Kamis, 26 Mei 2011

Award Komentator

Kisah Abu Nawas telah mendapatkan kembali award komentator dari Ladida Cafe dalam memperingati 100 posts.
Semoga makin sukses sob.
Admin ucapkan thanks sob, meski blog ini sekarang jarang aktif.


Semoga tetap terjalin persahabatan di antara kita khususnya dan semua sobat blogger pada umumnya.

Senin, 16 Mei 2011

Menilai Syair

Alhamdulillah terucap karena anugrah sehat yang telah diberikan Allah SWT kepada kita semua.
Blog Kisah Abu Nawas kali ini akan menceritakan tentang Abu Nawas yang disuruh Sang Permaisuri untuk menilai tentang syair, hasil buah karya salah seorang putranya yang bodoh dan pemalas.

Suatu hari Abu Nawas disuruh permaisuri memberi penilaian tentang syair karya putranya yang bodoh dan pemalas.
Karena obyektif, Abu Nawas pun menilai kalau karya sastranya jelek.
Mendengar hal itu, putra permaisuri marah dan memenjarakan Abu Nawas.

Kisahnya...
Baginda Raja Harun Al Rasyid mempunyai dua orang putra dari permaisurinya.
Putra pertama bernama Al Amin dan putra kedua bernama Al Makmun.
Al Amin ternyata sangat bodoh dan pemalas, sedangkan Al Makmun terkenal rajin dan pintar dalam ilmu dan sastra.

Raja sangat menyukai Al Makmun karena kecerdasannya tersebut, dan tentu saja ini membuat sang permaisuri tidak suka lantaran sang raja dianggap pilih kasih.
Padahla kduanya kan sama putranya.
"Suamiku, kenapa Anda tidak begitu menyayangi Al Amin," tanya permaisuri Zubaidah.
"Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal sastra," jawab baginda raja.
"Suamiku, sebenarnya kalau mau, Al AMin akan menguasai ilmu sastra daripada saudaranya.
Sebenarnya ia lebih cerdas, ia hanya malas saja," kata permaisuri.
"Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji syairnya," tambahnya.



Syair Yang Buruk.
Pagi buta Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putaku ini," kata sang permaisuri dengan bangga.

Al Amin lalu membacakan beberapa bait syair sebagai berikut,
"Kami adalah keturuna Bani Abbas, kami duduk di atas kursi."

Abu Nawas hampir tidak kuat menahan tawanya mendengar syair tersebut.
"Bagaimana," tanya Al Amin kepada Abu Nawas.
"Syair macam apa itu," jawab Abu Nawas.

Al Amin marah sekali mendengar cemooh Abu Nawas tersebut.
Ia lalu menyuruh seorang pasukan istana untuk menangkap dan memasukkan Abu Nawas ke dalam penjara.
Selama beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga Raja Harun Al Rasyid merasa rindu.
Belakangan, raja mendengar kabar bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin.
Ia kemudian mengajak putranya itu ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas.

"Kenapa kamu memenjarakannya," tanya Baginda kepada Al Amin sambil menceritakan apa yang terjadi.
"Yang sangat menyakitkan ia telah bernai mencemooh syair karyaku, ayahanda," kata Al Amin.
"Tentu saja karena memang karya syairmu jelek.
Dia itu kan memang seorang penyair hebat, jadi bisa menilai mana karya syair yang bagus danyang tidak bagus," kata sang Raja menasehati.
"Baik, kalau begitu beri lagi aku kesempatan untuk memperbaiki karya syairku," kata Al Amin sambil beranjak pergi.

Memilih Penjara.
Untuk kedua kalinya, Al Amin pergi untuk mengasah syairnya.
Esoknya, pagi-pagi sekali baginda raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas dan beberapa penyair sudah berada di istana.
Rupanya pertemuan itu sudah diatur oleh permaisuri Zubaidah.

Ia ingin mereka mendengarkan karya syair putranya yang baru saja pulang mendalami ilmu sastra.
Al Amin pun mulai membaca karya syairnya,
"Hai binatang yang duduk bersimpuh, rasanya tidak ada yang setolol kamu, kamu seperti hidangan yang diolesi minyak sapi kental, seperti warna seekor kuda belang."

