Sabtu, 31 Oktober 2009

Cerpen Persahabatan: Sang Kancil dan Empat Ekor Banteng Bersaudara; Banteng Puisi, Banteng Penyanyi, Banteng Pantomim, & Banteng Drama

Alkisah Sang Kancil yang bijaksana memiliki empat orang sahabat di padang rumput. Mereka adalah empat ekor banteng bersaudara. Kerukunan empat ekor banteng muda sudah tersohor ke seluruh padang rumput. Empat sahabat Kancil yang gagah perkasa ini kemana-mana selalu bersama, makan rerumputan bareng, minum di telaga bareng, main ke bukit dago bareng, tamasya ke pantai bareng, pokoknya mereka berempat seolah-olah tidak terpisahkan.





Kebersamaan keempat ekor banteng itu tentu saja membuat Macan tidak berkutik menghadapi mereka. Walaupun Macan sedang lapar berat, dia sama sekali tidak berani mengusik banteng-banteng itu karena begitu Macan mendekat, keempat banteng langsung ambil posisi saling membelakangi dengan tanduk yang besar terarah ke depan siap menerjang perut Macan tanpa ampun.

Persahabatan mereka telah menjadi legenda di padang rumput dan sering dijadikan contoh oleh keluarga kijang, keluarga jerapah dan keluarga kelinci saat menasehati anak-anaknya yang suka berantem. “Lihatlah keempat banteng, itulah contoh binatang yang rukun, bersatu sehingga menjadi kuat. Macan-pun takut pada mereka”.

Walaupun selalu bersama-sama, ternyata cita rasa seni keempat banteng berbeda. Banteng Penyanyi adalah banteng tertua yang suka menyanyi. Dimana-mana dia suka mempraktekkan hobbinya itu untuk menghibur para penghuni hutan. Dia paling senang jika sedang berada di tepi telaga karena nyanyiannya akan diringi dengan orkestra suara katak. Suara katak yang bersahut-sahutan sangat serasi mengiringi nyanyiannya yang merdu mendayu. Tak heran banteng ini sering mengajak ketiga temannya main ke tepi telaga.

Banteng kedua adalah Banteng Puisi. Banteng ini senang sekali menciptakan puisi-puisi yang indah lalu membacanya dengan cara yang tak kalah indahnya. Ekspresi wajahnya, tinggi rendah suaranya, dan nada suaranya benar-benar sangat ekspresif menggambarkan puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang persahabatan dan keindahan padang rumput. Berikut ini contoh puisinya.

Kala mentari senja menyapa
Sungguh indahnya cakrawala

Duniaku menguning disorot cahaya
Namun semua itu keindahan buat mata
Aku ingin ada juga keindahan bagi jiwa

Yaitu senyummu wahai sahabat setia
Hadirnya akan hangatkan perjumpaan kita

Tempat favorit bagi Banteng Puisi adalah di Bukit Dago. Di situ ada sebuah titik dimana bila Banteng membaca puisi, suaranya akan menjadi sangat keras dan bergema begitu indahnya karena dipantulkan oleh dinding-dinding jurang yang berada di sekelilingnya. Karenanya Banteng Puisi paling sering mengajak ketiga rekannya ke Bukit Dago.

Banteng ketiga adalah Banteng Pantomim. Banteng ini suka sekali melakukan pantomim meniru gerak-gerik binatang hutan. Dari mulai burung nuri, gajah hingga semut ngangkrang & tengu dengan sangat mudah ditirukannya. Bahkan Banteng Puisi bisa menirukan gerakan awan dan hujan dengan sangat miripnya, sehingga memukau para penghuni padang rumput.

Lokasi favorit Banteng Pantomim adalah Batu Gede, sebuah batu besar datar di tengah padang rumput tempat dia dengan leluasa memperagakan pantomimnya dan dapat terlihat jelas oleh para penghuni padang rumput. Waktu paling tepat adalah sore hari saat matahari berada di barat. Saat itu bayang-bayang tubuhnya akan terlihat besar dan indah di dinding bukit yang ada di timur Batu Gede. Makanya Banteng Pantomim sering mengajak ketiga sahabatnya main ke Batu Gede di sore hari.

Banteng Drama adalah Banteng yang suka berakting. Dia paling suka berkumpul dengan sesama binatang penggemar akting untuk berlatih drama. Banteng Drama paling sering mengajak ketiga sobatnya untuk kumpul bareng para penggemar akting dari berbagai jenis binatang, dari landak, kera hingga anjing hutan. Apalagi bila menjelang pementasan, Banteng Drama tak bosan-bosannya mengajak kawan-kaannya untuk menemaninya latihan drama.

