Selasa, 31 Agustus 2010

Tipu Dibalas Tipu

Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan
memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka
berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah
dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil
berbincang-bincang santai.
Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya
bercakap-cakap sejenak.
"Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau
engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami." kata Ahli Yoga.
"Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.
"Besok pagi." kata Pendeta.
"Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok." kata Abu Nawas
menyanggupi.
Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah
seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka
masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena
mereka memang sengaja tidak membawa bekal.
"Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna
membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan
kebaktian." kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari
dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma
terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu
Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena
sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata,


"Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga." "Jangan sekarang. Kami
sedang berpuasa." kata Ahli Yoga.
"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian
terserah pada kalian." kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
"Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:" kata
Pendeta.
"Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi.
Besok pagi aku baru akan berbuka." kata Ahli Yoga.
"Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang
telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku
mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal." kata Abu Nawas mulai mera
jengkel. Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak
mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menja haknya.
Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya
agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.


Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tid
memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
"Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian." kata Pendeta kepada Abu
Nawas.
"Perjanjian apa?" tanya Abu Nawas.
"Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia
akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang
terburuk akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.
IVfalam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga
mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur.
Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri
makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu
hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru
bisa tidur.


Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah
berseri-seri bercerita,
"Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan
Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya
dalam hidup ini."
Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betulbetul
luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.
"Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku
secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku
hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku
diberkatinya."
Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam.
la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.
Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak
sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.


"Kalian tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli
berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau
menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena
aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera
berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan
perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan
makanan itu." kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling
berpandangan satu sama lain.
Kejengkelan Abu Nawas terobati.
Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu
Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.

Strategi Maling

Tanpa pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai
kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya.
Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat
membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.
Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu
kalau ada sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang telah mengetahui
keadaan dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya Abu
Nawas. Rencana pun mulai mereka susun.
Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan
berkata,
"Apakah engkau akan menjual kambingmu?"
Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.

"Ini bukan kambing." kata Abu Nawas.
"Kalau bukan kambing, lalu apa?" tanya pencuri itu selanjutnya.
"Keledai." kata Abu Nawas.
"Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada
mereka." kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak
terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya.
Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya
dan berkata."Mengapa kau menunggang kambing."
"Ini bukan kambing tapi keledai."
"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing
kok dikatakan keledai."


"Kalau ini kambing' aku tidak akan menungganginya." jawab Abu Nawas tanpa
ragu.
"Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang
di sana." kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar.
Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,"Hai Abu Nawas akan kau bawa
ke mana kambing itu?"
Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab.la mulai ragu, sudah tiga orang
mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.
Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. la makin merecoki otak Abu
Nawas, "Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya
itu adalah kambing, kambing ....... kambiiiiiing !"
Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri
keempat melaksanakan strategi busuknya. la duduk di samping Abu Nawas dan
mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.


"Ahaa, bagus sekali kambingmu ini...!" pencuri keempat membuka percakapan.
"Kau juga yakin ini kambing?" tanya Abu Nawas.
"Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin
membelinya."
"Berapa kau mau membayarnya?"
"Tiga dirham!"
Abu Nawas setuju. Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu
Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.
"Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan
bahwa keledai itu kambing?" Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya
mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini
ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang
menggoyahkan akal sehatnya.


Abu Nawas merencanakan sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu
untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang..
Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang
membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh
para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan
mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa
membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir
kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya
dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, "Apakah tongkatmu akan
dijual?"
"Tidak." jawab Abu Nawas dengan cuek.
"Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi." kata mereka.
"Berapa?" kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
"Seratus dinar uang emas." kata mereka tanpa ragu-ragu.


"Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki." kata
Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
"Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak." Kata mereka makin
penasaran.
Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
"Baiklah kalau begitu." kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan
tongkatnya.
Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang.
Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban
tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat
itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.
"Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?" "Bukankah Abu Nawas juga
mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?" tanya para pencuri
itu.


"Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang
kepadaku sebelum makan di sini!"
"Gila! Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu
Nawas. Kita malah rugi besar!" umpat para pencuri dengan rasa dongkol.

Puisi Ramadhan 2010 : Puasa

Kalau masih terhangus sambaran halilintar
Kalau masih ngeri kunyahan gigi macan
Kalau masih benjol oleh lemparan batu
Kalau masih lepuh kala terbakar api
Ingatlah konsekuensi tidak berpuasa
karena dahsyatnya siksa neraka
berlipat ganda pedihnya sakit dunia

Puisi Ramadhan 2010 : Berita Gembira

Telah datang satu bulan
penuh berkah dari Tuhan
saat puasa diwajibkan
dibuka pintu-pintu surga
ditutup pintu-pintu neraka
dibelenggu setan-setan penggoda
bergembiralah para Pecinta Kebaikan!
berhentilah para Pecinta Kejahatan!

Sungguh beruntunglah orang beriman
disana ada malam istimewa
lebih mulia dari seribu bulan
tempat manusia berpesta pahala
berlipatganda tiada tara
Barangsiapa melewatkannya
hilanglah dia selama-lamanya

tags: ucapan ramadhan dan idul fitri

Senin, 30 Agustus 2010

Puisi Idul Fitri 2010: Hujan

Seperti hujan jatuh membasahi bumi
lalu tumbuhlah pepohonan rindang
yang berkuncup kemudian mekar berbunga
yang keluarkan buah-buahan
dalam tangkai-tangkai bergelantungan
Demikianlah hujan maafmu kuharapkan
untuk merindangkan tumbuhan persahabatan kita
agar mekar berbunga
agar berbuah kebajikan
dalam limpahan rahmat Allah penguasa sekalian alam

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Taqabalallahu minna waminkum
(undil-2010)


Puisi Idul Fitri 2010: Bening

Bening,
putih,
bersih,
itulah harapan diriku
kala dosaku kaumaafkan

Lapang,
luas,
besar,
itulah gambaran hatimu
yang sudi memaafkan aku

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Taqobalallahu minna waminkum
(undil-2010)

Saudagar Jerami

Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia."

Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.


"Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.

Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.

Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro.

"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.

Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Romo Wage dan Renovasi Masjid

Pulang dari warung bakso, Romo Wage sering mampir untuk Sholat Isya di masjid itu, sehingga dia tahu persis kondisi bangunan masjid yang terhitung besar itu. Makanya Romo Wage heran kala tahu takmir masjid mengumumkan rencana untuk mengganti keramik dan jendela masjid dengan yang baru. Dilihatnya gambar rancangan jendela masjid masih seperti semula, hanya bahannya lebih bagus tetapi tidak memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik.

Setelah Pak Imam selesai sholat sunat, Romo Wage menghampirinya. Dikatakannya unek-uneknya tentang renovasi masjid. Menurut Romo Wage kondisi keramik dan jendela masjid walaupun telah dimakan usia tapi masih cukup baik.

Yang kurang dari masjid ini adalah ventilasi udara. Bila jamaah masjid penuh, maka udara menjadi penas dan pengap. Jendela-jendela kaca yang mati dan sirkulasi udara hanya melalui pintu adalah penyebabnya. Bila habis ada acara yang dihadiri ratusan orang akan terasa benar bau tidak sedap menyelimuti udara masjid.

Romo Wage mengusulkan pada Pak Imam untuk mendahulukan perbaikan sirkulasi udara daripada mengubah penampilan fisik masjid saja. Disarankannya untuk memasang exhaust yang akan membuang udara dari dalam masjid dan kipas angin yang dilengkapi filter udara untuk suplai udara segar ke dalam masjid. Dijaminnya bahwa suasana di dalam masjid akan jauh lebih nyaman bila sirkulasi udara diperbaiki.


