Minggu, 27 Desember 2009

Kumpulan Cerita Lucu Bahasa Sunda

Tujuh bobodoran Sunda. Tujuh lelucon basa Sunda ini dikutip dari buku Ajib Rosidi yang berjudul Seuri Leutik, yang berisi banyak sekali humor-humor lucu dalam Bahasa Sunda. Ajib Rosidi adalah sastrawan senior yang pernah menjadi direktur Penerbit Pustaka Jaya dan Ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia).

Sastrawan kelahiran Jatiwangi ini juga pernah menjadi guru besar tamu di Universitas Osaka, Jepang. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Perancis, Jepang, Rusia dan berbagai bahasa lain di dunia. Diantara karyanya adalah: Tahun-tahun Kematian (1955), Kandjutkundang (antologi cerpon jeung sajak, 1963) dan Ensiklopedi Sunda (2000), yang disusun selama kurang lebih sepuluh tahun.

Berikut ini adalah tujuh lelucon basa Sunda dan sedikit catatan kaki tentang lelucon tersebut dalam Bahasa Indonesia.


1. Henteu Bogaeun
Aram nyarita ka Udi, “Karunya ku si Badu, kakara tanggal 3 geus teu bogaeun duit sapuluh rebu sapuluh rebu acan”.

Naha nginjeum kitu ka ilaing?”

“Henteu. Ngan tadi basa dewek rek nginjeum duit ka manehna, cenah teu boga. Duit gajihna geus ambring.


2.Kabiasaan
“Ari maneh, naon sababna ari ditanya ngawalonna ku nanya deui?

“Naha henteu meunang kitu? Naon sababna?


3. Teu Kudu Dimandoran
Adil: “Euy silaing mah henteu kira-kira. Pamajikan disina migawe sagala rupa pagawean di imah sorangan bae: nyangu, nyeuseuh, sasapu, ngurus budak.... Ari ilaing kalah ulin teu uni!”

Diwalon, “Da pamajikan dewek mah geus hideng, henteu kudu dimandoran. Geus biasa sagala pagawean ditangkes ku manehna sorangan”.


4. Tolol
Gapur nyerenteng ka Tasim bari ambek, “Nanaonan maneh teh kamari carita ka dunungan yen dewek tolol?

Tasim, “alah punten bae. Sugan teh sanes rasiah!”


5. Nu Matak Henteu Dugul
Sastra ngagidig kaluar ti kantor, ditanya ku Bapa Kapala, “Rek ka mana, Sastra?”

“Bade dicukur,” walonna

“Naha dicukur dina waktu ngantor?”

‘Atuda buukna ge apan manjanganana dina waktos dines.....”

“Enya tapi apan henteu kabeh manjangan dina waktu di kantor, keur di luareun kantor oge buuk maneh teh terus manjangan”

“Nu mawi henteu didugulan.....” walonna bari terus ngingkig ka luar

6.Lamun
Neng Astri nganteuran tuang siang ka ramana anu ti isuk keneh ngedeluk nguseup di Talaga Sangiang.

“Kumaha Pa? Tos kenging sabaraha nguseup teh?” manehna nanya

Diwalon ku ramana, “Lamun anu ieu beunang serta ditambah tilu deui, poe ieu Bapa baris meunang opat.....”



7. Hayang Teu Gawe
Waktu keur ngilikan model komputer anu anyar, nu dagangna nyarita ka Tisna, “Model enggal teh. Upami ngagunakeun komputer model eta padamelan baris ngirangan satengahna”.

“Enya?”

“Leres pisan”.

“Ari kitu mah meser dua!”


Sumber cerita: Ajib Rosidi, 2008, Seuri Leutik, Kiblat, Bandung



Catatan kaki
1. Humor no. 1 adalah humor ironi, yang mengandalkan ironi kelakuan tokoh Aram yang lugu. Tokoh ini heran dan kasihan pada seorang temannya yang pada tanggal muda sudah tidak punya uang. Lucunya dia sendiri juga sama bokeknya karena mau pinjem uang dari orang yang dia kasihani.

