Minggu, 31 Januari 2010

Cerpen Sang Kancil dan Batu Besar di Tengah Jalan

Gempa dahsyat yang melanda Hutan Gungliwangliwung telah menyebabkan sebuah batu besar bergeser dan menggelinding dari puncak bukit lalu jatuh nyungsep tepat di tengah jalan sempit yang membelah hutan. Akibatnya binatang-binatang kesulitan melewati jalan itu, sehingga mereka harus menempuh jalan memutar saat berpergian.

Maka diadakanlah pertemuan besar yang dihadiri oleh seluruh binatang penghuni hutan -- kecuali Sang Kancil yang sedang melakukan penelitian di sebuah gua yang terletak nun jauh di ujung utara hutan. Alhasil tanpa kehadiran Sang Kancil yang bijaksana -- dalam pertemuan itu hanya binatang besar-besar seperti Gajah, Banteng, Singa dan Elang yang berani angkat bicara untuk memecahkan masalah batu besar. Binatang-binatang kecil memilih berdiam diri karena merasa masalah tersebut terlalu besar buat mereka.


Sang Kancil Sedang Melakukan Riset Kombinasi Warna
(sumber: animalpicturesarchive.com)


Baik Gajah, Banteng, maupun Singa mengusulkan cara yang sama untuk menyingkirkan batu besar. Yaitu dengan membuat tali-tali yang kuat lalu diikat erat-erat pada batu besar tersebut. Para binatang besar itu akan menariknya hingga batu besar tersingkir dari jalan raya.

Elang mengusulkan batu besar dimasukkan ke dalam jala raksasa, lalu mereka akan membawanya terbang dan membuangnya ke jurang. Namun usulan Elang sulit diterima, karena para binatang tidak tahu bagaimana cara memasukkan batu besar ke dalam jala. Maka usulan mempergunakan tali temalilah yang diterima.

Namun sebelum Sang Monyet -- yang menggantikan Sang Kancil memimpin rapat umum penghuni hutan -- mengetukkan palu tanda keputusan telah diambil, majulah seekor kelinci menyampaikan usulan:

“Teman-teman sekalian, dari tadi kita hanya bicara kekuatan saja untuk mengatasi masalah kita. Lihatlah baik-baik, batu besar itu melintang di tengah jalan yang diapit dinding-dinding bukit yang terjal. Tampaknya kekuatan otot saja tidak akan cukup untuk menyingkirkannya!. Saya rasa kita butuh ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah kita!” kata Kelinci.

Namun usulan itu nampaknya tidak disetujui oleh Monyet sebagai pemimpin rapat.

“Ooh, maksudmu kita butuh ilmu pengetahuan Sang Kancil untuk mengatasi masalah ini!?. Wah-wah gimana yah? Nampaknya tanpa kehadiran pemimpin kita, masalah ini akan dengan mudah kita atasi kok! Saya rasa kekuatan otot saja sudah cukup. Tidak perlu teori-teori yang muluk-muluk. Nggak perlulah kebijakan yang tinggi-tinggi untuk mengatasi masalah sederhana ini. Cukup dengan bantuan tenaga Singa atau Gajah, masalah dengan sendirinya akan teratasi” jawab Monyet

Kemudian Singa sebagai binatang besar juga nampak tidak senang dengan usulan Kelinci. Mantan raja hutan ini merasa Sang Kancil yang tubuhnya kecil itu tidak akan mampu mengatasi masalah yang butuh kekuatan besar ini.

“Nggak perlulah kita tunggu Sang Kancil. Beliau itu walaupun cerdas, tapi tubuhnya kecil. Jadi takkan mampu menyingkirkan batu sebesar itu! Ini adalah masalah yang butuh tenaga besar. Bukan masalah yang bisa diatasi para kutu buku!” kata Singa dengan kesal.

Seekor Gajah besar menyeruak diantara kerumunan lalu nimbrung ikut ngomong.

“Yah betul-betul-betul! Ini urusan binatang besar-besar seperti kami. Biarlah beliau menyelesaikan penelitiannya yang kelak akan berguna bagi kita semua. Lagipula Sang Kancil hanya belajar soal mengangkat beban berat dari buku-buku. Kami yang sering praktek langsung mengangkut batang-batang pohon raksasa tentu lebih berpengalaman dibanding beliau. Jadi lebih baik masalah ini diserahkan pada kami saja tanpa melibatkan Sang Kancil” kata Si Gajah besar yang tubuhnya bau durian karena habis melalap habis puluhan buah durian dari satu pohon durian raksasa yang telah berusia puluhan tahun.

Terdengar suara kawanan gajah yang riuh rendah sahut menyahut menanggapi kata-kata Si Gajah bau durian. Ada yang setuju dan ada pula yang menentang. Nampaknya di antara kawanan Gajah ini banyak terdapat fans berat Sang Kancil yang tidak terima idolanya diabaikan dalam masalah ini.

Setelah suara-suara para Gajah reda, tiba-tiba muncul Burung Gagak yang terbang dan hinggap di depan Monyet. Sejurus kemudian burung itu berteriak lantang dengan suaranya yang parau:

“Gaook! Gaook!.....bedul, bedul, bedul kata Bang Gajah!. Bedul sekali teman-teman! Sang Kancil yang bijak hanya tahu teori saja dalam hal mengangkat beban berat. Pemimpin kita yang cerdas itu hanya tahu rumus-rumus saja, tidak pernah praktek mengangkut beban berat dengan tangannya sendiri. Walaupun secara rumus fisika beliau tahu cara menyingkirkan batu besar, tapi di lapangan beliau pasti kebingungan karena antara teori di dalam buku-buku dengan kenyataan di lapangan jelas berbeda. Bisa-bisa beliau malahan jadi stres melihat kenyataan di lapangan lho..... hehehehe Gaook!, Gaook! ” kata Burung Gagak menutup pembicaraannya dengan tertawa terkekeh kekeh menertawakan usulan Kelinci.

Alhasil terjadilah pertengkaran hebat antara binatang yang menginginkan segera mengambil tindakan dengan yang ingin melibatkan Sang Kancil. Sampai akhirnya Monyet yang memimpin rapat umum memutuskan mengambil jalan tengah.

Diam-diam Monyet khawatir para fans berat Sang Kancil akan mengadukan bahwa dirinya telah mengabaikan Sang Kancil dalam pengambilan keputusan penting ini. Bisa-bisa dirinya kena marah dan diberhentikan dari kedudukan sebagai sekretaris hutan. Alamat dirinya bakalan jadi pekerja di kebun pisang milik Pak Gorila lagi dirinya. Secara Monyet sudah bosan manjat-manjat pohon pisang setiap hari!.

Jalan tengah yang diambil Monyet yang ingin cari selamat adalah melaksanakan usulan binatang besar untuk membuat tali temali yang akan dipergunakan untuk menarik batu besar. Bersamaan dengan itu Monyet mengutus Menthok untuk menjemput Sang Kancil.

Tentu saja Monyet memilih si Menthok! Secara dia sudah memperhitungkan bahwa dengan kelambanan gerakan Menthok, maka paling cepat Sang Kancil akan tiba di sini dalam waktu satu minggu. Waktu yang dipandang cukup oleh Monyet untuk proses penyingkiran batu besar oleh binatang-binatang besar. Jadi dirinya akan dapat membuktikan pada Kelinci dan para fans berat Sang Kancil lainnya bahwa tanpa kebijaksanaan Sang Kancil-pun masalah dapat teratasi.