Pak Imam mengangguk-angguk tanda setuju dengan usulan Romo Wage. Dia berjanji akan menyampaikan usulan Romo Wage pada pengurus masjid. Romo Wage lalu mengatakan bahwa saudaranya yang menjadi dosen arsitektur di Jogja tengah berkunjung ke rumahnya. Anak seorang petani itu adalah seorang ahli desain masjid yang ternama. Dia berpengalaman mendesain sistem sirkulasi udara yang efisien dan murah. Termasuk dengan penanaman pohon-pohon penyaring debu di sekitar masjid. Pastilah sepupunya itu dengan senang hati akan membantu pendesainan ulang tata udara di masjid yang telah berusia puluhan tahun itu (undil - 2010).


tags: rangkaian kisah ramadhan, cerpen, cerita pendek

Puisi Ramadhan 2010 : Patuh

Saya mendengar,
dan rela mematuhinya
Saya puasa
karena perintahMu
Menahan lapar dan dahaga
karena iman kepadaMu
Saya berbuka
berkat limpahan rizkiMu
Kumohon rahmatMu
limpahkanlah selalu
wahai Sang Pemberi Rahmat
(undil -2010)


Jumat, 27 Agustus 2010

Puisi Idul Fitri 2010: Total

Totalitasmu kawan
sebagai insan ramadhan
yang tak ragu menebar harta
yang tak segan kurangi tidur
yang tak malas gerakkan raga
untuk mengabdi padaNya
semoga diterima Sang Maha Kaya
mendapat balasan tak terhingga
menjadi manusia bertakwa
bahagia selamanya di surga

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Taqobalallahu minna waminkum
(undil-2010)

Puisi Idul Fitri 2010: Ilmu

Setelah dirimu
mengisi ramadhanmu
dengan menuntut ilmu
tiba saatnya hadirmu
semarak dengan kesibukanmu
menerapkan khazanah pengetahuanmu
sebagai bentuk pengabdianmu
serta manfaat bagi orang terdekatmu

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Taqobalallahu minna waminkum
(undil-2010)

Puisi Idul Fitri 2010: Gerak

Gerakkan kakimu
menuju harapanmu
Gerakkan hatimu
menuju fitrahmu
Semoga puasamu
tingkatkan Imanmu
Pastikan Idul fitrimu
dihiasi maafmu padaku

Selamat Idul Fitri
Taqobalallahu minna waminkum


Puisi Ramadhan 2010 : Aku Menangis Untukmu

Aku duduk bersimpuh
dan menangis untukmu
memohonmu untuk bergabung
Kafilah orang bertakwa
sejenak menahan diri
dari nikmat dunia
Aku berdoa untukmu
agar tidak meremehkan
agar tunduk dan rela
sebagai hambaNya
Aku menangis
sungguh tidak rela
melihatmu dalam barisan
yang sengaja tidak berpuasa

Puisi Ramadhan 2010 : Nikmat

Sungguh terlalu banyak nikmat
bertaburan di keseharian kita
Tiada ada artinya beban
untuk menahan diri darinya
siang hari selama puasa
dibanding samudera nikmat
yang dilimpahkan pada kita
(undil-2010)

Puisi Ramadhan 2010 : Tunduk

Tunduk
Rela
Mengabdi
padaNya
adalah
gambaran orang berpuasa
dahsyatnya tiada tara

Siapa gerangan mengawasi dia ?
tiada lain selain dirinya
tapi dahaga ditundukkan
rasa lapar ditaklukkan
demi ketundukan
sebagai hamba sahaya
Sang Maha Perkasa
(undil-2010)

Puisi Ramadhan 2010: Kekasih

Untuk menjadi kekasihNya
tidak cukup hanya dengan akhlak mulia
tidak cukup hanya dengan bermanfaat bagi sesama
tidak cukup sekedar berbuat baik saja
Tapi juga percaya pada KeesaanNya
Patuh pada perintah-perintahNya

Jika tidak mau puasa
bagaimana bisa menjadi kekasihNya ?
(undil-2010)

Puisi Ramadhan 2010: Surga

Indahnya surga
dan segala isinya
sungguh membuat
haus dan dahaga puasa
tak seberapa artinya
(undil 2010)



Puisi Ramadhan 2010 : Jadi Orang Baik Saja Tidak Cukup

Tak cukup hanya berbuat baik saja
Tak cukup hanya cinta pada sesama
Tak cukup hanya dermawan saja
Tak cukup hanya tenggang rasa saja
Tapi juga harus puasa
Agar menjadi manusia mulia disisiNya
(undil-2010)


Kamis, 26 Agustus 2010

Si Buta Dan Si Bungkung

Di suatu kampung tinggallah dua orang pemuda sebaya. Mereka bersahabat akrab sekali. Kemana pun mereka pergi selalu bersama. Boleh dikata tidak pernah terjadi pertengkaran di antara mereka. Jika yang seorang sedang marah, yang seorang lagi berdiam diri atau membujuk sehingga kemarahannya reda. Begitu juga jika ada kesulitan, selalu mereka atasi bersama.

Pada dasarnya, mereka memang saling membutuhkan karena keadaan tubuh mereka mengharuskan demikian. Pemuda yang satu bertubuh kekar, tetapi buta matanya; pemuda yang lain dapat melihat, tetapi bungkuk tubuhnya. Oleh karena itu, orang menyebut mereka si Buta dan si Bungkuk.

Si Buta sangat baik hatinya. Tidak sedikit pun is curiga kepada temannya, si Bungkuk. Ia percaya penuh kepada temannya itu, walaupun si Bungkuk sering menipu dirinya. Kejadian itu selalu berulang setiap mereka menghadiri selamatan. Si Buta selalu duduk berdampingan dengan si Bungkuk. Pada saat makan, si Buta selalu mengeluh.


“Pemilik rumah ini kikir sekali!” bisiknya kepada si Bungkuk agar jangan didengar orang lain. “Tak ada secuil pun ikan, kecuali sayur labu.”

Si Bungkuk hanya tersenyum karena keluhan temannya itu akibat ulahnya. Secara diam-diam ia memotong daging ayam yang cukup besar di piring si Buta dan ditukar dengan sayur labu. Akibatnya, piring gulai si Buta hanya berisi sayur labu.

Si Bungkuk merasa bahagia bersahabat dengan si Buta. Setiap ada kesempatan, ia dapat memanfaatkan kebutaan mata temannya untuk kepentingan sendiri. Si Buta yang tidak mengetahui kelicikan si Bungkuk juga merasa senang bersahabat dengan temannya itu. Setiap saat si Bungkuk dapat menjadi matanya.

Pada suatu hari, si Bungkuk mengajak si Buta pergi berburu rusa. Tidak jauh dari kampung mereka ada hutan lebat. Bermacam-macam margasatwa hidup di sana seperti burung, siamang, binatang melata, dan rusa.

Konon, pada waktu itu belum ada pemburu menggunakan senapan untuk membunuh hewan buruan. Penduduk yang ingin mendapatkan rusa atau binatang lain biasanya menggunakan jerat yang diseebut jipah (faring). Kadang mereka berburu menggunakan anjing pelacak dan tombak. Cara ini akan dipakai si Bungkuk dan si Buta untuk berburu.

“Kalau kita dapat membunuh seekor rusa, hasilnya kita bagi dua sama rata,” ujar si Bungkuk.
Tentu saja si Buta sangat gembira mendengar hal itu. itua segera menuntun anjing pelacak yang tajam India penciumannya, sedangkan si Bungkuk siap dengan tombak di tangan kanannya. Mereka berdua mengikuti arah yang ditunjukkan anjing pelacak itu.

Rupanya hari itu mereka bernasib balk. Seekor rusa jantan yang cukup besar berhasil mereka tombak. Tanduknya bercabang-cabang indah dan layak dijadikan hiasan dinding.

Si Bungkuk segera membagi rusa hasil buruan itu menjadi dua bagian. Akan tetapi, dengan segala kelicikannya, si Buta hanya mendapat tulang-tulang. Daging dan lemak rusa diambil si Bungkuk.

“Karena daging rusa sudah dibagi, kita masak sendiri sesuai selera kita,” kata si Bungkuk.

Si Buta menurut saja karena pikirnya memang demikian seharusnya. Padahal dengan cara itu, si Bungkuk bermaksud agar daging yang dimilikinya jangan secuil pun dimakan si Buta.

Walaupun si Buta tidak dapat melihat, kemampuannya memasak gulai tidak diragukan sedikit pun. Terbit air liur si Bungkuk mencium bau masakan si Buta. Si Bungkuk tidak pandai memasak.

Si Buta Dan Si BungkungAkhirnya, si Bungkuk dan si Buta menghadapi masakan rusa yang telah mereka masak dan siap menyantapnya.

“Sedaap!” kata si Bungkuk sambil memasukkan potongan daging yang besar ke dalam mulutnya.
“Nikmat!” kata si Buta sambil mengambil sepotong tulang yang besar dari piring dan menggigitnya. Si Buta bersungut-sungut karena yang digigit, ternyata tulang semua.