^_^

Agaknya perbedaan selera itu telah menjadi masalah bagi mereka. Jadwal mereka seringkali bentrok yang membuat mereka harus saling mengalah. Hari ini Banteng Drama & Banteng Penyanyi mengalah dan mengikuti keinginan Banteng Puisi dan Banteng Pantomim untuk berlatih. Hari berikutnya giliran ketiga banteng mengalah untuk menemani Banteng Drama seharian berlatih drama untuk pentas minggu depan. Begitu seterusnya mereka saling mengalah sampai akhirnya keempat banteng merasakan mereka tidak bisa maksimal dalam mengembangkan hobbynya. Makanya mereka memutuskan menghadap Sang Kancil yang bijaksana.

Beberapa minggu ini keempat banteng rajin menyambangi rumah Sang Kancil di kaki bukit. Para penghuni padang rumput mulai berbisik-bisik. Mereka mengira keempat banteng sedang berasaha menjadikan Sang Kancil sebagai pendamai agar mereka tetap bersatu.

Namun setelah beberapa minggu berlalu keempat banteng mulai terlihat berpisah, tidak lagi bersama-sama. Kadang-kadang terlihat mereka berdua saja, atau hanya bertiga, bahkan kadang-kadang terlihat masing-masing sendirian dengan kegiatannya. Tentu saja hal itu membuat para binatang menjadi cemas. Mereka terlanjur menyuruh anak-anak mereka mencontoh para banteng dalam menjaga kerukunan. Segera saja berita buruk itu tersebar ke seluruh padang rumput.


Yang paling senang dengan berita peceraian para banteng tentu saja adalah Macan. Telah terbayang di benak Macan bahwa daging banteng muda yang empuk dan gemuk akan segera menjadi menu santap malamnya. Air liurnya menetes-netes setiapkali membayangkan gurihnya daging muda yang telah lama diincarnya. Bila melawan empat ekor banteng dirinya tak akan sanggup, tetapi melawan seekor banteng bukanlah perkara sukar baginya. Semudah membalikkan telapak tangan.

Setelah berpekan-pekan mengamati, pada hari yang telah ditentukan Sang Macan memutuskan untuk menyantap Banteng Puisi. Dianggapnya banteng ini paling mudah disantap karena suka sendirian baca puisi di Bukit Dago. Maka dibuntutinya Banteng Puisi yang berangkat untuk berlatih baca pusi di Bukit Dago.

Setelah didengarnya Sang Banteng mulai membaca puisi, Macan mengendap endap siap menubruk Banteng dari belakang. Dibayangkannya bila saat ini ada empat ekor banteng dirinya tak bakalan berani karena ketiga banteng yang lain pastilah telah berjaga dengan tanduknya yang mengerikan.

Macan mengendap-endap hingga sejauh satu loncatan untuk mencapai pantat banteng. Bagian tubuh itulah yang akan digigitnya pertama kali dengan taringnya yang tajam karena dipikirnya bagian itu paling jauh dari tanduk. Sambil manahan nafas dihitungnya satu, dua tiga dan yak....... macan melompat menerkam Banteng Puisi.

Ketika tubuh macan hampir mencapai pantat banteng tiba-tiba ada sepasang benda keras yang menerjang tubuhnya hingga terpental sepuluh meter ke belakang. Rupanya dua kaki belakang Banteng Puisi menendang ke belakang tepat mengenai kepala Sang Macan.

Tubuh Macan terguling-guling ke belakang Banteng Puisi yang kini telah berbalik menghadap tubuh Macan. Bukan main pusingnya kepala Macan. Terjangan kaki Banteng Puisi benar-benar dahsyat. Bumi serasa berputar-putar saat Macan mencoba berdiri. Badannya masih terhuyung-huyung tatkala dilihatnya Banteng Puisi kembali bergerak menerjang dirinya dengan tanduknya yang besar. Macan menggunakan kaki depan yang bercakar tajam untuk menangkis terjangan tanduk itu.

Pringgggg..........terdengar bunyi cakar-cakar yang terpotong diterjang tanduk. Hampir seluruh cakar di kaki depan macan putus oleh terjangan tanduk yang setajam pisau. Macan kaget sekali!. Sejak kapan tanduk banteng jadi tajam?.