Begitu selesai mendengar syair tersebut, Abu Nawas langsung bangkit dan hendak berlalu dari tempatnya.
"Kemana kamu, Abu Nawas?" ytanya raja Harun Al Rasyid.
"Aku lebih suka balik ke penjara saja daripada mendengar syair macam ini.
Toh sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh polisi untuk membawaku ke sana," jawab Abu Nawas.

Raja pun tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Abu Nawas itu.
Sementara sang permaisuri Zubaidah hanya bisa duduk bengong.

Hikmah yang bisa diambil dari kisah Abu Nawas yang satu inia dalah:
Setiap orang tua tidak boleh pilih kasih kepada anak-anaknya.
Orang yang berilmu tinggi sudah seharusnya memberi pelajaran kepada orang yang bodoh, dan bukannya malah mencemooh.
Setiap masalah bisa diselesaikan dengan cara bijak dan kekeluargaan, jangan asal ambil cara hukum yang didahulukan.

Senin, 09 Mei 2011

Dongeng Sang Kancil dan Sekawanan Gajah

“Blusukkkk!!!!” Sang Kancil tiba-tiba terperosok ke dalam sebuah sumur tua tatkala sedang berada di tepi hutan dalam perjalanan menuju pantai. Kabut masih tebal saat itu sehingga sumur tersebut tidak terlihat oleh Sang Kancil. Rupanya itu adalah sumur peninggalan Tarzan yang telah lama meninggalkan tempat itu untuk menjadi Tarzan Kota.



“Aduh biyuuungg, kakiku sakit buangeeet!” teriak Sang Kancil sambil menggaduh-gaduh menahan sakit. Meskipun dirinya terjatuh di air, namun karena air sumur tak seberapa dalam maka kakinya terasa nyeri yang hebat akibat benturan. Lalu dengan terpincang-pincang Sang Kancil berenang menepi dan duduk di batu besar yang menyembul di tepi sumur.

Sang Kancil termenung memikirkan nasibnya. Sumur ini ada di tepi hutan. Jarang sekali ada binatang yang berani bepergian sampai ke tepi hutan. Paling-paling sekawanan Gajah yang sedang menjajaki rute baru, kawanan Babi Hutan yang hendak mencari jagung atau Serigala yang sedang mencari-cari makanan tambahan karena sudah bosan dengan makanan yang ada di dalam hutan. Itu artinya dirinya harus lama menunggu sampai ada binatang yang menemukan dirinya di dalam sumur.

Setelah tiga hari tiga malam terjebak, pada hari keempat barulah muncul sekawanan Babi Hutan yang melongok dari bibir sumur. Mereka kehausan dan sedang mencari-cari sumber air minum yang memang jarang ada di tepi hutan itu. Sang Kancil berteriak kegirangan melihat Babi Hutan.

“Hoooiiii, bantu aku keluar dari sini duuuuuuung!” teriaknya sekuat tenaga.

Tapi alih-alih menolong Sang Kancil, para Babi Hutan malahan lari terbirit-birit mendengar suara menggelegar dari dasar sumur. Dikiranya ada monster penunggu sumur yang akan memakan mereka.

Sang Kancil kesal bukan main. Dianggapnya para Babi Hutan itu sungguh terlalu takut pada bayangan monster dalam pikiran mereka sendiri. Mereka terlalu percaya pada cerita-cerita monster sehingga apa saja yang aneh dan menakutkan langsung dianggap monster.



Pada hari kelima muncul lagi seekor binatang lain. Kali ini datang seekor keledai yang baru saja meloloskan diri dari majikannya. Dengan hati riang senang-senang dia bersiul-siul menyusuri tepi hutan. Sampailah dia di bibir sumur tempat Sang Kancil terperosok. Tentu saja dia haus dan penasaran, apakah bisa minum dari sumur tersebut. Belajar dari pengalaman ketakutan para Babi Hutan, kali ini Sang Kancil tidak berteriak. Dia hanya menyapa pelan pada Keledai yang tengah melongokkan kepala.