“Sayang,” katanya, “rusa begitu besar, tetapi tak punya daging! Besok kita berburu lagi, tetapi rusa itu harus gemuk dan banyak dagingnya.”
Si Bungkuk tersenyum mendengar perkataan si Buta. Si Buta merasa sayang jika tulang-tulang rusa yang telah dimasaknya dengan susah payah tidak dimakan. Oleh karena itu, is mencoba menggigit tulang itu lagi. Akan tetapi, tulang itu sangat keras sehingga tetap tidak tergigit.

Hal itu membuat si Buta semakin penasaran. la mengerahkan segenap tenaga dan menggigit tulang itu sekuat-kuatnya hingga bola matanya hendak keluar dari lubang mata.

Tuhan sudah menakdirkan rupanya. Keajaiban pun terjadi. Mata si Buta tidak buta lagi.

“Aku bisa melihat!” teriaknya kegirangan. Si Buta menatap sekelilingnya. Ketika is melihat tulang-tulang rusa di piringnya dan di piring si Bungkuk daging yang empuk, bukan main marahnya.

“Sekarang, terbukalah topeng kebusukanmu selama ini!” katanya.

Si Buta memungut tulang rusa paling besar, lalu si Bungkuk dipukul dengan tulang itu. Jeritan si Bungkuk meminta ampun tidak dihiraukannya sama sekali. Seluruh tubuh si Bungkuk babak belur. Seperti si Buta, keanehan pun terjadi pada si Bungkuk. Ketika la bangkit, ternyata punggungnya menjadi lurus seperti orang sehat. “Aku tidak bungkuk lagi! Aku tidak bungkuk lagi!” teriak si Bungkuk.

Mereka berdua menari sambil berpeluk-pelukan dan bermaaf-maafan. Persahabatan mereka pun semakin akrab.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Karir Bukan hanya soal Kemampuan tapi juga Kesempatan

Dia yang tak maju-maju
Bukan berarti tidak mampu
Bisa jadi tak diberi kesempatan
Hingga terpendamlah kecemerlangan

Dia yang biasa-biasa saja
bukan berarti tak sehebat sang bintang
karena bukan hanya kemampuan
tapi juga kesempatan yang menentukan

^_^

Dahana Danudara sudah 10 tahun bekerja di pabrik bakmi sebagai staf manager. Dia telah bekerja sejak pabrik masih mempergunakan sapi sebagai penggerak alat, hingga saat ini yang segalanya telah serba otomatis.

Bosnya juga telah membuka 8 pabrik baru sejak Dahana ikut perusahaan itu. Pangsa pasarnya sangat luas karena pembelinya adalah para penjual mi ayam dan warung bakmi rebus yang tersebar di desa-desa. Begitu ada warung baru, berarti ada pembeli baru yang akan membeli produknya. Tidak heran dari tahun ke tahun semakin besar kuantitas produksi bakmi.

Entah kenapa Dahana tidak pernah dipercaya Bosnya untuk memegang satu pabrik baru. Bos memilih merekrut manajer-manajer baru dari luar untuk memimpin pabrik-pabrik barunya. Padahal dari sisi kemampuan, Dahana mampu mengelola pabrik pertama sehingga berjalan dengan baik.

Hampir setiap hari si Bos sibuk meeting dan mengurus 8 pabrik-pabrik lain sehingga segala sesuatu tentang pabrik pertama disiapkan oleh Dahana dengan dibantu sekretaris si Bos. Biasanya Dahana mengatakan apa yang harus disiapkan dan si sekretaris akan menuliskannya dalam dokumen produksi, dokumen pembelian, surat-surat tagihan dan dokumen lain yang siap ditandatangani bos. Umumnya surat-surat itu langsung ditandatangani Bos tanpa diperiksa lagi. Kemudian bagian pembelian, gudang, operasional, penjualan dan penagihan akan menindaklanjuti.

Sekalipun mampu mengelola pabrik, Dahana tetap tak kunjung pintar membuat dokumen, dan surat sendiri ataupun memimpin meeting karyawan. Biasanya Dahana membicarakan permasalahan pabrik secara informal dengan pekerja yang terkait. Jarang sekali dia melakukan meeting yang melibatkan banyak karyawan. Meeting selalu membuatnya gugup. Mungkin itulah yang membuat dirinya kurang diperhitungkan.

Setiapkali ada pertemuan tahunan yang melibatkan seluruh pimpinan dari ke-9 pabrik, Dahana hanya duduk di belakang mendengar para manajer berdiskusi tentang perkembangan pabrik dan peluang-peluang yang perlu ditindaklanjuti untuk memajukan pabrik. Si Bos tak henti-hentinya memuji para manajer pabrik yang disebutnya walaupun rata-rata masih muda tapi mampu membawa kemajuan bagi perusahaan.

Dia mengatakan bahwa dirinya tidak salah pilih mengangkat anak-anak muda menjadi pimpinan pabrik. Biasanya usulan-usulan dari para manajer akan disaring dan dipilih yang dianggap paling layak oleh bos. Sebenarnya banyak juga usulan yang ada di benak Dahana, tapi enggan diungkapkan dalam meeting karena posisinya bukanlah pimpinan.

Diam-diam Dahana juga kagum pada anak-anak muda yang memimpin pabrik itu. Mereka sanggup menggerakkan produksi tepat waktu dan merekrut para pelanggan baru sehingga omzet dari tahun ke tahun semakin besar. Padahal mereka rata-rata baru beberapa tahun bergabung dengan perusahaan dan miskin pengalaman. Namun mereka mampu belajar dengan cepat sehingga mampu mengimbangi perkembangan perusahaan.

^_^

Dahana betah kerja di pabrik bakmi, sampai akhirnya orang tua Dahana memanggilnya pulang ke kampung. Pabrik tahu di kampung tidak ada yang mengurus setelah orang kepercayaannya memutuskan pensiun karena telah terlalu tua untuk mengurusi tetek bengek pabrik.

Orang itu menyarankan agar orangtua Dahana memanggil anaknya pulang untuk memimpin Pabrik Tahu. Toh di sana karir Dahana juga biasa-biasa saja. Siapa tahu di kampungnya Dahana bisa lebih berkembang. Dilihatnya anak muda itu telah memiliki pengalaman luas di sebuah pabrik bakmi ternama. Tentu pengalaman itu bisa diterapkan untuk memajukan pabrik tahu.

Dahana sempat bimbang untuk keluar dari pabrik bakmi. Pabrik itulah yang telah mengajarkannya ketrampilan bisnis dari sejak dia lulus sarjana yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis hingga menjadi Dahana saat ini yang tahu banyak soal bisnis bakmi, dari mulai trik pembelian bahan baku hingga seluk-beluk penagihan hutang para pembeli. Semuanya telah hapal di luar kepala. Namun setelah orangtua Dahana membanding-bandingkan kemungkinan kecil Dahana berkembang di pabrik bakmi dengan peluang besar mengembangkan diri di pabrik tahu, akhirnya Dahana memutuskan untuk keluar dan pulang kampung.

Mulanya Si Bos kaget dengan keinginan Dahana. Dikiranya anak buah yang dianggapnya biasa-biasa saja ini ingin mendapat posisi yang lebih tinggi. Maka ditawarkannya posisi sebagai wakil pimpinan pabrik pertama. Satu posisi yang belum pernah ada sebelumnya, dan nampaknya dibuat khusus untuk Dahana.

Si Bos emang ragu dengan kemampuan Dahana, mengingat anak itu tidak pengalaman menjadi orang pertama di pabrik. Selama ini walaupun Dahana mengelola pabrik pertama, posisinya adalah orang kedua setelah dirinya. Dahana tidak pernah mengambil keputusan selain hal-hal yang rutin seperti membeli bahan baku atau menagih pada pelanggan. Hal-hal yang penting seperti ganti mesin atau menambah karyawan baru selalu atas persetujuan dirinya. Apalagi Dahana kurang persuasif & tidak pandai bicara, sehingga si Bos tidak begitu tahu kemampuan Dahana.

^_^

Keraguan si Bos tampaknya salah besar. Baru tiga tahun di tangan Dahana, Pabrik tahu milik orangtuanya maju pesat. Dahana telah membeli 8 mesin baru. Kapasitas produksi telah naik lima kali lipat. Pemilihan bahan baku, efisiensi produksi dan distribusi tahu yang cepat telah membuat tahu Dahana unggul di pasaran. Dahana bahkan telah menarik minat para pembeli baru dengan bekerjasama dengan armada tahu goreng aneka rasa yang ditempatkan di titik-titik keramaian. Tahu original hingga tahu rasa keju plus mayonaise telah menggelembungkan pasar tahu Dahana hingga lima kali lipat.