2. Humor no.2 bercerita tentang orang yang punya kebiasaan balik bertanya bila ada orang yang nanya. Sebenarnya mirip dengan humor pertama yang mengandalkan ironi. Tokoh kedua memberi jawaban yang lugu banget saat ditanya tentang kebiasaannya itu.

3. Lelucon no. 3 bertumpu pada jawaban yang “salah sambung” dengan keinginan si penanya. Humor seperti ini bisa sangat lucu jika si penutur cerita bisa mencari topik yang pas bila diberi jawaban yang “salah sambung”. Bercerita tentang seorang teman yang "protes" karena si tokoh membiarkan sang istri bekerja keras sendirian di rumah. Namun jawaban si tokoh malahan tentang istrinya yang sudah bisa bekerja mandiri, tak perlu dimandori.

4. Lelucon ke-empat juga mengandalkan jawaban yang tidak nyambung dengan maksud si penanya. Namun karena pilihan settingnya bagus, jadi kelihatan lucu banget. Humor ini bercerita tentang seseorang yang protes karena si tokoh bilang ke bosnya bahwa dia tolol. Jawaban si tokoh justru tentang bahwa dia tidak tahu kalau ketololan si teman adalah sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain.

5. Kelucuan humor no. 5 bertumpu pada jawaban yang ngeles. Pilihan topiknya bagus dan bersifat novel (baru), maka jadilah sebuah humor yang lucu banget. Ceritanya tentang seorang pegawai yang ingin potong rambut pada jam kerja, alasannya bertambah panjangnya rambut juga terjadi pada saat jam kerja.

6. No. 6 masih tentang jawaban ngeles dari si Bapak terhadap pertanyaan anak yang ternyata bisa jadi humor lucu karena sangat pas ketika diterapkan pada topik memancing ikan. Ceritanya si Bapak belum dapat ikan, tapi dia berkata pada anaknya bahwa bila pancingan kali ini dia dapat satu ikan dan ditambah nanti dapat tiga ikan lagi, berarti hari ini dia akan mendapat 4 ekor ikan. Humor jenis ini sudah sering diceritakan orang, namun bila topiknya novel (baru) masih akan terlihat lucu.


7. Humor terakhir ini sebenarnya temanya sangat dalam, yaitu menggambarkan sindrom “overestimated pada teknologi”. Dianggapnya dengan komputerisasi tidak ada lagi acara entry data, alias tinggal duduk-duduk saja pekerjaan otomatis beres. Jika topik ini digali lebih dalam lagi akan dihasilkan humor-humor baru yang lebih lucu. Lelucon ini bercerita tentang komputer teknologi baru yang bisa mengurangi pekerjaan hingga setengahnya. Namun hal itu diartikan oleh si tokoh, bila dia beli dua berarti dia tak perlu kerja lagi (Undil, 2009)

tags: bobodoran sunda, cerita lucu bahasa sunda, humor, lulucon basa sunda, review humor

Cerita Lucu lainnya:

Sato Dugem dan Jadi Sapuluh Lembar

Selasa, 22 Desember 2009

Kisah Pilot Bejo

Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah
Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan
apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu
memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka
menyendiri, dia sering dicari.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula
sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua
neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke
tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya
menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada
dia, dia menjadi pilot.
Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya,
maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan
keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu "selalu beruntung,"
ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung,
terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa
lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan
masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga
mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir yang mengangkut
orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan
khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga
mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah
seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang
desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot
Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.
Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik,
meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai
penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang
6 11 Februari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 39
dalam banyak hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri,
tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua
pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan
menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima
kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan
bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak
untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan
jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.
Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah.
Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini,
dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan
sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja
dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak
suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang
berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman Bablas, lebih
memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi
pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak
Paman Bablas berkhotbah: "Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau
sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat
bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri,
kalau perlu kelas bohong-bohongan."
Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati
untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi
Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali
tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk
menjadi pilot.
Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak
selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya
menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan
Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi
pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka
pimpin?
Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar
dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
40 Laha collection
dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus
melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika
maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.
Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung
diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke
ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan
milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan
memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang
mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur.
Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia
menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi
usus buntu.
Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan
pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor.
Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu
jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke
mana. Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu
jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan
pesawat dengan jelas.
Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan
akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat
daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan
di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos,
bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.
Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan
mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang
pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir
mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: "Gitu
saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya
terbang."
Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot
Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia
sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di
badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang
masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memakiKumpulan
Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 41
maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke
belakang.
Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan
demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak
berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke
bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data
pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan
tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah
nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang
terjadi.
Tapi, mengapa manusia menciptakan kata "tapi"? Tentu saja, karena
"tapi" mungkin saja datang setiap saat. Dan "tapi" ini datang ketika
Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos
untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah
dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naiknaik,
mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali
mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang
lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi.
Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat
perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam
benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk
berhenti.
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa
penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah
lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan
suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa
pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah
jaminan keselamatan.
"Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak
mungkin pesawat menukik."
Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketarketar,
demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir
saja dia terkencing-kencing.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
42 Laha collection
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang
jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu,
bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah
bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti
akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan
tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen
Perhubungan, bunyinya, "tidak layak lagi untuk menjadi pilot
selama hayat masih di kandung badan," dengan alasan
"membahayakan jiwa penumpang."
Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak
pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan
ini dia harus melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus
menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas
dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari
untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena
dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam
keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk
melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang
sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu,
dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.
Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya
kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa
saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat
ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat
yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok.
Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan
sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya
sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng.
Perasaannya sekonyong menjerit: "Awas!" Dengan kecepatan kilat
pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di
bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik
ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.
Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak
pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi
berteriak-teriak keras: "Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 43
penumpangku!" Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan
pecah berantakan.


Tanpa Pelayat dan Mawar Duka

Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang
ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya,
menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga
puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari
seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun
begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk
jasadnya.
Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya
mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering
merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya
seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah
tak bisa ditampik.
Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang
begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua
orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan,
kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini,
memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal
tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai
rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang
hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang
terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya.
Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya
dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang
lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya.
Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah
terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut,
menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap
teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan
kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan
ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan
kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan
5 4 Februari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
32 Laha collection
kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya
menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang
terlalu dalu.
Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala
jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang
ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu,
benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama
yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari
petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, "Habis
manis sepah dibuang", sungguh menemukan tamsil pada peti mati
itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini.
Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil
jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala
jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah
meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan
itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar.
Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut
berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan
pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati
membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau
mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. "Tanpa bunga dan
telegram duka," *) begitu teks lukisan tersebut.
Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah,
tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan
remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan
wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke
arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak
sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup
menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam
menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke
depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di
bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali
mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin
siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk
matanya.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 33
"Ba, tak kusangka," bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala
peti mati suaminya itu. "Oh, siapa yang menyangka bisa jadi
begini…?" Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang
mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.
Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak.
Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun
tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali
kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun
kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam
terhadap laki-laki di dalam peti mati itu?
Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batangbatang
kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka
adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan
oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang
menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki
yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang
terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa
pasrah menghadapi sebuah dendam.
Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan
yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah
komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-
an, ketika gencar-gencarnya "aksi sefihak" yang dilancarkan oleh
organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan
landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar,
harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undangundang
pokok agraria Republik.
Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang
memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah
merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani
tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki
yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang
membawa malapetaka menyusul pemusnahan "sampai ke akarakarnya"
terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh
para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan
massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
34 Laha collection
kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru,
ditendang ke dalam air.
Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali
kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan
tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak
memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan,
persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk
merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat
mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan.
Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas
tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah
mereka.
Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung.
Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah
mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan
entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah
mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku
dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan
pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan
perintah berdarah dingin: "Kirimkan mereka ke sekolah, ke
sukabumi… ya, bunuh mereka!"**)
Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota.
"Ba…," lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya.
Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu
banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya
berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun
yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki
yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.
Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk
militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan
lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang
melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang
dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa
mau dikata…
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 35
Menyusul pula kabar bahwa "Ba" datang sendiri di tengah malam,
mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah
persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep
penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari
rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas
militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang
menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia
mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada
yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan
perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan
Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena
jasanya.
Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan
yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua,
"Ba" terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian
mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut
menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang
diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai
eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di
situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya.
"Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab,
Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!" kata orang buangan
itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari.
Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang
lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali,
sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke
Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah
buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah
mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia
dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu
menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur
tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.
Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama
tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang
berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih
dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu.
Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
36 Laha collection
untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia,
dan suaminya, memungut anak.
Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang
ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang
melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia
temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak
yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia
melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi
gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya
tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di
rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.
"Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak
bersalah. Tapi, orang ini," ujar penggali kubur itu seraya menunjuknunjuk
peti mati, "bagaimanapun harus dihukum." Orang itu
berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah
cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. "Gunakanlah…,"
tukang gali itu membujuk.
"Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana
penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain.
Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia
juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh
belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat
kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu
kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap
teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…" Belum sempat dia
menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: "Kami tak
punya pilihan." Dan orang itu beringsut pergi.
Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah,
sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali
pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang
lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja
menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke
ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang
sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 37
dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya
ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati
suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk
menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan
sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. ***
*) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan Sulistyo, "Palu Arit Di Ladang Tebu".