Sementara itu Sang Kancil, si binatang paling bijak sehutan raya itu masih asyik di dalam Gua Selarong untuk melakukan penelitian resep-resep yang terdiri atas ramuan daun-daunan dan batu-batuan untuk mendapatkan kombinasi warna tertentu yang tahan terpaan panas dan hujan. Kombinasi warna-warna itu sangat diperlukan untuk membuat bermacam-macam penanda dan rambu penunjuk jalan di dalam hutan agar para binatang tidak tersesat. Dia masih akan meneliti selama satu minggu lagi andai saja Menthok tidak menjemputnya.

^_^

Bersamaan dengan keberangkatan Menthok menjemput Sang Kancil, para penghuni hutan bekerja keras memintal tali temali yang kuat. Tali temali tersebut kemudian diikatkan pada batu besar. Setelah tali terikat kuat, lalu binatang-binatang besar seperti Gajah, Singa, Gorilla dan Banteng secara beramai-ramai menarik tali itu agar batu besar dapat tersingkir dari tengah jalan.

Namun berkali-kali tali temali tersebut putus saat ditarik. Semakin kuat para binatang besar menarik tali, maka semakin cepat putuslah tali-tali itu. Bahan tali-pun telah berkali-kali diganti dengan bermacam-macam serat, namun tetap saja putus. Mulai dari rumput-rumputan, batang pisang, batang tebu, enceng gondok, tali rami hingga rotan, semuanya telah dicoba dan semuanya putus saat dipergunakan menarik batu besar.

Korban-korban mulai berjatuhan. Saat tali putus, ada saja binatang besar yang kepalanya terantuk tanah, kakinya terkilir atau tangannya patah. Singa yang gagah-pun nampak meringis-ringis kesakitan saat kakinya patah.

Sampai di hari ke-enam telah puluhan Gajah, Singa dan Banteng perkasa yang cedera, sedangkan batu besar tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya binatang-binatang besar itu menyerah kalah dan duduk-duduk kleleran di seputar batu besar sambil menunggu kedatangan pemimpin mereka yang rajin menuntut ilmu, yaitu Sang Kancil.

Monyet yang tadinya optimis mampu memecahkan masalah tanpa ilmu pengetahuan Sang Kancil-pun akhirnya tertunduk malu, mengakui bahwa ilmunya sangat kurang untuk mengatasi masalah besar seperti ini. Diam-daim dia mengakui kebenaran kata-kata Kelinci, bahwa kekuatan saja tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini.

^_^

Untunglah pada hari ketujuh muncullah Sang Kancil sambil diiringi Menthok yang berjalan megal-megol di sampingnya. Kancil nampak terkejut melihat belasan binatang besar yang tergolek terluka di sekitar batu besar. Kepalanya menggeleng-geleng tanda tidak setuju melihat tali-tali putus yang masih terikat pada batu besar.

Setelah diperiksanya binatang-binatang yang terluka, Sang Kancil mendiktekan ramuan-ramuan yang harus dibuat oleh Kuda untuk mengobati binatang-binatang besar yang terluka. Baru setelah itu Sang Kancil mendekati batu besar itu dan mengamatinya sejenak.

Diperintahkannya Monyet untuk mengumpulkan kembali binatang-binatang hutan. Kemudian Sang Kancil memimpin langsung pertemuan. Tanpa banyak kata-kata Sang Kancil langsung memerintahkan para binatang kecil seperti kelinci, tikus dan berang-berang untuk menggali lubang yang dalam & lebar di samping batu besar.

Setelah lubang besar siap, kemudian tanah di bawah batu besar secara pelan-pelan di keruk oleh Kelinci. Disusul para Gajah menyemburkan air di tanah sekeliling batu besar itu hingga pelan-pelan batu besar terguling ke dalam lubang besar. Setelah batu besar secara keseluruhan masuk ke dalam lubang besar, dengan cekatan para Banteng menutup lagi lubang tersebut dengan tanah. Kini batu besar telah lenyap dari tengah jalan.

Para binatang sangat terkagum-kagum dengan kebijaksanaan Sang Kancil. Ternyata kata-kata yang mengatakan bahwa teori-teori Sang Kancil hanya dapat diterapkan di buku-buku saja -- tidak terbukti. Hanya butuh beberapa jam bagi Sang Kancil untuk memecahkan masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh para binatang besar selama satu minggu. Para binatang hutan merasa sangat beruntung memiliki teman Sang Kancil yang gemar meneliti untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Berkat kebijaksanaan Sang Kancil kini para binatang hutan dapat kembali leluasa melintasi jalan raya yang membelah hutan (undil-2010).

Catatan: Cerpen ini diilhami cerita “Bagaimana Petani Membuang Batu” karya Leo Tolstoy, seorang sastrawan besar Rusia.

tags: cerita anak, cernak, cerpen, cerita pendek, dongeng sang kancil, serita manajemen, cerita psikologi

Minggu, 24 Januari 2010

Hari Pertama Atika Pergi ke Sekolah

Atika heran melihat teman-temannya pagi ini berdandan rapi. Dyah dan Dini, keduanya memakai pita warna-warni di rambutnya. Dua anak perempuan itu juga memakai rok dari katun yang dihiasi renda-renda di bawahnya. Dyah bahkan memakai sepatu bisbos warna merah yang biasanya hanya dikenakan bila diajak ayahnya ke kota untuk melihat pasar malam Sekaten.

“Kalian mau kemana?” tanya Atika

“Aku dan Dini mau sekolah”

Atika tertegun mendengar jawaban Dyah. Sekolah bukanlah kata-kata baru baginya. Di belakang Balai Desa Brosot terdapat satu sekolah rakjat yang konon telah berdiri sejak jaman normal, saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa. Biasanya anak-anak yang lebih besar dari Atika yang bersekolah di sana. 

Dulu Atika berpikir sekolah itu bukan untuk dirinya dan teman-temannya. Dikiranya sekolah hanya untuk anak-anak yang ingin belajar menyanyi dan suka baris berbaris. Karena sering dilihatnya anak-anak sekolah pada latihan baris berbaris di lapangan. Jika dia lewat di dekat sekolah sering terdengar mereka sedang menyanyi bersama-sama dengan suara keras. Dia sendiri tidak tahu arti lagu yang mereka nyanyikan.

More we are together, together, together
More we are together, the happier will be




(sumber: idesign.com)



“Apa kalian sekolah karena ingin belajar menyanyi?” tanya Atika pada kedua temannya

“Iyah, aku ingin bisa menyanyi seperti sepupuku yang sudah sekolah sejak setahun yang lalu. Dia hapal banyak sekali lagu yang bagus-bagus” jawab Dyah

Lalu Dyah bercerita bahwa Ayah dari sepupunya itulah yang menyuruhnya bersekolah. Sebenarnya Si Paman yang bekerja di Kantor Residen di Wates itu berniat mengantar Dyah mendaftar sekolah. Namun karena sejak minggu lalu terjadi banjir besar di sana, maka Paman harus menjaga rumahnya. Lagipula Paman pasti kesulitan mendapatkan Andong  untuk membawanya ke sini. Terpaksalah Paman membatalkan niatnya untuk mengantar dirinya ke sekolah.

Untungnya sewaktu berkunjung ke rumah Dyah bulan lalu, Paman sempat membuat surat pengantar untuk dibawa Dyah saat pergi ke sekolah. Rupanya surat itu sengaja dibuat Paman untuk jaga-jaga jika dirinya berhalangan datang untuk menemani Dyah.


“Surat itu apa? Apa dia bisa bicara seperti manusia? ” tanya Atika dengan kening berkerut karena heran Paman Dyah bisa diwakili oleh sebuah benda bernama surat.