Dahana juga membuat tiga pabrik tempe tradisional yang dibuatnya di kampungnya dan dua kampung tetangganya. Tempe bungkus daun itu dibuat dengan bantuan mesin, namun pada pembungkusannya melibatkan tenaga manusia, yaitu ibu-ibu di sekitar pabrik. Tempe ini dipasarkan ke kota dimana banyak konsumen yang ingin menikmati tempe tradisional. Omzet tempe Dahana bahkan telah melampaui hasil penjualan pabrik tahu. Tahun depan Dahana telah berencana mengekspor tempe ke Malaysia dan Arab Saudi dimana banyak orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di sana.

^_^

Suatu ketika Dahana bertemu dengan bekas bosnya dalam sebuah penghargaan yang diberikan Pak Bupati kepada pengusaha yang mengurangi pengangguran dengan mempekerjakan masyarakat setempat. Dahana termasuk yang mendapat penghargaan karena pabrik tempenya mempekerjakan tak kurang dari 300 ibu rumah tangga dari kampung-kampung sekitar pabriknya. Karena tak biasa berpidato, tentu saja pidatonya tidak lancar saat dia didaulat untuk maju ke depan berbagi pengalaman. Walaupun begitu tepuk tangan meriah hadirin membahana tatkala Dahana usai berpidato. Mereka sangat respek akan kepedulian Dahana pada masyarakat sekitar. Seusai pidato mantan Bosnya menghampiri tempat duduk Dahana.

Dahana terkejut melihat kedatangan mantan Bosnya yang didampingi beberapa manajer pabrik yang memandanginya dengan pandangan penuh kekaguman. Bos menjabat tangan Dahana sambil tersenyum lalu berkata:

“Setelah sekian puluh tahun aku memimpin perusahaan, baru saat ini aku menyadari bahwa seseorang bisa maju atau tidak bukan semata-mata tergantung kemampuan, tetapi juga kesempatan. Jujur saja, selama ini aku tak pernah memberimu kesempatan untuk memegang tanggung jawab yang lebih besar karena aku ragu kemampuanmu. Namun kamu membuktikan bahwa dirimu mampu membangun perusahaan yang jauh lebih besar dari perusahaanku hanya dalam waktu 3 tahun. Aku kira dirimu masih sama seperti dulu, tidak pandai berpidato dan mungkin juga kurang pintar memimpin rapat dan tidak memiliki kemampuan menulis surat ataupun administrasi. Namun kamu bisa membuktikan bahwa semua kelemahanmu itu tidak menghambatmu untuk maju”

Dahana tersenyum mendengar kata-kata bekas bosnya. Kemudian dia berkata bahwa kemampuan dan ketrampilannya masih sama dengan dulu. Dirinya juga mengerjakan hal yang serupa dengan saat bekerja di pabrik bakmi. Hanya saja karena tanggung jawabnya lebih besar Dahana juga mengerjakan hal-hal yang lain selain rutinitas. Dahana memilih mesin baru, menjajaki pembeli baru, dan membuat beragam produk baru. Semua itu dilakukan sesuai tuntutan tanggung jawab. Bahkan bila dia masih di pabrik bakmi dan diberi kepercayaan menjadi pimpinan pabrik, dia akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di pabrik tahu.

Mantan Bos tertegun sejenak. Dan diam-diam semakin yakin bahwa seseorang yang prestasinya biasa-biasa saja belum tentu kemampuannya dibawah orang-orang yang terlihat cemerlang. Bisa jadi orang itu hanya tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Hal itu terbukti pada Dahana.
Sebenarnyalah sejak dulu anak itu telah memiliki segalanya untuk menjadi manajer yang hebat, dia hanya tidak diberi kesempatan (undil – 2010)
tags: cerpen, cerita pendek, karir, kesempatan, kemampuan, kompetensi, cerita pendek manajemen,

Jumat, 20 Agustus 2010

Asmara Memang Aneh

Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah
banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak
seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan
sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak
terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.
Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa
hari berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka

berhasil mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat
Abu Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.

Baginda Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas
sadar bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa.
Para tabib yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa
peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam
Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib
terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan
penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju
padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. la
menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya.
Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu
Nawas berkata, "Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering
mengembara ke pelosok negeri."
Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. "Sebutkan satu persatu
nama-nama desa di daerah selatan." perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas
menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas
memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah

semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi
sebuah desa di sebelah utara. Raja merasa heran.
"Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya." "Hamba tidak bermaksud
berlibur Yang Mulia." kata Abu Nawas.
"Tetapi aku belum paham." kata Raja.
"Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba
jelaskan sekarang." kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan
sesuatu kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu
Nawas menghadap Raja.
"Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?" tanya
Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" Raja balas bertanya.


"Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara
negeri ini." kata Abu Nawas menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu?"
"Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup
jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian
utara negeri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada
Baginda."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" tawar Raja ragu-ragu.
"Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan
mati." Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra
satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.


Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran
berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas
sebuah cincin permata yang amat indah.

Rabu, 18 Agustus 2010

Rahasia Sentuhan

Romo Wage tersenyum mendengar keluhan yang diungkapkan Tjah Mboys tentang pekerjaan pembuatan database RW yang tak kunjung selesai karena memang tak pernah dikerjakan. Memang pekerjaan sebagai ketua RW cukup berat, karena Tjah Mboys sedang merintis komputerisasi data base RW-nya untuk memudahkan penelusuran data-data penduduk kala dibutuhkan. Belum lagi ditambah setumpuk dokumen kantor yang harus diselesaikannya saat pulang kerja karena waktunya di kantor sebagian besar habis untuk meeting dan menemui klien.

Tumpukan pekerjaan kantor maupun selaku ketua RW yang menggunung justru membuatnya bingung dan enggan memulai. Rasanya begitu berat untuk bergerak dan serasa percuma saja dikerjakan saat ini karena pasti tidak akan selesai dalam waktu dekat. Jadilah selalu ditunda-tunda.

Keengganan untuk memulai itu dikeluhkan Tjah Mboys kepada Romo Wage ketika keduanya bertemu pada acara buka bersama di rumah Romo Wage. Diharapkannya orang yang sudah berpengalaman luas ini akan memberinya solusi atas permasalahan yang dihadapinya.

“Dulu aku pernah seperti dirimu Tjah Mboys. Dulu banget siy, waktu aku masih sekolah. Waktu itu aku adalah ketua OSIS, sekretaris remaja masjid, bendahara karangtaruna dan juga bekerja paruh waktu sebagai tenaga pembukuan pada sebuah toko grosir bahan pokok. Semua kesibukan itu membuat setiap malam aku menghadapi tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Sementara aku juga bertekad untuk menyelesaikan baca 30 Juz tafsir Al Azhar sebelum naik ke kelas 3” kata Romo Wage

“Awalnya aku bingung seperti dirimu. Gak tahu harus mulai dari mana. Rasanya berat banget untuk mulai membaca tafsir, karena diam-diam aku menganggap bahan yang harus kubaca terlalu banyak dan mustahil terselesaikan dengan cepat. Tapi kemudian aku menemukan sebuah rahasia. Aku menyebutnya sebagai “rahasia sentuhan”. Begitu aku mulai menyentuh, perlahan-lahan rasa enggan akan hilang dan berganti dengan keinginan untuk secepatnya menyelesaikan!” lanjutnya.

“Rahasia sentuhan? Maksudmu aku pegang-pegang saja dokumen-dokumen yang harus kukerjakan lalu aku akan semangat kembali?” tanya Tjah Mboys setengah tidak percaya.

“Bukan sekedar menyentuh, tapi bacalah dan mulai kerjakan, maka dalam beberapa menit keenggananmu akan sirna. Begitu dirimu mulai bersentuhan secara fisik maupun pikiran dengan dokumen, maka seolah-olah seperti ada tenaga ajaib yang akan mendorongmu untuk bersemangat dan membuang jauh-jauh rasa enggan untuk mengerjakan. Itulah rahasianya. Sentuhlah dan rasakan bahwa sentuhan itu akan mengeliminasi rasa enggan yang tadinya membelenggumu” tandas Romo wage

^_^

Diskusi dengan Romo Wage tersebut menjadi sisipan cerita dalam pidato Tjah Mboys saat dinobatkan sebagai ketua RW teladan tingkat kecamatan. Prestasi tersebut diraihnya setelah berhasil menyelesaikan database yang lengkap tentang penduduk RW, sehingga segala macam data kependudukan dapat diperoleh dalam waktu singkat. Jauh lebih singkat daripada yang bisa dilakukan kantor kecamatan.