Lampu Ibu

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu.
Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan
sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak
dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.
"Antar aku dulu menengok abangmu," ujar beliau saat kujemput di
SoekarnoHatta. "Besok-besok aku menginap di rumah si Nina." Ia
selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan
memanggil anak-anak kami "cucuku". "Nina dan cucu-cucuku
sehat?"
"Sehat," kubilang. "Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore
kuantar…."
"Tak penat aku!" tukasnya keheng, keras kepala. "Terus sajalah."
Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat?
Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya
seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau;
melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baikbaik,
mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi
yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik
jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa
lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempotempo,
jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam
masalah.
Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan
juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana
bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut,
seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon.
Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak,
cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga
4 28 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 25
tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk
dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut
itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam....
Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal
terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku
menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke
samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur.
Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku
di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya
melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.
"Libur kau, Man?" tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja
ke mana-mana.
Ia tergeragap. "Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!"
"Kuliahmu lancar?"
"Lancar." Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di
kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana
kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat.
Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. "Sudah dua hari
tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?" tanya beliau suatu
pagi.
"Naik gunung," jawab Kak Leila. "Diajak kawan-kawannya."
"Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?"
"Ala, tak apa-apa Bunda," adikku Rosa menyahut. Maksudnya
membantu Kak Leila. "Biasa itu, anak laki-laki."
"Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?"
ujar bunda.
Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila
berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu
memanggilnya, berucap lunak, "Elok-elok kau jalani umur muda
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
26 Laha collection
Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak
mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat
pula, serupa mayat!" Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman
bermalam di kantor polisi.
Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang
berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang
berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi
Grogol. Lalu Slipi.
"Kurang dingin AC-nya Bunda?"
"Cukup." Dan diam lagi, memandang jalanan.
Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak
membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri
saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia
ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih
sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi,
dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi
manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi
beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas
ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu
manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia
ucapkan?
"Bagaimana abangmu sekarang?" Bunda melepas pandang dari
jalanan.
"Baik saja. Tak apa-apa," kubilang.
"Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?"
suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, o, pulang dari rumah sakit." Tiba-tiba aku jadi gugup.
Dan bunda menyergap pula, "Sudah pulang abangmu dari rumah
sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 27
Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki
abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban.
Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. "Sudah, sudah," kubilang.
"Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja." Kusodorkan HP
ke bunda. "Nina, Bunda. Mau bicara." Mudah-mudahan lama,
tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.
Lalu, suara bunda: "Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih
kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucucucuku?
Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah
kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian
itu dulu…."
"Apa kata Nina, Bunda?" Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu
berakhir.
"Biasalah," ia bilang. "Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar
istrimu."
"Nina manajer pemasaran, Bunda."
"Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga.
Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?"
Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan,
karena bunda lantas bertanya, "Mengapa kau ketawa?"
"Tentu punya waktu," kataku. "Buktinya aku kini tak ke mana-mana,
Bunda."
"Bukan hanya karena hendak menjemputku?"
Aku menggeleng. "Syukurlah," ujarnya. "Aku cuma khawatir.
Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia
alami seperti keponakanmu, Aida."
Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap
dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut.
Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
28 Laha collection
serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara
dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta.
Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai
Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar
berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat
semua orang sibuk kasak-kusuk. "Jangan kalian berahasia lagi.
Ceritakan apa yang terjadi!" katanya meradang.
Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda
tetap bertaut. "Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!" ujarnya
keras. "Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan
tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu
nasibnya!"
Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke
Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah
Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun
gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam
terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin
berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak
ketahuan rimbanya.
Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus
keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia
mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas
mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine
yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi.
"Sudah sampai belum?"
"Sudah, sudah."
"Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?" tanyanya
antusias.
"Belum tahu. Aku di kakus, kencing."
"Dasar!"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 29
"Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak
diam. Nanti saja aku kabari."
Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan
agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara
Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan.
"Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila
mendustai Bunda," dia bilang.
"Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa
berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?"
"Tidak sesederhana itu, Bunda."
"Di mana rumitnya?"
Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik
napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. "Aku punya
atasan, Bunda," ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak,
hampir menyerupai bisik. "Aku punya kawan. Aku juga kader
partai.…"
Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar
suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.
"Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam," sahut bunda
kemudian. "Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan
sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja,
dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat
pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan
negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah."
Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan
berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang
bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.
"Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu." Bunda
mengedarkan senyum, juga kepadaku. "Apalagi kau, Palinggam,
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
30 Laha collection
kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu
terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya."
Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian
berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelapkelip
mercu suar di malam gulita penuh badai.