“Aku juga gak tahu. Katanya dia itu bisa bicara, tapi tidak terdengar suaranya dan anehnya orang yang diajak bicara bisa mengerti!” jawab Dyah sambil menunjukkan sepucuk surat yang terbungkus rapi dalam amplop

Atika tambah terheran-heran mendengar jawaban Dyah. Kertas itu tidak bisa bersuara tapi orang yang diajak bicara bisa mengerti?. Kok aneh yah?. Tiba-tiba saja Atika teringat pada ikan-ikan yang ada di kolamnya. Mereka juga tidak pernah bersuara, tetapi selalu kemana-mana bergerombol seperti sedang mengobrol. Mungkin surat itu berbicara seperti ikan, tidak terdengar suaranya tapi bisa dimengerti.


“Kata Paman kalau ingin bisa bicara dengan surat, kita harus sekolah” lanjut Dyah.

Mendengar penjelasan itu Atika jadi ingin ikut pergi ke sekolah. Ada apa saja di sana? Apa saja yang diajarkan sehingga mereka bisa bicara dengan surat?. Maka pagi itu Atika sambil bernyanyi-nyanyi riang membuntuti dua temannya berangkat ke sekolah.

Bebek adus kali
Kosokan sabun wangi
Bapak mundhut roti
Cah ayu diparingi

^_^

Ketika dua temannya masuk ke halaman sekolah, Atika tanpa ragu membuntuti di belakangnya. Saat keduanya masuk ke bangunan sekolah, Atika diam menunggu di luar. Semenit, dua menit, tiga menit hingga setengah jam mereka tidak juga keluar dari bangunan sekolah. Atika penasaran. Didekatinya pintu bangunan sekolah, lalu pelan-pelan dijulurkan kepalanya untuk melihat isi bangunan lewat pintu yang tidak tertutup.

Dilihatnya ruangan penuh dengan anak-anak yang sedikit lebih besar dari dirinya. Sebagian besar laki-laki, ada beberapa perempuan. Diantara mereka terdapat Dyah dan Dini yang duduk di bangku paling depan. Tangannya anak-anak itu terlipat rapi di atas meja, asyik mendengarkan seorang perempuan muda yang tengah bercerita. Cerita tentang Abunawas dan Raja Harun Al Rasyid. Satu tokoh dongeng favorit Atika yang sering didengarnya dari kakeknya bila beliau berkunjung ke rumah Atika.

Diam-diam Atika melangkahkan kaki memasuki ke ruangan. Kemudian berdiri di depan pintu sambil mendengarkan cerita perempuan muda itu. Tak terasa setengah jam berlalu kala perempuan itu selesai bercerita. Tiba-tiba pandangan matanya mengarah ke Atika.

Atika terkejut dipandangi oleh perempuan itu. Tapi kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat pada orang yang lebih tua — seperti yang diajarkan ibunya. Perempuan itu mendekati Atika dan mulai bertanya

“Siapa namamu?”

“Atika Diandra Puspadewi”

“Berapa umurmu?”

Atika diam. Dia tidak tahu berapa umur dirinya. Tapi kata Ibunya dirinya dilahirkan pada tahun yang sama dengan Anggraini anak Pak Mantri. Kemarin Anggra mengundang dia dan teman-temannya untuk syukuran ulang tahunnya yang kelima. Jadi umurnya pasti juga lima tahun.

“Lima tahun Bu” jawab Atika dengan tangkas

“Panggil saja saya Ibu Guru” kata perempuan itu.

Kemudian Ibu Guru itu menyuruh Atika memegang telinga kiri dengan tangan kanannya dengan melewati bagian atas kepala. Ternyata tangan Atika belum cukup panjang untuk menyentuh telinga. Walaupun sudah dipaksakan, tak juga bisa menyentuh telinga. Tes sederhana ini biasa digunakan untuk mengetes kelayakan umur seorang anak untuk masuk sekolah. Namun hal itu nampaknya tidak dipermasalahkan oleh Ibu Guru. Perempuan dengan rambut berkepang dua itu malahan tersenyum, lalu bertanya pada Atika

“Kamu mau sekolah?”

“Mau Ibu Guru” jawab Atika dengan riang.

Ibu Guru mengambil sebuah buku besar, kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan pada Atika.

“Kamu lahir tanggal berapa?”

Atika menggelengkan kepalanya. Tanggal dan tahun adalah dua hal yang tak pernah diperhatikan oleh dirinya. Dirinya hanya tahu jika Adik Bapak yang bekerja di Dinas Pengairan di kota sering berkata ada tanggal muda dan tanggal tua. Kalau tanggal muda berarti banyak uang, namun kalau tanggal tua berarti saatnya berhemat atau berhutang beras pada Ibu Atika.

“Tadi kamu bilang umurmu 5 tahun. Hmmm berarti kamu lahir tahun 1947. Tanggalnya...emmm 1 Januari saja biar mudah diingat. Nah, mulai sekarang Atika, kalau ada orang bertanya tentang tanggal lahirmu, jawabannya adalah 1 Januari 1947” kata Ibu Guru sambil tersenyum.

“Siapa nama Bapakmu?”

“Pak Harjo” jawab Atika karena dirinya ingat nama itulah yang dipakai tetangga-tetangganya untuk memanggil bapaknya. Ibunya memanggil Bapaknya dengan nama Mas Har. Tapi Atika berpikir kalau nama bapaknya tentu bukan Har saja, tapi Harjo. Dulu ada juga tetangganya yang memanggil dengan nama Harjo Blantik. Blantik adalah sebutan untuk tukang jual beli hewan seperti sapi dan kerbau. Karena bapaknya sudah lama tidak lagi jual beli hewan, maka Atika menganggap tambahan blantik itu juga ikut hilang. Jadi nama Bapaknya cukup Harjo saja.

“Siapa nama Ibumu”

Atika kaget. Dia tidak pernah tahu nama Ibunya. Yang dia tahu, tetangga-tetangganya memanggil ibunya dengan nama Bu Harjo. Tapi Atika ingat Bapaknya Dyah bernama Kardiman, lalu Ibunya dipanggil Bu Kardiman, istrinya Pak Mantri dipanggil Bu Mantri, jadi nama yang dimaksud Ibu Guru pastilah bukan nama yang itu. Pastilah ada nama lain yang dipakai ibunya.

Kemudian Atika mencoba mengingat-ingat nama panggilan Ibunya. Bapaknya selalu memanggil ibunya dengan panggilan Neng. Nenek memanggil Ibunya dengan Neng Fat.Pamannya memanggil dengan panggilan Mbak Fat. Sementara Bu Lilik tetangganya, memanggil dengan nama Mbak Fatim.


Atika berpikir keras mencari-cari nama Ibunya sampai akhirnya dia teringat cerita Pak Kyai. Guru yang mengajar di Langgar tempat Atika setiap hari belajar mengaji itu sering bercerita tentang kedermawanan Siti Fatimah, putri Nabi Muhammad. Yah, pastilah nama lengkap Ibunya adalah Siti Fatimah seperti nama putri Nabi. Kemudian Atika teringat seorang tamu pernah kebingungan sambil keliling-keliling kampung untuk mencari orang bernama Siti Fatimah, yang ternyata yang dimaksud si tamu adalah ibunya. Jadi tak salah lagi nama ibunya adalah Siti Fatimah.

“Bu Siti Fatimah” jawab Atika dengan mantap. 


"Anak Pintar kamu" puji Bu Guru

“Nah Atika, mulai hari ini kamu bisa mulai sekolah. Datanglah ke sini setiap hari. Sekolah dimulai jam 7 pagi dan selesai jam 10 siang. Nanti setiap anak mendapat 1 buah buku dan 1 buah pensil. Setiap Jumat akan ada pembagian susu bantuan Unicef. Ada juga majalah-majalah bergambar kiriman dari luar negeri yang boleh dipinjam. Di sekolah kamu akan belajar membaca dan berhitung biar jadi anak pintar” kata Ibu Guru

‘Apakah saya diajari cara bicara dengan surat Bu Guru?