Tjah Mboys terang-terangan mengakui bahwa “rahasia sentuhan” Romo Wage-lah yang mengantarkan dirinya mampu menyelesaikan pembuatan database. Rasa enggan dan berat untuk memulai pembuatan database RW dari tumpukan data yang segunung, dapat dilenyapkannya setelah mengetahui rahasia sentuhan (Undil 2010).

tags: cerpen, cerita pendek, rangkaian cerpen ramadhan, kisah menawan hati






Senin, 16 Agustus 2010

Orang-Orang Kanibal

Saat itu Abu Nawas baru saja pulang dari istana setelah dipanggil Baginda. la
tidak langsung pulang ke rumah melainkan berjalan-jalan lebih dahulu ke
perkampungan orang-orang badui. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Abu
Nawas yang suka mempelajari adat istiadat orang-orang badui.
Pada suatu perkampungan, Abu Nawas sempat melihat sebuah rumah besar
yang dari luar terdengar suara hingar bingar seperti suara kerumunan puluhan
orang. Abu tertarik, ingin melihat untuk apa orang-orang badui berkumpul di
sana, ternyata di rumah besar itu adalah tempat orang badui menjual bubur
haris yaitu bubur khas makanan para petani. Tapi Abu Nawas tidak segera
masuk ke rumah besar itu, merasa lelah dan ingin beristirahat maka ia terus
berjalan ke arah pinggiran desa.

Abu Nawas beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. la merasa hawa di
situ amat sejuk dan segar sehingga tidak berapa lama kemudian mehgantuk dan
tertidur di bawah pohon.
Abu Nawas tak tahu berapa lama ia tertidur, tahu-tahu ia merasa dilempar ke
atas lantai tanah. Brak! lapun tergagap bangun.
"Kurang ajar! Siapa yang melemparku?" tanyanya heran sembari menengok
kanan kiri.
Ternyata ia berada di sebuah ruangan pengap berjeruji besi. Seperti penjara.

"Hai keluarkan aku! Kenapa aku dipenjara di sini.!"
Tidak berapa lama kemudian muncul seorang badui bertubuh besar. Abu Nawas
memperhatikan dengan seksama, ia ingat orang inilah yang menjua! bubur haris
di rumah besar di tengah desa.
"Jangan teriak-teriak, cepat makan ini !" kata orang sembari menyodorkan
piring ke lubang ruangan. Abu Nawas tidak segera makan. "Mengapa aku
dipenjara?"
"Kau akan kami sembelih dan akan kami jadikan campuran bubur haris."
"Hah? Jadi yang kau jual di tengah desa itu bubur manusia?"
"Tepat.... itulah makanan favorit kesukaan kami."
"Kami...? Jadi kalian sekampung suka makan daging manusia?"

"lya, termasuk dagingmu, sebab besok pagi kau akan kami sembelih!"
"Sejak kapan kalian makan daging manusia?"
"Oh.., sejak lama .... setidaknya sebulan sekali kami makan daging manusia."
"Dari mana saja kalian dapatkan daging manusia?"
"Kami tidak mencari ke mana-mana, hanya setiap kali ada orang masuk atau
lewat di desa kami pasti kami tangkap dan akhirnya kami sembelih untuk
dijadikan butjur." Abu Nawas diam sejenak. la berpikir keras bagaimana
caranya bisa meloloskan diri dari bahaya maut ini. la merasa heran, kenapa
Baginda tidak mengetahui bahwa di wilayah kekuasaannya ada kanibalisme, ada
manasia makan manusia.
"Barangkali para menteri hanya melaporkan hal yang baik-baik saja. Mereka
tidak mau bekerja keras untuk memeriksa keadaan penduduk." pikir Abu
Nawas. "Baginda harus mengetahui hal seperti ini secara langsung, kalau
perlu....!"

Setelah memberi makan berupa bubur badui itu meninggalkan Abu Nawas. Abu
Nawas tentu saja tak berani makan bubur itu jangan-jangan bubur manusia. la
menahan lapar semalaman tak tidur, tubuhnya yang kurus makin nampak kurus.
Esok harinya badui itu datang lagi.
"Bersiaplah sebentar lagi kau akan mati."
Abu Nawas berkata,"Tubuhku ini kurus, kalaupun kau sembelih kau tidak akan
memperoleh daging yang banyak. Kalau kau setuju nanti sore akan kubawakan
temanku yang bertubuh gemuk. Dagingnya bisa kalian makan selama lima hari."
"Benarkah?"
"Aku tidak pernah bohong!"
Orang badui itu diam sejenak, ia menatap tajam kearah Abu Nawas. Entah
kenapa akhirnya orang badui itu rnempercayai dan melepaskan Abu Nawas.
Abu Nawas langsung pergi ke istana menghadap Bagirida.

Setelah berbasa-basi maka Baginda bertanya kepada Abu Nawas.
"Ada apa Abu Nawas? Kau datang tanpa kupanggil?"
"Ampun Tuanku, hamba barus saja pulang dari suatu desa yang aneh."
"Desa aneh, apa keanehannya?"
"Di desa tersebut ada orang menjual bubur haris yang khas dan sangat lezat. Di
samping itu hawa di desa itu benar-benar sejuk dan segar."
"Aku ingin berkunjung ke desa itu. Pengawal! Siapkan pasukan!"
"Ampun Tuanku, jangan membawa-bawa pengawal. Tuanku harus menyamar
jadi orang biasa."
"Tapi ini demi keselamatanku sebagai seorang raja"

"Ampun Tuanku, jika bawa-bawa tentara maka orang sedesa akan ketakukan
dan Tuanku takkan dapat melihat orang menjual bubur khas itu."
"Baiklah, kapan kita berangkat?"
"Sekarang juga Tuanku, supaya nanti sore kita sudah datang di perkampungan
itu."
Demikianlah, Baginda dengan menyamar sebagai sorang biasa mengikuti Abu
Nawas ke perakmpungan orang-orang badui kanibal.
Abu Nawas mengajak Baginda masuk ke rumah besar tempat orang-orang
makan bubur. Di sana mereka membeli bubur.
Baginda memakan bubur itu dengan lahapnya.
"Betul katamu, bubur ini memang lezat!" kata Baginda setelah makan."Kenapa
buburmu tidak kau makan Abu Nawas."

"Hamba masih kenyang," kata Abu Nawas sambil melirik dan berkedip ke arah
penjual bubur.
Setelah makan, Baginda diajak ke tempat pohon rindang yang hawanya sejuk.
"Betul juga katamu, di sini hawanya memang sejuk dan segar ..... ahhhhh
........ aku kok mengantuk sekali."kata
Baginda.
"Tunggu Tuanku, jangan tidur dulu....hamba pamit mau buang ari kecil di
semar belukar sana."
"Baik, pergilah Abu Nawas!"
Baru saja Abu Nawas melangkah pergi, Baginda sudah tertidur, tapi ia segera
terbangun lagi ketika mendengar suara bentakan keras.
"Hai orang gendut! Cepat bangun ! Atau kau kami sembelih di tempat ini!"
ternyata badui penjual bubur sudah berada di belakang Baginda dan menghunus
pedang di arahkan ke leher Baginda.

"Apa-apaan ini!" protes Baginda.
"Jangan banyak cakap! Cepat jalan !"
Baginda mengikuti perintah orang badui itu dan akhirnya dimasukkan ke dalam
penjara.
"Mengapa aku di penjara?"
"Besok kau akan kami sembelih, dagingmu kami campur dengan tepung gandum
dan jaduilah bubur haris yang terkenal lezat. Hahahahaha !"
"Astaga jadi yang kumakan tadi...?"
"Betul kau telah memakan bubur kami, bubur manusia."
"Hoekkkkk....!" Baginda mau muntah tapi tak bisa.

"Sekarang tidurlah, berdoalah, sebab besok kau akan mati."
"Tunggu...."
"Mau apa lagi?"
"Berapa penghasilanmu sehari dari menjual bubur itu?"
"Lima puluh dirham!"
"Cuma segitu?"
"lya!"
"Aku bisa memberimu lima ratus dirham hanya dengan menjual topi."

