namun iblis tetap dilaknat oleh Allah," tegas Abu Yazid.

Pergi Haji.
Begitulah tingginya keimanan Abu Yazid. Abu Yazid yang juga dikenal dalam silsilah tarekat Sadziliyah ini pernah beberapa kali pergi haji.
Pada saat haji pertamanya ia hanya menangis.
"Aku belum berhaji, karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja," isaknya.

Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Dan sepulang dari Makkah, ia kembali menangis.
"Aku belum berhaji, yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya," ucapnya masih dalam sela tangisan.
Barulah pada haji yang ketiga, Abu Yazid ini merasa telah menyempurnakan hajinya.
"Karena kali ini, aku tak melihat apa-apa kecuali Allah SWT," tandasnya.