Kamis, 10 Desember 2009

manusia bertelur (abu nawas)

Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.

Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri, "Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."

"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.

"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan
apa yang akan digelar besok.

Abu Nawas diundang untuk mandi bersama
Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang
waktu untuk berpikir.

Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami"

"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.

"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing." kata Baginda sambil tersenyum.

"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.

"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.

Abu Nawas tidak berkata apa-apa. Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah. Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.

"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.

Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu dengan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.

Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.

Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.

"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.

"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.

"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.

"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.

"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.

Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.

Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.

Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya.

kisah abu nawas : taruhan yang berbahaya

Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah berada di situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.

"Nah ini Abu Nawas datang." kata salah seorang dari mereka.

"Ada apa?" kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.


"Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang dirancang Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum Baginda Raja bila engkau berani melakukannya." kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.

"Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali kepada Allah Swt." kata Abu Nawas menentang.

"Selama ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?" tanya kawan Abu Nawas.

"Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat hukumannya pasti dipancung." kata Abu Nawas memberitahu.

"Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?"

"Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?" Abu Nawas ganti bertanya.

"Seratus keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau
pantati." kata mereka. Abu Nawas pulang setelah menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu.

Kawan-kawan Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda Raja tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.

Minggu depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda diundang, termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.

Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang rajaraja dari negeri sahabat.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun temyata mereka keliru. Abu Nawas bukannya tidak datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling
belakang.

Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Dan tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya. Seusai menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di tempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran Baginda bertanya, "Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?"

"Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda. Hamba sudah merasa cukup bahagia duduk di sini." kata Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor karena duduk di atas tanah." Baginda Raja menyarankan.

"Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet."

Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. "Karpet yang mana yang engkau maksudkan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda masih bingung.

"Karpet hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi." Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.

"Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata Baginda Raja bertambah bingung.

"Baiklah Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia." kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para undangan.

Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum.

Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.

Rabu, 09 Desember 2009

Anak Kambing dan Serigala

Seekor anak kambing yang sangat lincah telah ditinggalkan oleh penggembalanya di atas atap jerami kandang untuk menghindari anak kambing itu dari bahaya. Anak kambing itu mencari rumput di pinggir atap, dan saat itu dia melihat seekor serigala dan memandang serigala itu dengan raut muka yang penuh dengan ejekan dan dengan perasaan yang penuh kemenangan, dia mulai mengejek serigala tersebut, walaupun pada saat itu dia tidak ingin mengejek sang Serigala, tetapi karena dia merasa serigala tersebut tidak akan dapat naik ke atas atap dan menangkapnya, timbullah keberaniannya untuk mengejek.