"Ah, masak?"
"Sekarang berikan aku bahan kain untuk membuat topi. Besok pagi boleh kail
coba menjual topi buatanku itu ke pasar. Hasilya boleh kau miliki semua !"
Badui itu ragu, ia berbalik melangkah pergi. Tak lama kemudian kembali lagi
dengan bahan-bahan untuk membuat topi.
Esok paginya Baginda menyerahkan sebuah topi yang bagus kepada si badui.
Baginda berpesan,"Juallah topi ini kepada menteri Farhan di istana Bagdad."
Badui itu menuruti saran Baginda.
Menteri Farhan terkejut saat melihat seorang badui datang menemuinya.
"Mau apa kau?" tanya Farhan.
"Menjual topi ini..."

Farhan melirik, topi itu memang bagus. la mencoba memeriksanya dan
alangkah terkejutnya ketika melihat hiasan berupa huruf-huruf yang maknanya
adalah surat dari Baginda yang ditujukan kepada dirinya.
"Berapa harga topi ini?"
"Lima ratus dirham tak boleh kurang!"
"Baik aku beli !"
Badui itu langsunng pulang dengan wajah ceria. Sama sekali ia tak tahu jika
Farhan telah mengutus seorang prajurit untuk mengikuti langkahnya. Siangnya
prajurit itu datang lagi ke istana dengan melaporkan lokasi perkampungan si
penjual bubur.
Farhan cepat bertidak sesuai pesan di surat Baginda. Seribu orang tentara
bersenjata lengkap dibawa ke perkampungan. Semua orang badui di kampung
itu ditangkapi sementara Baginda berhasil diselamatkan.
"Untung kau bertindak cepat, terlambat sedikit saja aku sudah jadi bubur!" kata
Baginda kepada Farhan.

"Semua ini gara-gara Abu Nawas!" kata Farhan.
"Benar! Tapi juga salahmu! Kau tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa
penghuninya adalah orang-orang kanibal!"
"Bagaimanapun Abu Nawas harus dihukum!"
"Ya, itu pasti!"
"Hukuman mati!" sahut Farhan.
"Hukuman mati? Ya, kita coba apakah dia bisa meloloskan diri?" sahut Baginda.

Minggu, 15 Agustus 2010

Peringatan Aneh

Suatu hari Abu Nawas dipanggil Baginda.
"Abu Nawas." kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.
"Daulat Paduka yang mulia." kata Abu Nawas penuh takzim.
"Aku harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan
untuk kupermainkan atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan
bantuanmu." kata Baginda bersungguh-sungguh.
"Gerangan apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?" tanya
Abu Nawas.

"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan
kenegaraan dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu
adalah sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung
mengucapkan salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat
kalian semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku
menjawab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, yaitu kalau mendapat
salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan
Wassamualaikum (Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa
keselamatan dengan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh
aku tak bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya
tidak berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya

melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak
bisa menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap
agama Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah
dia berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik,
tetapi sebaliknya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku
terima, kita akan tetap bersahabat." kata Baginda menjelaskan dengan wajah
yang amat murung.
"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang
dikehendaki rajaf sahabat Paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan
Baginda.
Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang
menepuk pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana
seketika itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.
"Cepat katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu." kata
Baginda tak sabar.
"Baginda yang mulia, memang sepantasnyalah kalau raja Yahudi itu
menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan
kesejahteraan (surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang
Islam. Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah
dengan yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid
ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja
Yahudi sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair

Allah dari segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum
(kecelakaan bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka.
Tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih
bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa
mereka bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu,
yaitu tuduhan mereka bahwa Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak." Abu
Nawas menjelaskan.
Seketika itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking
gembiranya Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa
yang disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa
tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.

Romo Wage dan Kencleng Masjid

Ini ceritanya waktu Romo Wage Sholat Jumat di sebuah masjid saat sedang menengok saudaranya di sebuah kota. Waktu itu bisnis Romo Wage belum begitu maju, walaupun warung baksonya sudah mulai ada pelanggan setianya namun belum terbilang banyak. Sholat jumat belum dimulai. Kencleng masjid telah diedarkan, dan tiba di depan seorang pemuda yang duduk di samping Romo Wage.

Anak muda itu merogoh saku kemejanya, mengeluarkan uang seratus ribuan dan memasukkan ke dalam kencleng. Sekilas Romo Wage melirik orang itu dan terkejut. Tadi dilihatnya anak muda itu datang ke masjid sambil mendorong gerobak bakso. Tentu dia adalah seorang penjual bakso. Sama seperti dirinya, bahkan kemungkinan besar secara ekonomi dibawah dirinya. Tapi dia bisa memasukkan uang ke dalam kencleng, jauh lebih besar dari Romo Wage yang hanya memasukkan 20 ribu perak. Tiba-tiba Romo Wage merasa malu.

Sehabis jumatan Romo Wage menghampiri anak muda itu dan mengajaknya bercakap-cakap.

“Mas jualan baksonya laris?”

“Iya Pak, Alhamdulillah sekarang lagi laris. Mungkin karena udara dingin, anak-anak sekolah lagi suka makan bakso”

“Baksonya dibuat sendiri atau ambil dari orang?”

“Ambil dari orang Pak. Sehari paling saya 50 – 70 porsi, jadi saya pilih ambil dari pemilik warung bakso. Lebih irit dari sisi tenaga dan waktu”

Romo Wage tertegun, omzet warungnya tiga kali lipat anak muda ini dan harga jual baksonya pasti di atas harga jual anak muda ini yang pembelinya mayoritas anak-anak sekolah. Pasti keuntungan warungnya juga jauh di atas anak muda ini. Kemudian dengan hati-hati Romo Wage menanyakan mengapa anak muda itu memasukkan uang seratus ribu ke kencleng masjid, dan bukan uang yang lebih kecil. Apakah setiap hari dia memasukkan uang sebesar itu?.

“Emmm, tidak setiap hari saya memasukkan sebesar itu. Pada hari biasa paling saya masukkan antara lima sampai sepuluh ribu rupiah. Namun setiap hari saya sengaja menyisihkan lima belas ribu rupiah untuk kencleng jumatan. Yah, sudah menjadi tekad saya membantu masjid ini agar maju dan makmur, sehingga menjadi penjaga moral masyarakat sekitar. Masjid ini telah berjasa merubah wilayah ini dari tempat orang berjudi dan mabuk-mabukan menjadi masyarakat Islami yang penuh harga diri”.

“Gak ada anak muda di kampung sekitar masjid yang nongkrong gak karuan sembari melakukan hal yang negatif. Itu semua karena mereka telah dibangkitkan harga dirinya dan diajari aneka ketrampilan sehingga malu bila tidak bekerja. Mereka bangga dengan matapencahariannya walaupun sebagian dari mereka penghasilannya masih alakadarnya. Di sini juga gak ada satupun keluarga yang tidak membaca Quran setiap hari. Sekalipun saya bukan orang kaya, saya ingin menjadi bagian dari barisan orang-orang yang memperbaiki masyarakat melalui masjid ini”.



Romo wage terdiam sejenak, kemudian tersenyum sambil menjabat tangan anak muda itu erat-erat. Dirinya merasa tergerak untuk meniru anak muda itu. Seratus ribu rupiah setiap jumat dan sepuluh ribu rupiah setiap hari tak lebih dari seperlima penghasilannya. Jumlah yang sangat murah untuk “membeli” surga. Dari penjaga penitipan sepatu di masjid, Romo Wage menjadi terharu setelah tahu bahwa anak muda itu setiap hari juga masih memberikan beberapa mangkok baksonya secara gratis kepada anak-anak penjual koran dan penyemir sepatu (undil 2010).

tags: cerpen, cerita pendek, rangkaian cerpen ramadhan

Istana Bunga

Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang memerlukan bantuan.

Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!"
Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.
"Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir Raja.
Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!"


Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka.

Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk pintu.
"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, "Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."

Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya.
Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu.

Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua. "Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan."
"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari.
"Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka."

Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.
"Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba.

Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.

Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini."
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana."

Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.

Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.

Raksasa Yang Egois

Dahulu kala, ada sebuah taman yang sangat luas dan cantik, milik seorang raksasa. Taman itu sangat indah dengan rumput yang hijau dan lembut, bunga-bunga yang cantik, dan puluhan pohon yang berbuah lebat.