Ibu Guru tertawa geli mendengar pertanyaan Atika.

‘Yah, dengan belajar membaca dan menulis kamu bisa bicara dengan menggunakan surat” jawab Ibu Guru

Atika tertawa senang, dia membayangkan sebentar lagi dirinya bisa bicara dengan surat. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah setelah bisa bicara dengan surat, dirinya juga bisa mengerti cara ikan-ikan berbicara?. Ah, tapi itu tak penting bagi Atika. Yang penting sekarang dirinya telah bersekolah dan dia senang sekali punya banyak teman-teman baru (Undil –2010).

tags: cerpen, cerita pendek, cerita anak, cerita hari pertama masuk sekolah


Minggu, 17 Januari 2010

Cerpen Kisah Perjalanan Amara dan Eyang

Amara Hilda terheran-heran ketika Eyang Putri (nenek) justru mengajaknya ke kebun saat dirinya minta diantar ke pasar untuk membeli jajanan. Tangan kanan Eyang memegang galah bambu, sementara tangan kirinya menuntun tangan gadis kecil berusia 5 tahun itu. Ada belasan pohon pisang yang berbaris rapi di sisi kanan kebun. Perempuan itu dengan cekatan bergerak mendekati satu pohon pisang yang buahnya nampak mulai menguning.

Eyang mempergunakan galah bambu untuk mengunduh pisang. Ujung bambu yang runcing itu ditusuk-tusukkan ke bagian atas batang pisang, tepat di bawah untaian buah yang satu dua telah berubah menjadi kuning. Tak berapa lama kemudian pohon pisang mulai merunduk, dan perlahan-lahan condong ke bawah hingga buahnya menyentuh tanah.


picassos-girl-with-dove
(paintingsilove.com)

Dengan gesit Eyang memotong tandan pisang dengan pisau yang tajam berkilat. Beberapa sisir pisang yang telah dipotong itu lalu dimasukkan ke dalam wadah anyaman bambu.

Berikutnya Eyang mengajak Amara melihat petarangan Si Blorok, nama ayam kampung betina peliharaan Eyang. Petarangan adalah tempat khusus yang disediakan Eyang untuk tempat bertelur ayam-ayamnya. Dihitungnya telur-telur yang ada di petarangan Si Blorok, ada 8 butir. Eyang mengambil 5 butir dan menyisakan 3 butir.

Eyang beralih ke petarangan Si Putih dan mengambil 4 butir telur. Pada petarangan Si Brintik, Eyang mengambil 6 butir telur. Dengan hati-hati telur-telur itu ditempatkan pada tempat telur berbentuk persegi dengan lekukan-lekukan yang masing-masing berukuran satu telur pada posisi berdiri.

“Kita jual pisang dan telur, nanti uangnya kita belikan barang-barang yang kau inginkan!” kata Eyang pada Amara

Amara mengangguk tanda setuju. Baru pertamakali ini dirinya membeli sesuatu dengan terlebih dahulu menjual sesuatu untuk mendapatkan uang. Heran dan senang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana rasanya yah mendapatkan uang dari menjual sesuatu?. Sebentar lagi dirinya bakal merasakannya.

^_^

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke pasar. Eyang membawa pisang dan telur pada satu keranjang besar dari anyaman bambu yang ditenteng dengan tangan. Sementara Amara mendorong roda dorong mini yang berisi dua sisir pisang.


Eyang telah berkata pada Amara untuk belajar mendapatkan uang dengan tangannya sendiri. Amara-pun telah setuju dengan hati berbunga-bunga membayangkan akan mendapatkan uang dengan kerja sendiri. Makanya dia tidak mengeluh saat harus mendorong roda kecil bermuatan pisang menuju ke pasar.

Seorang tukang cukur menyapa Eyang tatkala mereka lewat di depan kiosnya. Amara dengan riang menceritakan bahwa dirinya sedang mencari uang untuk beli makanan kecil. Si Tukang Cukur tertawa senang mendengar kata-kata Amara yang penuh semangat. Katanya kelak bila cucunya telah seumuran Amara, akan dilatihnya mencari uang dengan sekali-kali membantunya membawakan bedak & handuk di kiosnya.

Seorang tukang sepatu menyapa Cucu dan Nenek itu kala mereka lewat di depannya. Eyang balas menyapa sambil menceritakan tentang Amara yang baru pertamakali akan menjual sesuatu ke pasar. Wajah tukang sepatu tampak terkejut, tapi kemudian tertawa melihat dua sisir pisang di roda dorong Amara. “Wah-wah semoga pisangnya cepat laku di pasar yah!” katanya sambil menepuk-nepuk kepala Amara. Gadis kecil yang bersekolah di TK itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya akan menjual dua sisir pisang untuk mendapatkan uang buat jajan.

Ketika melintas di hadapan nenek tua yang berjualan beberapa buah pot tanah liat, Eyang berhenti sebentar. Dia duduk di depan nenek tua itu sambil bercakap-cakap. Sesaat kemudian Eyang mengeluarkan satu sisir pisang & dua butir telur, lalu mengulurkan pada nenek tua itu. Wajah nenek tua yang tadinya murung tiba-tiba berseri-seri sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Eyang.

Amara kaget, kenapa pisang dan telur yang akan dijual malahan diberikan pada nenek tua itu. Tapi Eyang tersenyum sambil menggandeng Amara meninggalkan tempat itu.

Sambil berjalan Eyang menjelaskan bahwa nenek tua itu telah berjalan sejauh 10 km sambil menggendong 5 buah pot bunga dari tempat pembuatannya. Pot-pot yang dia jual belum tentu laku dibeli orang, jadi Eyang memutuskan untuk memberikan pisang dan telur buat makan si nenek selama menunggu dagangannya. Nanti sepulang dari pasar, jika masih tersisa uang, Eyang juga bermaksud membeli dua buah pot yang dijual seharga 5 ribu rupiah itu.

Amara yang sebelumnya mau marah, berubah jadi sedih. Diam-diam air matanya menetes karena terharu atas kerja keras yang harus dilakukan nenek tua demi mendapatkan makanan. “Andai dia punya kebun pisang atau punya ternak ayam tentu tidak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan uang” kata Amara dalam hati.

Berikutnya mereka melewati seorang penjual pakaian dan perlengkapan sehari-hari yang memajang dagangannya pada sebuah mobil pickup terbuka. “Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga” teriak orang itu sambil mengacung-acungkan handuk pada orang-orang yang melintas di dekatnya. Beberapa orang nampak tertarik lalu melihat-lihat dagangan orang itu. Amara tampak juga tertarik lalu berbisik pada Eyang. “Yangti, murah banget handuknya. Ntar kita beli yah!”

Namun Eyang tersenyum lalu mengatakan bahwa sesuatu yang berharga murah tetap merupakan pemborosan bila Amara membelinya saat tidak membutuhkan. “Jangan lihat harganya mahal atau murah, tapi lihatlah apakah kita membutuhkan” katanya

Amara mengangguk-angguk tanda setuju. Dirinya memiliki lebih dari lima buah handuk. Jadi tidak butuh handuk baru lagi. Lebih baik uangnya buat keperluan yang lain saja.

Saat lewat di depan tukang ikan hias, terdengar teriakan-teriakannya menawarkan beberapa ikan koki mungil dalam plastik. Amara tersenyum karena teringat ada banyak ikan koki besar di kolam depan rumah nenek. Dirinya tidak membutuhkan ikan-ikan itu, tapi dia tertawa senang melihat ikan-ikan kecil yang lucu itu. Tangannya menepuk-nepuk plastik ikan dengan riangnya sampai-sampai si Tukang Ikan tertawa geli melihatnya.