“Wahai teman, Tolonglah aku. Aku terperosok di dalam sumur tanpa bisa keluar lagi” kata Sang Kancil.

Keledai melihat sejenak ke dalam sumur dan terheran-heran mendengar suara dari dalam sumur. Kemudian dia mengamat-amati dasar sumur, barulah dilihatnya Sang Kancil yang sedang duduk lemas di atas batu. Tiba-tiba Keledai tertawa terbahak-bahak. Si Keledai tertawa terpingkal-pingkal sampai-sampai berguling-guling di atas tanah.

“Hohohoho...itukah Kancil nan cerdik yang tengah bernasib buruk. Uruslah sendiri nasibmu. Aku tak punya banyak waktu untuk menolongmu. Lagipula waktu aku jadi peliharaan majikanku, tak ada seorang pun yang peduli. Kini giliranmu dicuekin....Hahahahahaha. Sorry yah!” kata Keledai sambil berlalu dengan masih ketawa ngikik.

Sang Kancil kembali ditinggal seorang diri di dalam sumur. Pada hari keenam muncullah sekelompok orang membawa pedati yang beristirahat di tempat itu. Mereka mendirikan tenda-tenda dan mulai memasak. Nampaknya mereka adalah kafilah pedagang yang sedang mampir beristirahat. Mendengar suara-suara manusia, tahulah Sang Kancil bahwa dirinya harus bersembunyi. Maka cepat-cepatlah dia masuk ke lubang kecil yang ada di dinding sumur dan bersembunyi di situ karena takut ditangkap dan dijadikan sate kancil nan gurih.

Untunglah para pedagang itu jarang melongok ke dalam sumur sehingga tidak memergoki Sang Kancil. Mereka hanya sesekali saja pergi ke sumur itu untuk mengambil air dengan ember yang diikat dengan tali. Air itu dipergunakan untuk memasak, mencuci dan mandi. Keesokan harinya mereka telah meninggalkan tempat itu. Dari suara-suara mereka, tahulah Sang Kancil bahwa para pedagang itu membuang ember bertali di dekat sumur karena dianggapnya sudah usang.

Pada hari ketujuh muncullah sekelompok gajah yang melintas di dekat sumur. Mereka meneliti dasar sumur karena kehausan. Tak sengaja terlihat oleh mereka Sang Kancil tengah tertidur di sana. Para Gajah itu saling berbisik membicarakan binatang yang tengah terbaring di dasar sumur. Kemudian mereka berteriak memanggil Sang Kancil.

Sang Kancil kaget oleh teriakan para Gajah dan terbangun. Dilihatnya ada beberapa kepala gajah menyembul di bibir sumur. Diam-diam dia sedang berpikir keras cara minta bantuan mereka untuk keluar dari sumur. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu para Gajah, baru kemudian minta tolong pada mereka. Memberi dulu baru kemudian menerima pertolongan.

“Wahai Gajah kita adalah sobat yang harus tolong menolong” kata Kancil.

Para Gajah mengangguk-angguk sambil bergumam tanda setuju. Mereka tak sadar jika Sang Kancil berada di dalam sumur karena terjatuh.

“Aku tahu kalian kehausan. Aku akan membantu kalian mengambil air dari dalam sumur. Coba lihat adakah ember dan tali yang diletakkan di dekat sumur. Kemarin kudengar para kafilah membuang ember beserta talinya karena sudah punya ember baru. Walaupun butut ember itu masih berguna bagi kalian. Turunkan ember ke dalam sumur, pegang ujung talinya. Aku akan membantumu menciduk air sumur” teriak Sang Kancil.

Para Gajah yang tengah kehausan dengan antusias mencari-cari barang yang disebutkan Sang Kancil. Sampai akhirnya mereka menemukan tak jauh dari bibir sumur tergeletak ember butut yang diikat dengan tali yang tak kalah bututnya dan penuh sambungan. Kemudian mereka menurunkan ember ke dalam sumur. Sang Kancil membantu menciduk air dan menyuruh gajah menarik ember yang sudah terisi air ke atas.