Setiap siang, anak-anak masuk ke dalam taman itu untuk bermain dan mendengarkan burung-burung berkicau merdu dari pohon-pohon.

Raksasa marahRaksasa sedang pergi selama 5 tahun mengunjungi keluarganya di negeri lain. Sekarang, dia kembali ke rumahnya, sebuah rumah yang sangat besar dengan taman di depannya. Saat tiba di taman, ia melihat anak-anak sedang bermain disana. Raksasa lalu memarahi mereka, “Apa yang kalian lakukan disini? Pergi! Ini taman milikku!” Anak-anak yang ketakutan berlari meninggalkan taman itu.


Karena tidak ingin ada orang lain yang ikut menikmati keindahan tamannya lagi, raksasa lalu membangun tembok yang tinggi mengelilingi taman itu, dan memadang tulisan “Yang masuk tanpa ijin akan dihukum!” Anak-anak kehilangan taman itu. Sesekali mereka memanjat dan melongok melewati tembok yang tinggi, memandangi taman itu dan dengan sedihnya membicarakan permainan-permainan yang dulu mereka lakukan disana.

Hari demi hari berlalu. Bunga-bunga di taman itu tidak lagi bermekaran. Burung-burung tidak lagi berkicau dan pohon-pohon berhenti berbuah. Rumput dan daun-daun yang dulunya subur dan hijau kini menjadi kering dan berwarna coklat. Raksasa tidak mengerti mengapa taman miliknya menjadi tidak indah lagi.

Pada suatu pagi, raksasa mendengar suara musik yang mengalun. Ternyata itu adalah suara kicauan burung di luar jendelanya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar kicauan burung yang indah seperti itu.

Raksasa mendekat ke jendela dan mendengarkan kicauan burung itu dengan sedih. “Apa yang terjadi dengan tamanku? Aku berharap tamanku bisa menjadi indah seperti dulu, dengan burung-burung yang berkicau merdu seperti kamu.” kata raksasa kepada burung itu. Burung itu terbang mendekati raksasa dan berkata “Tamanmu tidak akan sama lagi tanpa kehadiran anak-anak itu. Tamanmu merindukan gelak tawa dan suara anak-anak yang riang. Pohon, bunga-bunga, rumput, dan kami para burung menginginkan kehadiran anak-anak yang menjadikan tempat ini kembali penuh keceriaan.”

Raksasa menyadari kesalahannya. Selama ini ia terlalu egois, dan akibatnya ia hidup sendirian dan merasa kesepian.

Raksasa pun mengambil palu besar dan menghancurkan tembok yang mengelilingi tamannya. Dibuangnya tulisan peringatan yang dipasangnya dulu, dan dipanggilnya anak-anak untuk bermain di taman. Awalnya anak-anak merasa takut. Akan tetapi ketika mereka melihat wajah raksasa yang sekarang menjadi ramah, mereka mengikutinya ke taman untuk bermain disana. Lagipula, anak-anak itu juga rindu bermain di taman itu.

Taman milik raksasa itu pun kembali penuh dengan anak-anak yang bermain gembira. Bunga-bunga pun kembali bermekaran diantara rerumputan yang hijau. Daun-daun dan buah-buahan memenuhi pohon-pohon, beserta burung-burung yang berkicau dengan merdu.

Raksasa berkata kepada anak-anak, “Sekarang, tamanku adalah taman milik kalian juga.” Sekarang raksasa tidak hanya memiliki sebuah taman yang indah, tetapi ia juga memiliki banyak teman-teman kecil yang ceria.

Dongeng anak, "Raksasa Yang Egois", disadur dari berbagai sumber.

Ucapan Ajaib dari Peri

Dahulu, ada seorang janda yang memiliki dua anak perempuan. Anak yang sulung angkuh dan pemarah seperti ibunya, sedangkan yang bungsu manis dan lemah lembut.

Sang ibu sangat memanjakan anaksulung nya yang memiliki sifat yang mirip dengannya, dan memperlakukan si bungsu dengan sangat buruk. Si bungsu disuruhnya melakukan hamper semua pekerjaan di rumah. Salah satu dari tugas si bungsu yang malang adalah berjalan kaki 1 kilometer jauhnya ke sebuah mata air dan membawa pulang air dalam sebuah ember besar.

Pada suatu hari saat si bungsu sedang mengambil air di mata air, seorang wanita tua datang dan meminta air untuk minum.


“Tunggu sebentar, akan kuambilkan air yang bersih untuk Ibu,” kata si bungsu kepada wanita tua itu. Diambilnya air yang paling jernih dan bersih, lalu diberikannya kepada wanita tua itu dengan menggunakan teko air agar dapat dengan mudah diminum.

Wanita tua yang sebenarnya adalah seorang peri itu berkata, “Kamu sangat sopan dan suka menolong, jadi akan kuberikan keajaiban untukmu. Setiap kata yang kamu ucapkan akan mengeluarkan sekuntum bunga, batu permata, dan mutiara dari mulutmu.”

Si bungsu tidak mengerti maksud wanita tua itu. Ia hanya tersenyum lalu berpamitan dan berjalan pulang.



Sesampainya di rumah, ibunya memarahinya karena terlalu lama membawakan air. Si bungsu meminta maaf kepada ibunya dan menceritakan kejadian yang dia alami, bahwa ia menolong seorang wanita tua yang kemudian memberinya keajaiban. Selama si bungsu bercerita, bunga-bunga, batu permata dan mutiara terus berjatuhan keluar dari mulutnya.

“Kalau begitu, aku harus menyuruh kakakmu pergi kesana.” Kata sang ibu. Lalu disuruhnya si sulung untuk pergi ke mata air dan apabila bertemu dengan seorang wanita tua, disuruhnya si sulung untuk bersikap baik dan menolongnya.

Si sulung yang malas tidak mau pergi berjalan kaki sejauh itu. Namun dengan tegas, ibunya menyuruhnya pergi, “Pergi kesana sekarang juga!!!” sambil menyelipkan wadah air dari perak ke dalam tas si sulung.

Sambil menggerutu si sulung berjalan menuju mata air. Saat tiba disana, ia berjumpa dengan wanita tua itu. Tapi kali ini wanita tua itu berpakaian indah bagaikan seorang ratu. Lalu, wanita tua itu meminta minum kepada si sulung

“Apa kamu kira aku datang sejauh ini hanya untuk memberimu minum? Dan jangan pikir kamu bisa minum dari wadah air perakku. Kalau mau minum ambil saja sendiri di mata air itu!” kata si sulung kepada wanita tua itu.

Karena sikapnya yang kasar, wanita tua yang sebenarnya seorang peri itu mengutuknya. “Untuk setiap kata yang kamu ucapkan, seekor katak atau ular akan berjatuhan keluar dari mulutmu!”

Saat tiba di rumah, si sulung menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya. Saat bercerita, beberapa ekor ular dan katak berjatuhan keluar dari mulutnya.

“Astaga!”, teriak ibunya jijik. “Ini semua gara-gara adikmu. Di mana dia?”

Sang ibu lalu pergi mencari si bungsu. Karena ketakutan, si bungsu lalu lari dan bersembunyi di hutan.

Seorang Pangeran yang sedang berburu terkejut melihat seorang gadis yang sedang menangis sendirian di hutan. Ketika Pangeran itu bertanya, dengan tersedu-sedu si bungsu menceritakan apa yang terjadi. Saat bercerita, bunga-bunga, mutiara serta batu permata pun berjatuhan dari mulutnya.

Pangeran jatuh hati kepada gadis yang baik itu. Dan Pangeran juga tahu ayahnya tidak akan keberatan mendapatkan seorang menantu yang baik seperti itu, apalagi dengan mutiara serta batu permata yang terus dihasilkannya. Maka Pangeran pun membawa si bungsu ke istana, lalu mereka menikah dan hidup berbahagia.

Sementara itu di rumah, sikap si sulung menjadi semakin memuakkan, dan ia pun terus menerus mengeluarkan katak serta ular dari mulutnya, sampai-sampai ibunya pun mengusirnya dari rumah.

Karena ia tidak tahu harus kemana dan tidak ada seorangpun yang mau menampungnya karena sifatnya yang buruk, ditambah dengan katak-katak dan ular-ular yang terus keluar dari mulutnya, maka akhirnya ia pun tinggal sendirian di tengah hutan.