^_^

Akhirnya sampailah mereka di pasar. Eyang mengajak Amara ke Tukang Pisang yang berada di pojok utara pasar. Satu demi satu pisang dikeluarkan dari tasnya. Disusul dua sisir pisang dari roda dorong Amara di berikan ke Tukang Pisang. Ada 9 sisir pisang yang ditawarkan kepada pedagang itu. Si Tukang Pisang nampak mengamat-amati pisang-pisang tersebut, sejenak kemudian dia menyebutkan harga untuk ke-9 sisir pisang.

Eyang nampak belum setuju dengan harga yang ditawarkan Tukang Pisang. Setelah tawar menawar sejenak, akhirnya mereka sepakat dengan harga pisang delapan ribu rupiah satu sisirnya. Berarti untuk 9 sisir pisang Amara dan Eyang mendapatkan uang 72 ribu rupiah.

Setelah itu Eyang mengajak Amara ke Tukang Jamu untuk menjual telur. Satu telur ayam kampung langsung dihargai 1500 rupiah oleh tukang jamu, sehingga dari 12 telur yang dibawa, mereka mendapatkan 18 ribu rupiah. Dengan demikian sekarang mereka berdua punya uang 90 ribu rupiah dari penjualan pisang dan telur. Eyang tampak berseri-seri sambil mengucapkan Alhamdulillah atas rizki yang dikaruniakan Allah pada mereka berdua.

Sejenak kemudian Amara telah diantar Eyang ke tukang jualan jajanan pasar. Namun kali ini Amara tidak bermaksud membeli banyak-banyak seperti biasanya. Dia berhitung dari dua sisir pisang yang dibawanya dia hanya mendapat 16 ribu rupiah. Jadi dia bermaksud membeli jajanan kurang dari jumlah itu.

Amara memilih dengan hati-hati makanan yang akan dibelinya. Tiap kali dia berhenti dan menghitung jumlahnya. Dibandingkannya dengan uang yang dihasilkannya. Setelah beberapa lama Amara telah membeli wajit, cenil, tiwul, gatot, kue pukis, grontol jagung dan gethuk. Semua makanan yang diinginkannya telah dibeli. Uang yang dikeluarkan tak lebih dari 10 ribu rupiah. Eyang tersenyum geli melihat tingkah laku Amara. Setelah Amara selesai berbelanja, Eyang membeli tambahan beberapa gethuk dan kue-kue untuk dimakan ramai-ramai di rumah.

Kemudian Eyang menggandeng Amara pergi ke tukang sayur untuk membeli sayur-sayuran, tempe, tahu dan satu butir kelapa yang telah diparut. Lalu mendatangi Tukang Beras untuk membeli ketan hitam dan kacang hijau untuk sarapan besok pagi.

Ketika berjalan di dekat seorang berkakinya lumpuh -- yang sedang duduk menunggui dagangan berupa sandal-sandal yang terbuat dari kayu -- Eyang menghampiri orang itu. Sesaat kemudian dipanggilnya Amara untuk mencoba sandal kecil dari kayu. Amara tampak gembira sekali mendapatkan sandal kayu yang telah dilukis warna-warni itu. Diam-diam dirinya tahu bahwa Eyang bermaksud menolong orang yang menjual sandal kayu itu. Dia membayangkan teman-teman orang itu di kampung pastilah menunggu dengan harap-harap cemas atas hasil penjualan sandal-sandal kayu buatan mereka.

Saat melewati masjid kecil yang terletak di sisi barat pasar, Eyang memanggil seorang kuli angkut dan menyuruh kuli itu untuk mencuci karpet masjid sambil mengulurkan uang 20 ribu rupiah. Si kuli tampak senang dan dengan cekatan mengeluarkan dua karpet dari dalam masjid dan mencucinya di sumur umum tak jauh dari masjid. Amara bermaksud ikut orang itu mencuci karpet, namun dilarang oleh Eyang karena bajunya nanti basah. Jadi Amara hanya mengamati orang itu mencuci karpet dengan mempergunakan sebuah sikat besar hingga nampak bersih, lalu menjemurnya.

Dalam perjalanan pulang Eyang mampir ke rumah seorang sahabatnya yang tinggal di selatan pasar, sambil membawa satu bungkus gethuk sebagai oleh-oleh. Sahabat Eyang itu berkata pada Amara bahwa mereka berdua telah bersahabat sejak kecil. Mereka pernah sama-sama merantau kala sekolah SGA di Jogja dan kini berkumpul kembali di kampung halaman. Belakangan ini mereka berdua tengah berencana membuat tempat penitipan bayi dengan biaya murah di pasar. Tujuannya untuk melayani padagang-pedagang kecil yang memiliki bayi, agar bayi mereka tetap ada yang memperhatikan pada saat ibunya sibuk berdagang.

Lima belas menit kemudian mereka berpamitan pada Ibu tua yang baik hati itu dan melanjutkan perjalanan pulang. Eyang menyempatkan diri mampir ke nenek tua pedagang pot bunga untuk membeli dua buah pot seharga 10 ribu rupiah. Rencananya Eyang akan mempergunakan pot itu untuk memindahkan cabe rawit yang ditanam di kebun belakang. “Biar lebih mudah dipetik bila di taruh di dekat dapur” kata Eyang pada Amara. Nenek tua penjual pot nampak berseri-seri melihat dagangannya dibeli.

Amara menggamit tangan Eyang, sambil minta Eyang memberikan lima ribu rupiah sisa uang penjualan dua sisir pisang untuk membeli satu buah pot bunga. Amara ingin mengambil beberapa melati yang wangi dari kebun belakang untuk ditanam di dalam pot itu. Si nenek tua tampak bahagia sekali melihat Amara membeli satu buah potnya yang tersisa. Dia bercerita bahwa beberapa saat yang lalu ada seorang Bapak yang membeli dua buah potnya, sehingga kini lima buah pot semuanya telah laku terjual. Hari ini dia bisa pulang cepat karena dagangannya telah laku semua

Amara terharu sampai meneteskan air mata melihat kegembiraan di wajah nenek itu. Baru disadari bahwa dirinya jauh lebih beruntung dibanding si Nenek tua yang sudah lanjut usia masih harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Sementara dirinya dapat hidup berkecukupan tanpa perlu berkerja. Amara juga takjub, bahwa sedikit saja bantuan dari dirinya sudah cukup untuk membuat nenek tua itu nampak bahagia sekali.

Amara dan Eyang melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Liburan kali ini benar-benar liburan yang istimewa buat Amara. Dirinya mendapatkan banyak pengalaman baru, mulai dari bagaimana mendapatkan uang, cara membelanjakan uang dan mempergunakan uang untuk menolong orang lain. “Kapan lagi yah aku bisa liburan sehebat ini?” kata Amara Hilda dalam hati (undil – 2010)

tags: contoh cerpen, contoh cerita pendek, cerita anak, cerpen



Sabtu, 09 Januari 2010

Cerpen Sang Kancil dan Gurita Raksasa

Sore hari ketika Sang Kancil sedang asyik masyuk berjalan-jalan seorang diri di tepi Pantai Samas yang curam. Hari ini dia merasa perlu mempelajari jenis-jenis rumput yang tumbuh di tepi pantai. Mungkin suatu saat rerumputan pantai bisa dijadikan bahan makanan kala persediaan makanan di hutan menipis.

Tatkala Sang Kancil tengah mengamati rerumputan berwarna merah, mendadak terdengar suara keras menggelegar memanggil-manggil namanya. “Hai, Sang Kancil, aku ingin nasehat darimu.........!!!”.