Begitulah berulang kali air diambil dari dasar sumur. Dengan girangnya para Gajah bergantian minum dan mandi dari air dalam ember yang diambil dari dalam sumur. Maklum sudah dari kemarin mereka kesulitan mencari sumber air. Setelah semua Gajah selesai mandi, barulah Sang Kancil berteriak untuk minta dikeluarkan dari dasar sumur.

Merasa Sang Kancil telah membantu mereka mendapatkan air, para Gajah dengan senang hati membantu Sang Kancil keluar dari dasar sumur. Sang Kancil berpegangan erat pada ember saat dia ditarik keluar dari dasar sumur.

Para Gajah serta merta mengerumuninya dan bertanya-tanya mengapa Sang Kancil bisa berada di dasar sumur. Tadinya mereka mengira Sang Kancil sengaja berdiam diri di sana. Kemudian Gajah-gajah itu membawakan berbagai macam pucuk daun muda dan buah-buahan untuk Sang Kancil yang terlihat begitu lemah sehingga sulit berjalan.

Setelah satu malam menginap di tempat itu dengan dijagai para Gajah, Sang Kancil merasa dirinya cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan menuju pantai selatan untuk bertemu dengan keluarga Paus biru. Mereka mengundang Sang Kancil untuk berbagi pengalaman.

Kancil berterimakasih pada para Gajah yang telah membantunya. Para Gajah juga merasa sangat berhutang budi pada Sang Kancil yang telah memberi tahu teknik sederhana mengambil air dari dalam sumur. Sengaja mereka membawa ember butut bertali ke rumah mereka di tengah hutan. Di sana terdapat sumur yang tidak pernah dimanfaatkan karena para Gajah tidak tahu cara mengambil air dari sumur yang dalam (Undil-2011).


Gambar diambil dari http://urdustar.com

tags: mengenal diri, mengenal orang lain, cerita manajemen, cerita pendek, cerpen, cerita kancil, cerita pendek, cerita binatang, dongeng kancil dan gajah, cerita anak  

Puisi untuk Sahabat: Never Ending Friend














Di setiap hembusan nafasmu
bukan saja kurasakan
perhatian yang lembut,
namun juga pengorbanan,
kerelaan untuk mendengarkan.

Mendengarkan seakan aku bayi
yang baru belajar bicara
Mendengarkan seolah tak rela
satu huruf pun terlewatkan
Mendengarkan tanpa menghakimi,
sehingga aku berani
menjadi diri sendiri

Di kehangatan kata-kata riangmu,
tercium wangi serumpun melati
yang mekar di jiwamu.
Kata-kata yang membesarkan hati,
memperkokoh percaya diri,
dan membuat rasa takut pergi.
Kata-kata jelmaan seruling gembala
yang menggiring kerbau-kerbau rinduku
berduyun-duyun menuju kandangmu

Di balik keceriaan-mu terbayang
Samudera jiwa besar yang teduh
tempatku menentramkan diri
Samudera bening tempatku bercermin yang
tak pernah bosan mendorongku memperbaiki diri
Samudera yang setia menemaniku berlayar
di jalan lurus yang diridhai Ilahi (Undil)

gambar diambil dari logo www.google.co.id  9 Mei 2011 bertema hargreaves

Sabtu, 07 Mei 2011

Wanita Sufi Hafsah

Kisah Abu Nawas kali ini akan share dengan adanya salah seorang sufi wanita.
Pada pasca pemerintahan Abassiyah di tanah Arab, ada seorang wanita salehah.
Ia dikenal bernama Hafsah, saudara wanita Muhammad Sirin, salah seorang laki-laki yang tekun ibadah.



Seperti saudara laki-lakinya, Hafsah juga terkenal seorang yang gemar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya.
Siang malam hidupnya hanya dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Sejak balita dia sudah bisa membaca Al Qur'an, sehingga ketika usia 12 tahun Hafsah sudah hafal Al Qur'an.