Dongeng anak “Ucapan Ajaib dari Peri”, disadur dari berbagai sumber.

Rabu, 11 Agustus 2010

Dongeng Anak: Si Tanduk Panjang

Konon kata yang empunya cerita, dahulu kala binatang rusa tak mempunyai tanduk. Justru anjing yang mempunyai tanduk panjang dan bercabang-cabang.
Bermula dari cerita inilah kemudian rusa mempunyai tanduk panjang.
Pada suatu ketika musim panas berkepanjangan tiba, hampir semua sungai kering tak berair. Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi.
Hal itu juga dialami oleh sepasang rusa yang pergi mencari air dengan menyusuri bukit dan lereng-lereng gunung. Pada akhirnya, mereka menemukan sebuah sungai yang masih ada airnya. Banyak pula hewan lain yang telah berada di situ.
"Sudah lama sekali kita mengembara, baru sekarang kita menemukan air di sini. Lihat, sudah banyak binatang lain yang berkumpul," kata Rusa Jantan kepada istrinya.
Rusa Betina memalingkan wajahnya ke segala penjuru.

"Memang tempat ini sudah ramai dikunjungi oleh binatang lainnya," kata Rusa Betina.
Sepasang rusa itu kemudian turun ke sungai. Tiba-tiba Rusa Betina mengamit punggung suaminya seraya berkata, "Coba lihat ke sana! Siapa gerangan yang sedang kemari. Sungguh tampan ia, tanduknya sangat indah dan menarik. Wah, sungguh gagah sekali tampaknya."
Si Rusa Jantan menoleh, memerhatikan pendatang baru yang sedang menuruni bukit menuju sungai.
"Yang ke sini itu adalah Anjing. Dia sahabatku, namun sudah lama kami tak jumpa," karta Rusa Jantan.
"Hai, Rusa! Mengapa engkau juga berada di sini?" tegur si Anjing kepada sahabatnya.
"Ya, tak usah heran. Bukankah sekarang ini air sangat sulit diperoleh, makanan pun tak ada. Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran hingga ketemu di tempat ini," kata Rusa Jantan.
Kemudian mereka turun ke sungai untuk minum melepas dahaga. Setelah minum, mereka berpencar kembali.
"Mana Anjing itu tadi?" tanya Rusa Betina kepada suaminya.
"Oh itu di sana! Di bawah pohon sedang beristirahat, mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh." Sahut Rusa Jantan.


"Kalau begitu, marilah? Kita juga beristirahat di sana bersama dengan dia," ajak si Rusa Betina.
"Ah, kamu ini. Selalu saja ketampanan si Anjing yang jadi buah mulutmu," sahut si Rusa Jantan. Tapi akhirnya mereka pergi juga, ke tempat si Anjing yang tengah beristirahat.
Ketika mereka berteduh di bawah pohon besar yang tak jauh dengan si Anjing, Rusa Betina itu selalu memandangi si Anjing. Sang Rusa Jantan juga terus menerus memerhatikan tingkah laku istrinya.
"Hei!" tegur si Rusa Jantan.
"Kenapa kau selalu memandangi si Anjing? Sedang aku tak kau perhatikan?" tanya Rusa Jantan dengan jengkel
"Tentu saja. Aku sangat mengagumi tanduk Anjing itu, sungguh tak terkatakan indahnya. Oh,……sungguh bagus sekali," jawab Rusa Betina segan memuji-muji tanduk di Anjing.
"Apakah ia lebih gagah dariku?" tanya si Rusa Jantan pada istrinya.
"Yah tentu saja tidak. Tetapi yang jelas tanduknya sangat bagus. Sekiranya engkau bertanduk seperti dia, pasti kau akan jauh lebih gagah daripada si Anjing" jawab Rusa Betina. Rusa Jantan terdiam sejenak. Ia berusaha mencari akal.
"Lebih baik begini," katanya sesaat kemudian. Kalau kau mau lihat aku bertanduk, nanti aku meminjam tanduk si Anjing. Aku akan ke sana dulu untuk menyiasatinya."
Rusa Jantan itu tampaknya termakan oleh rayuan si istrinya. Ia segera menemui si Anjing.
"Hei saudara Anjing. Istriku ingin melihat kita berlomba lari," kata Rusa Jantan berbohong.
Si Anjing yang tak ingin mengecewakan sahabatnya menyetujui usul itu. Mereka kemudian pergi ke tepi padang rumput untuk berlomba.
"Apabila saya sudah berdiri dan mengangkat kakiku, maka mulailah kalian berdua lari" Rusa Betina memberi aba-aba.
Rusa Jantan dan Anjing itu kemudian berlomba lari, ternyata, Anjing dapat dikalahkan oleh si Rusa. Si Anjing menjadi kecewa karena kekalahannya itu. Sang Rusa Jantan pun segera menghibur sambil menyiasatinya.
"Begini saudara Anjing. Engkau tadi dapat ku kalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat. Nah, supaya adil bagaimana kalau aku sekarang yang memakai tanduk itu. Kemudian kita berlomba lagi."
Sang Anjing segera menyetujui lagi usul sahabatnya tanpa curiga. Ia segera melepas tanduknya dan memberikannya kepada si Rusa Jantan. Kemudian Rusa Jantan memakai tanduk si Anjing yang besar dan bercabang-cabang indah itu.

Segera mereka berlomba lagi. Ketika Rusa Jantan melihat si anjing berlari sekencang-kencangnya di depan, ia pun berlari terus membelok ke arah lain menjauhi si Anjing. Sementara itu, si Anjing terus berlari dan berlari. Karena merasa akan menang, ia menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika dilihat si Rusa tidak ada di belakangnya.
Sadar merasa ditipu, si Anjing berlari kembali memburu si Rusa dengan marah. Akan tetapi, karena si Rusa lebih gesit dan lincah, si Anjing tak mampu menyusulnya. Akhirnya, tanduk si Anjing dibawa lari oleh si Rusa.
Itulah sebabnya hingga kini, bila Anjing melihat Rusa pasti segera mengejarnya, karena ingin mengambil kembali tanduknya yang dipinjam si Rusa. Hingga saat ini, binatang Rusa Jantan memiliki tanduk yang indah dan kukuh, membuat ia tampak lebih gagah

seekor anak singa

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.

Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.

Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.

“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.

Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”

Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!

Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”

Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.

Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!

Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?

Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.

Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.

Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.

Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan memangsa anak singa!

Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,

“Jangan bunuh aku, ammpuun!”

“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”

Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”

Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.

Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.

Lalu membandingkan dengan singa dewasa.

Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”

“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.

“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”

“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.

Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”

Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.

manusia satu kata

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya.

Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.

“Jadi kau mau menolongku?”
“Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.

“Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja.
“Tidak!” jawab si penolong.
“Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.”
“Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.
Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.

“Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.”
“Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?”
“Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini.

Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, “Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.”
“Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?”

“Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.”
“Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?”
“Manusia satu kata itu, Paduka.”
“Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!”
“Percayalah pada hamba, Paduka.”
Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.

Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.

Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.
“Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama.
“Tidak!” jawab si manusia satu kata.
“Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?”
“Tidak!”

Pertanyaan tinggal satu.
“Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!” ujar si manusia satu kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,

“Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua.
“Tidak!”
“Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?”
“Tidak!”
“Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!”
Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.
Peserta terakhir maju.

Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu.

Dengan mantap pula penjaga menjawab.
“Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.

Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Selasa, 10 Agustus 2010

Manusia Bertelur

Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu
Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi
dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus
asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.
Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air
hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal.
Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya
berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri,
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.



"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini
besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena
aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja
memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan
apa yang akan digelar besok.
Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di
pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan,
Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa
sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para
menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan
singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu
Nawas.
Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam
di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas
harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin
permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang
waktu untuk berpikir.
Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai
Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau
ikut dalam permainan kami"
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.


"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh
binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing."
kata Baginda sambil tersenyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang
tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.
Abu Nawas tidak berkata apa-apa.Wajahnya nampak murung. la semakin yakin
dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah.
Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.
"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil
menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.
Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu
persatu derigan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam
kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang


tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu
kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing
satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak
akan pernah ada yang bisa.
Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke
permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu
Nawas.
Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia
mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga
Baginda dan para menterinya merasa heran.
"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para
menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.


"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya
kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa
menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang
bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan
dada.
Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang
semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah
padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.
Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa
malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan
kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.
Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para
ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk
membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental
lawan-lawannya.