Gurita dan anaknya (gambar diolah dari designlaunches.com)


Kancil kaget mendengar suara keras dari arah laut. Dilongokkan kepalanya mencari-cari arah suara, dilihatnya seekor gurita raksasa bertepuk tangan agak jauh dari pantai. Delapan lengan Gurita itu bergantian menunjuk-nunjuk serentetan batu karang yang berjajar menjorok ke arah laut dan menyuruh Kancil berjalan menuju dirinya.

Dengan hati-hati Kancil melangkahkan kaki menuruni tebing pantai dan melompat ke batu karang tersebut. Tak berapa lama kemudian langkah Sang Kancil berhenti di ujung deretan batu karang, tepat di hadapan Gurita raksasa.


“Aku punya masalah dengan dua orang anakku’ kata Gurita terbata-bata. Sebelum mengungkapkan masalahnya Gurita mengakui bahwa dirinya sangat terkesan dengan kebijaksanaan yang ditunjukkan Sang Kancil di hutan. Kata Gurita, kebijaksanaan Kancil tatkala menghadapi para pemburu telah tersohor hingga ke dunia bawah laut, sehingga dirinya rela berminggu-minggu nongkrong di tepi pantai untuk menanti kehadiran Sang Kancil -- yang menurut kabar burung camar -- kadang-kadang terlihat sedang meneliti tumbuh-tumbuhan di tepi pantai.

Sesaat kemudian Gurita bercerita tentang dua orang anaknya yang selalu bertengkar untuk memperebutkan makanan yang diberikan induknya. Setiapkali dia membawa pulang ikan, udang atau kepiting, dua anaknya berebut untuk memakannya. Semakin lezat makanan, misalnya si induk mendapat mangsa ikan hiu, maka semakin hebatlah pertengkaran anaknya.

“Mengapa tidak kau bagi dua saja?” tanya Kancil

“Itulah masalahnya Mas Kancil" ujar Gurita


"Kalau makanan aku bagi dua, mereka berebut memilih bagian yang dianggap lebih besar. Padahal ukurannya sebenarnya sama, hanya terlihat lebih besar karena ada tulangnya. Jika si adik disuruh memilih terlebih dahulu, maka si kakak akan memilih bagian yang sama. Jadilah mereka bertengkar. Jika si kakak yang memilih terlebih dahulu, maka si adik ikut-ikutan ingin porsi yang telah dipilih akaknya. Pusinglah aku dibuatnya” lanjutnya

“Ah, namanya anak-anak, mereka hanya perlu diajari sedikit tentang keadilan” kata Kancil

“Wah, gimana dung caranya?”

“Gampang banget. Ntar kalau kamu pulang dari mencari makan, taruh semuanya di hadapan anak-anakmu. Kemudian suruh salah satu membagi makanan!” ujar Sang Kancil

“Waduh, apa nggak malah lebih repot lagi nantinya. Mereka pasti berebut ingin jadi yang membagi makanan agar dapat bagian yang lebih besar!”

“Yang membagi makanan tidak boleh memilih terlebih dahulu. Jika si kakak membagi, maka adiknya yang boleh memilih makanan hasil pembagian. Begitu juga sebaliknya. Dengan cara demikian si pembagi akan berusaha keras agar dapat membagi makanan dengan seadil-adilnya” urai Kancil sambil tersenyum.

“Wah ide yang brilian sekali Sang Kancil. Besok aku akan suruh anakku bergantian membagi jatah makanan. Kuharapkan dengan cara itu mereka tak akan bertengkar lagi’ kata Gurita sambil bertepuk tangan kegirangan dengan kedelapan lengannya.

Sang Kancil tersenyum melihat Gurita kegirangan. Didalam hatinya dia tahu persis bahwa ada banyak cara untuk memaksa makhluk seperti anak gurita untuk bersikap adil. Ada banyak cara yang bisa dipelajari dengan mudah untuk membuat mereka bersikap baik (undil- 2010)



Pluralisme atau Toleransi?

Mulanya Romo Wage tidak keberatan Pak Wagu menitipkan buletin setiap hari Jumat untuk dibaca Jamaah Masjid setelah Sholat Jumat. Namun ketika suatu ketika Romo Wage membaca isinya, terperanjatlah dirinya.

Buletin yang dikemas cantik itu ternyata berisi propaganda orang-orang tertentu yang menganggap semua agama sama. Pada salah satu edisi buletin itu menyatakan bahwa Islam dan agama-agama lain sebenarnya menuju Tuhan yang sama, hanya cara ibadahnya saja yang berbeda-beda. Buletin itu juga terang-terangan membela eksistensi tokoh-tokoh aliran sesat dan mendesak umat Islam untuk membiarkan aktifitas orang-orang yang menyebarkan ajaran sesat di kalangan umat Islam, dengan alasan tidak boleh ada monopoli kebenaran. Bahkan mereka juga menganjurkan Umat islam untuk memperlakukan Al Quran sebagai buku biasa yang bisa direvisi isinya disesuaikan dengan budaya masakini.

Tentu saja Romo Wage keberatan dengan propaganda sesat seperti itu. Dirinya berserta pengurus masjid lainnya telah bersusah payah merintis pendirian masjid untuk membina akidah masyarakat sekitar, kini tiba-tiba Pak Wagu datang dengan buletinnya untuk mengacak-acaknya.

^_^

Pluralisme pada awalnya didefinisikan sebagai eksistensi bersama berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. Jika pluralisme didefiniskan sebatas toleransi seperti itu, maka tidak ada masalah dengan pluralisme.


Namun belakangan ini telah bermunculan definisi pluralisme yang berbeda dari bentuk awalnya, sehingga pengertian pluralisme menjadi rancu. Sebagian pluralis bahkan memasukkan paham relativitas kebenaran dalam pluralisme.

Paham relativitas kebenaran adalah keyakinan akan tidak adanya kebenaran mutlak yang diketahui manusia. Seorang relativis akan menerima kebenaran apa saja, karena tidak memiliki pendirian apapun. Dia akan menganggap semua agama itu sama-sama baik dan benar, serta tidak ada satu agama-pun yang boleh memonopoli kebenaran.

Menurut John Hick agama-agama hanyalah persepsi dan konsepsi manusia terhadap Tuhan dan perbedaan antar agama terjadi karena adanya perbedaan kultur di antara bangsa-bangsa. Bagi John Hick semua agama pada hakekatnya adalah sama, mereka hanya menempuh yang berbeda menuju Tuhan yang sama. Tentu saja paham ini sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan Islam berdasarkan wahyu dari Allah.

Diana L. Eck menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, bukan sekedar menerima pluralitas atau perbedaan, namun pluralisme adalah peleburan agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu agama yang plural. Diana bahkan menyarankan agama-agama agar bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain karena bagi dia, setiap agama punya porsi kebenaran. Menurut Diana semua agama sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.

Ada lagi pluralis yang mengusung doktrin kesatuan agama-agama. Menurut Schuon agama dibagi menjadi dua, yaitu tingkat eksoterik (lahiriah) dan tingkat esoterik (batiniah). Pada tingkat lahiriah agama memiliki Tuhan, teologi & ajaran yang berbeda, namun pada tingkat batiniah agama-agama menyatu dan memiliki Tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.

Dalam hubungannya dengan Islam, kini muncul kelompok pluralis yang menganggap semua konsep dan tatanan yang mapan dalam Islam adalah biang keladi kemunduran umat Islam (sebenarnya lebih tepat disebut kemunduran dunia timur dibanding dunia barat, karena bukan hanya orang Islam saja yang hidup di dunia timur).