Serigala itupun menatap anak kambing itu dari bawah, "Saya mendengarmu," kata sang Serigala, "dan saya tidak mendendam pada apa yang kamu katakan atau kamu lakukan ketika kamu diatas sana, karena itu adalah atap yang berbicara dan bukan kamu."

Jangan kamu berkata sesuatu yang tidak kamu ingin katakan terus menerus

Perjuangan Pohon Bambu

Pada suatu waktu aku merasa sangat jenuh dan bosan dengan kehidupan ini dan ingin berhenti dari semuanya, berhenti dari pekerjaan, hubungan, spiritual... dan berhenti untuk hidup.

Aku pergi ke tengah hutan dan ingin berbicara untuk yang terakhir kalinya dengan Sang Pencipta.



"Tuhan, mohon berikan saya satu alasan untuk tetap hidup dan berjuang?"

Ternyata jawaban Maha Pencipta yang Agung sangat mengejutkan....

"Lihat di sekelilingmu, apakah kamu melihat tanaman Semak dan pohon Bambu?

"Ya," jawabku.

Yang Maha Pencipta mulai bertutur:

"Saat aku menanam benih Semak dan Bambu, aku memelihara mereka dengan sangat baik dan hati-hati. Aku memberi mereka sinar matahari, menyirami dengan air seadil-adilnya. Tanaman Semak tumbuh dengan sangat cepat. Daun-daunnya yang hijau tumbuh rimbun sampai menutupi tanah disekelilingnya. Sedangkan benih Bambu belum memperlihatkan apapun.

Tetapi aku tidak menyerah dan tetap memelihara mereka dengan baik dan adil. Pada Tahun ke-2, tanaman Semak tumbuh makin subur, rimbun dan makin bertambah banyak. Tetapi, benih Bambu tetap belum memperlihatkan tanda-tanda pertumbuhan.

Pada tahun ke-3, benih Bambu masih sama seperti sebelumnya. Tetapi, tetap Aku tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke-4 masih sama saja. Aku bertahan untuk tidak menyerah.

Kemudian, pada tahun ke-5, tunas kecil mulai muncul dari benih bambu. Jika dibandingkan dengan tanaman semak, tunas ini sangat kecil dan sepertinya tidak sebanding dengan tanaman semak.

Tetapi 6 bulan kemudian pohon Bambu tumbuh hingga mencapai ketinggian 100 kaki.
Ternyata Bambu menghabiskan waktu 5 tahun untuk menumbuhkan dan menguatkan akarnya. Akar-akar tersebut membuat Bambu menjadi sangat kuat sehingga kokoh menghadapi keadaan alam yang berubah-ubah. Bahkan pohon Bambu sangat berguna untuk kehidupan.

Aku tidak akan memberikan cobaan yang lebih berat dari kemampuannya kepada ciptaanku."

Aku terdiam. Menyimak baik-baik.

"Anakku, apakah kamu sadar, selama ini kamu telah berjuang dan memperkuat akar? Aku tidak menyerah saat menanam benih dan memelihara pohon Bambu, begitu juga denganmu. Jangan membandingkan dirimu dengan yang lain. Bambu mempunyai fungsi yang berbeda dengan Semak, tetapi tetap mereka membuat hutan menjadi indah. Waktumu akan tiba dan kamu akan tumbuh dengan tinggi."

"Tetapi, seberapa tinggi saya harus tumbuh?" tanyaku.

Maha Pencipta menjawab: "Seberapa tinggi pohon Bambu tumbuh?"

"Apakah setinggi kemampuan dan usahanya?" tanyaku lagi

"Benar Anakku. Berusahalah sebaik dan semaksimal mungkin."

Kemudian aku pergi meninggalkan hutan dengan membawa kisah ini. Aku harap kisah ini dapat membantumu melihat bahwa Tuhan tidak pernah menyerah untukmu.



Jangan pernah menyesali setiap hari dalam hidupmu. Hari-hari yang baik memberi kebahagiaan; hari-hari yang buruk memberi pengalaman tak ternilai; keduanya sangat berharga.