Mereka beranggapan semua konsep dan tatanan yang mapan tersebut harus dirombak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan perkembangan jaman. Tentu saja hal ini sangat erat kaitannya dengan ajaran pluralisme yang mencoba menyatukan agama-agama lewat doktrin-doktrin global yang berkembang di masyarakat barat.

Menurut mereka hal-hal yang diyakini secara tradisional oleh umat Islam harus disesuaikan dengan ide-ide global seperti doktrin hak asasi manusia, kesetaraan gender, sekularisme, humanisme dan ajaran modern lainnya. Karenanya banyak ajaran-ajaran kaum pluralis bertentangan dengan ajaran islam yang disebabkan penggunaan doktrin-doktrin tersebut sebagai patokan utama dalam memodifikasi aturan-aturan agama dan bukan berpegang pada kitab suci.

Ajaran pluralisme mennghadapi penolakan yang luas, karena tidak selayaknya firman-firman Allah yang mulia dirubah-rubah & dimodifikasi hanya untuk mengikuti doktrin orang barat yang kebetulan pada saat ini tengah mendominasi dunia. Misalnya soal homoseksualitas, selamanya homoseksualitas adalah sesat dan tidak dapat diterima dalam Islam, walaupun sebagian orang barat dapat menerimanya. Seperti halnya perjudian dan mabuk-mabukkan yang tidak akan pernah diterima dalam Islam.

Sebenarnya untuk mengharmonisasi keberagaman dapat dilakukan tanpa merubah keyakinan pemeluk agama. Langkah harmonisasi keberagaman hendaknya tidak mengutak-atik soal keyakinan. Cukup dengan mengatur hubungan antar umat beragama secara adminitratif, seperti pengaturan kehidupan bersama, saling membantu, dan kerjasama.

Lepas dari masih rancunya definisi pluralisme, lebih aman mempergunakan istilah toleransi dibanding pluralisme. Toleransi berarti menghargai penganut agama lain dan hak hidupnya. Sedangkan pluralisme dapat diartikan (paling tidak oleh sebagian penganutnya) sebagai ide penyatuan agama-agama yang pada akhirnya bukannya akan mengharmonisasi antar pemeluk agama, tetapi malahan menghancurkan agama-agama.

Ketika seorang pluralis mengklaim ajaran pluralisme adalah ajaran yang paling benar dan memaksa para pemeluk agama menganut pluralisme, berarti si pluralis hendak memaksa orang lain meninggalkan keyakinan akan kebenaran mutlak agamanya dan menggantinya dengan kebenaran mutlak pluralisme. Jika paham itu diikuti, maka agama-agama akan bergentayangan tanpa ruh karena telah tercabut dari ajaran yang menjadi karakteristiknya. Karenanya sangat tepat jika MUI menolak ajaran pluralisme.


Bacaan
1. Pluralisme yang Membingungkan
2. Toleransi atau Relativisme Pluralisme
3. Pluralisme Agama, Ancaman bagi Agama-agama

Sabtu, 02 Januari 2010

Sinetron tanpa Shooting: Ketika Hamtaro Lupa Mengedarkan Kencleng

Sayangnya setelah seminggu hanya 10 batang tanaman Kuping Gajah yang terjual. Lainnya tidak ada yang mau beli. Jadilah harapan Hamtaro untuk mengganti uang kencleng kembali menjauh......

^_^

Hamtaro menund
uk tatkala Pak Abija menasehati dirinya. Sebenarnya lebih tepatnya Pak Pengurus Masjid itu menguraikan akibat dari kelalaian Hamtaro untuk mengedarkan kencleng (kotak sumbangan) pada pengajian rutin bulanan.

Pengajian itu diselenggarakan setiap malam kamis pada minggu pertama setiap bulan. Biasanya pada setiap pengajian akan didapatkan dana sekitar empat ratus ribu rupiah yang berasal dari peserta pengajian yang berdatangan dari kampung-kampung sekitarnya.




picasso-two seated children (search.it.online.fr)

Malam itu adalah giliran Hamtaro untuk mengurusi pengedaran kencleng. Sialnya dia lupa untuk mengedarkan kencleng-kencleng itu. Pasalnya Hamtaro asyik menyimak pengajian yang disajikan dengan slide infocus dengan gambar-gambar menarik. Sesuatu yang jarang dilakukan orang di kampungnya. Sementara petugas lain yang menjadi pasangannya, yaitu Si Dorki, tengah pergi ke rumah nenek buyutnya di luar kampung. Alhasil pada saat pengurus pengajian menagih kencleng, Si Hamtaro gelagapan. Dirinya benar-benar lupa untuk menunaikan tugasnya itu.

Akibatnya pada acara pengajian kali ini panitia tekor. Biasanya setiap pengajian, setelah dikurangi biaya sewa sound system dan sewa terpal akan didapat pemasukan bersih tiga ratus ribu rupiah. Uang itu diperlukan sebagai tambahan biaya perawatan masjid, bayar listrik, dan membantu anggota pengajian yang sakit atau terkena musibah. Tapi kali ini jangankan menambah biaya perawatan masjid, malahan panitia harus mengeluarkan uang untuk menutup biaya perlengkapan pengajian.

^_^

Hamtaro melangkah gontai keluar masjid. Dirinya merasa sangat bersalah. Walaupun akhirnya Pak Abija memaafkan dan memaklumi kelalaiannya, tapi Hamtaro masih merasa malu. Diam-diam dia bertekad akan mengganti uang yang batal masuk gara-gara kelalaian dirinya. Tapi kemana dia bisa mencari uang?. Ketrampilan nyaris tak ada. Belum lagi tubuhnya belum cukup besar untuk meyakinkan orang yang akan memberi kerja padanya.

Akhirnya Hamtaro ambil peluang kerja yang paling mungkin dia lakukan setelah pulang sekolah. Dia menjajakan tenaganya untuk membersihkan halaman rumah tetangga-tetangganya. Terutama para tetangga yang tidak punya tukang kebun atau anggota keluarga yang bisa diandalkan tenaganya untuk merawat halaman rumah.

Setiap hari sepulang sekolah didatanginya tetangga-tetangga rumahnya. Untungnya ada saja tetangga yang mau menggunakan jasa Hamtaro. Jika tetangga satu kampung tidak ada yang mau, Hamtaro menawarkan diri ke rumah-rumah di kampung tetangga.

Dalam sehari, Hamtaro mampu membersihkan satu atau dua halaman rumah saja. Itu-pun telah memakan waktu hingga sore hari menjelang maghrib. Dari setiap jerih payahnya itu, Hamtaro mendapat upah lima sampai sepuluh ribu rupiah, tergantung si empunya rumah. “Tak apalah hanya segini. Sedikit-demi sedikit lama-lama jadi bukit” begitulah pikiran Hamtaro.

Sampai di suatu hari Hamtaro menawarkan jasa pada seorang Ibu yang memiliki rumah berhalaman luas di pinggir kampung. Ibu itu sangat suka menanam tanaman hias yang kini telah memenuhi halaman rumahnya. Namun Si Ibu yang tinggal berdua bersama seorang pembantu perempuan itu nampaknya kuwalahan mengurusi halaman rumahnya yang luas. Ada beberapa jenis tanaman hias yang tumbuh merajalela di halaman rumah. Diantaranya adalah adalah tanaman kuping gajah yang jumlahnya mencapai ratusan tanaman, yang memenuhi sepanjang pinggiran tembok rumah.

Hamtaro tertegun melihat ratusan tanaman Kuping Gajah yang tumbuh subur sampai meluber dari batas-batas berupa batu-batu yang disusun rapi di sepanjang pinggiran tembok rumah tersebut. Daun-daun yang lebar dan hijau legam itu seakan berlomba menjuntai ke arah halaman rumah. Puluhan tanaman bahkan telah keluar dari tempatnya dan menancapkan akarnya beberapa jengkal dari tempat yang menjadi peruntukannya. Sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa Si Ibu rajin menyiram dan memupuk tanaman hias miliknya – hanya saja beliau tidak punya waktu untuk merapikan.

Si Empunya rumah dengan ringkas menjelaskan tugas-tugas yang harus diselesaikan Hamtaro. Pertama dia harus merapikan ratusan Kuping Gajah itu, mencabut tanaman-tanaman yang telah keluar dari batasnya dan memotong daun-daun yang terlalu rimbun. Si Ibu minta disisakan barang 50-60 batang tanaman saja, selebihnya diminta untuk dicabut dan dibuang ke jugangan (lubang pembuangan sampah yang digali di tanah). Rupanya si empunya rumah merasa bahwa tanaman-tanaman yang tumbuh merajalela itu telah mengganggu keasrian rumahnya.

Dengan cepat pikiran Hamtaro bekerja. Jika dirinya dengan hati-hati mencabuti Kuping Gajah itu satu demi satu, terus menanamnya pada polybag (kantong plastik untuk menanam tanaman), maka tanaman-tanaman yang akan di buang tersebut bisa dijual pada orang-orang yang suka tanaman hias berdaun lebar. Terbayang dengan hasil penjualan itu masalah uang kencleng akan bisa teratasi. Wah, tiba-tiba saja pemecahan masalah yang telah berminggu-minggu membayangi dirinya akan segera didapatkan.

Kemudian Hamtaro meminta ijin pada Ibu Si Empunya rumah untuk menanam tanaman-tanaman itu dalam polybag, dan bukan membuangnya. Si Ibu mengerutkan keningnya sejenak, lalu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan jika Hamtaro ingin memanfaatkan tanaman-tanaman itu.

Benda, Rinai dan Selasih, adalah tiga teman Hamtaro yang dengan senang hati membantu Hamtaro menanam tanaman-tanaman ke dalam polybag. Sementara Hamtaro sibuk mencabuti ratusan Kuping Gajah dengan hati-hati. Ada seratus polybag ukuran sedang yang dibeli dengan upah Hamtaro selama 2 minggu bekerja. Kini semuanya telah terisi oleh tanaman Kuping Gajah lengkap dengan tanah gembur yang banyak terdapat di halaman rumah.

Dengan mempergunakan gerobak dorong pinjaman dari Pak Tew, mereka berempat bergantian mengangkuti polybag yang telah ditanami Kuping Gajah ke halaman rumah Selasih yang tak seberapa luas.

Hari-hari berikutnya mereka menyambangi tetangga dekat maupun tetangga jauh untuk menawarkan Kuping Gajah-Kuping Gajah itu -- yang dijual seharga 5 ribu rupiah setiap batangnya. Sayangnya dalam seminggu hanya 10 batang tanaman yang terjual. Lainnya tidak ada yang mau beli. Ada banyak alasan yang diungkapkan orang yang tidak beli, diantaranya: tidak suka Kuping Gajah, tidak ada yang menyiram, lebih suka tanaman buah, dan halaman terlalu sempit untuk ditambah tanaman baru.

Jadilah Hamtaro dan ketiga temannya kecewa dengan kenyataan yang dihadapinya. Pastilah Hamtaro yang paling sedih. Bayangan pengganti uang kencleng kembali menjauh. Kini ada 90 buah tanaman Kuping Gajah yang belum terjual dan memenuhi halaman rumah Selasih. Tanaman-tanaman itu tak bisa berlama-lama dibiarkan di sana karena mengganggu aktifitas keluarga Selasih.

^_^

Akhirnya keempat anak itu memutuskan untuk menanam semua tanaman hias di halaman masjid. Ditambah dengan pakis, lidah mertua, krokot dan tanaman-tanaman lain -- hasil pembersihan dari halaman rumah Si Ibu-- yang saat ini masih teronggok di dekat sumur Selasih, mereka berempat setiap sore mulai menghias halaman masjid dengan menanam tanaman-tanaman hias tersebut. Kebetulan beberapa hari ini Hamtaro juga tidak mendapat job untuk membersihkan halaman rumah orang — sehingga mereka berempat dapat menghabiskan waktu untuk mendekor halaman masjid.

Hari kedua mereka menghias masjid dengan tanaman hias, tiba-tiba Benda teringat oleh mobil penjual tanaman hias yang pada sore hari suka melintas di jalan raya dekat masjid. Barangkali saja Bapak itu mau membeli Kuping Gajah dalam polybag. Jadilah mulai hari kedua mereka bergiliran berjaga di jalan raya dekat masjid untuk menghentikan mobil penjual tanaman hias.

Pada hari kelima seorang laki-laki membawa mobil bak yang mampir untuk Sholat Ashar di masjid. Sehabis sholat lelaki itu memperhatikan anak-anak yang sedang sibuk menanam Kuping Gajah. Matanya nampak berbinar-binar menatap tanaman yang daunnya lebar dan berwarna hijau legam itu. Kemudian dia mendekati Hamtaro dan teman-temannya.

Setelah ngobrol sana-sini Si Bapak menawarkan diri untuk membeli Kuping Gajah yang tersisa. Ternyata Bapak itu adalah penjual tanaman hias yang selama ini sering lewat di jalan raya dekat masjid. Rupanya pada sore hari mobilnya jarang diisi tanaman hias. Pantas Si Rinai yang sedang berjaga di pinggir jalan tidak menyadari bahwa mobil itu adalah mobil penjual tanaman hias.

Kata Si Bapak dirinya jarang melihat Kuping Gajah yang daunnya bisa selebar itu dan warnanya hijau kelam. Disanggupinya untuk membeli seharga sepuluh ribu rupiah sebatang. Hamtaro berteriak kegirangan. Masih ada lima puluh batang tanaman di rumah Selasih. Itu artinya dirinya akan bisa mendapatkan pengganti uang kencleng dari hasil penjualan tanaman.

Keempat anak itu sempat berdebat seru tentang tanaman Kuping Gajah yang terlanjur mereka tanam di halaman masjid. Sebagian ingin mencabutinya dan menjualnya pada orang itu. Sebagian yang lain menolak karena dengan lima puluh batang di rumah Selasih telah cukup untuk mengganti uang kencleng.

Hamtaro-lah yang paling ngotot untuk tidak mencabuti tanaman itu, karena dilihatnya halaman masjid menjadi sangat indah setelah dihiasi dengan tanaman hias. Setelah beberapa lama berdebat, diputuskan untuk membiarkan Kuping Gajah yang telah tertanam di halaman masjid. Lagipula mereka telah mendapat pujian dari beberapa pengunjung masjid karena keindahan yang muncul dari tanaman-tanaman itu. Malu-kan kalau tiba-tiba tanaman-tanaman itu menghilang karena dicabuti untuk dijual.

^_^

Hamtaro dan ketiga temannya melambaikan tangan ketika mobil Bapak penjual tanaman hias pergi meninggalkan halaman rumah Selasih sambil membawa lima puluh batang tanaman Kuping Gajah. Keempat anak itu berpandang-pandangan sambil tersenyum. Lima ratus ribu rupiah uang hasil penjualan tanaman hias itu cukup untuk mengganti uang kencleng. Hamtaro-lah yang paling senang. Ingin rasanya dirinya terbang secepatnya ke rumah Pak Abija untuk menyerahkan uang pangganti kencleng. Rasanya sangat puas dirinya berhasil mengatasi masalah dengan jerih payah sendiri dibantu teman-temannya (undil –2010).

tags:
cerita sinetron tanpa shooting, cerita anak, cerpen, cerita pendek