Namun Macan tak sempat berpikir lagi karena Banteng kembali menerjang dirinya. Sekarang Macan melompat setinggi mungkin agar bisa hinggap di punggung Banteng lalu menggigitnya. Namun sebelum tubuhnya mendarat di tubuh Banteng, tanduk Sang Banteng telah menyambut tubuhnya dan melontarkan Macan ke jurang yang dalam. Oaaaaaaaaaaa.......terdengar lolongan panjang mengiringi tubuh Macan yang terlempar ke dasar jurang.

^_^

Kita telah lama bersahabat
Kini saatnya kita berpisah kawan
Tak perlu menangis karena ini untuk masa depan
Aku juga sedih, tapi semua ini tak bisa dihindari
Tegakkan kepalamu, angkat dagumu
Tersenyumlah untuk perpisahan ini
Karena kita berpisah demi kebesaran
Demi gemilangnya masa depan kita

Padang rumput gempar. Seekor banteng sendirian dapat mengalahkan Macan, binatang terkuat di padang rumput. Para binatang heboh. Kejadian ini berlawanan dengan cerita singa barong yang bisa memangsa empat ekor sapi hutan setelah mereka bertengkar lalu berpisah.. Kini empat ekor banteng telah berpisah kok malahan bisa mengalahkan macan. Sungguh sebuah peristiwa yang bikin geleng-geleng kepala para binatang.

Jauh di kaki bukit Sang Kancil tersenyum mendengar penuturan keempat banteng yang bertandang ke rumahnya. Beberapa minggu terakhir mereka telah mengadukan perbedaan cita-cita yang membuat mereka ingin berpisah. Tapi mereka takut kejadian seperti cerita empat ekor sapi hutan yang dimangsa Singa Barong akan menimpa mereka.

Sang Kancil memberi jalan keluar. Menurut Kancil keempat banteng tak mungkin terus menerus bersama. Pada saatnya mereka harus berpisah demi mengejar cita-cita masing-masing. Jika harus selalu bersama-sama mereka tak akan pernah dewasa dan sulit mengejar cita-cita.

Sebagai solusinya Sang Kancil menyuruh para banteng belajar pada kuda tentang cara menyepak ke belakang. Kuda sangat tersohor dengan kemampuan menendang ke balakang ini. Dengan ketrampilan ini para banteng tak perlu takut adanya serangan dari belakang.

Kancil juga menyuruh para banteng belajar dari para kucing tentang cara mendeteksi adanya musuh yang mengendap-endap dari belakang. Kucing terkenal akan pendengarannya yang tajam dalam mendeteksi adanya binatang lain di sekitarnya. Para banteng juga diajari cara mengasah tanduk-tanduk mereka hingga setajam pedang. Semua ketrampilan itu membuat para banteng percaya diri untuk berpisah demi mewujudkan cita-cita mereka (undil – bandung nopember 2009)

tags: cerpen, cerita si kancil, cerita sang kancil, dongeng kancil, kisah si kancil, cerita perpisahan, cerita pendek, cerita anak, cerita psikologi, cerita persahabatan, cerpen, cerita psikologi, mengenal diri



sumber gambar: boston.com

Jumat, 30 Oktober 2009

Empat Perempuan dalam Perut Babi3

Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen
yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang
kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan
rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan
Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan
berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya
siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur
sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam
keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh
mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum.
Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya
menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram,
tabir waktu yang telah diluruhkannya.
"Kamu mau membeli lukisanku?" tanya Sekar sinis, seperti tak
memerlukan kehadiranku. "Tampaknya kau begitu yakin, aku akan
melepaskan lukisan itu."
"Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu."
"Tak akan kulepas, kecuali aku mati."
Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku
menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah
restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan.
Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke
warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman.
"Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang
keluargaku sendiri," kata Sekar. "Seumur hidup aku hanya
menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan.
Tanpa lelaki di rumahku."
3 21 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 19
"Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?"
"Kamu sudah tahu, siapa babi itu."
Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki
brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu
tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan
babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya,
siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah
yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang,
tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam.
Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar,
berdandan rapi, dan berucap ringan. "Aku mau pergi." Aku merasa
terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja
menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya,
sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak
dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua
minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang.
Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia
menolak.
Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen.
Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya.
Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat
masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buahbuah
kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung
dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku
meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. "Dasar, babi
tengik!"
Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku
pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran,
mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci
pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya,
dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di
bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang
dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di
bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
20 Laha collection
berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan
buruk dan diumpat sebagai babi tengik.
Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan
babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku
di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari
yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam
perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu
memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucucucu
lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik
macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang
dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi
makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul?
Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu
melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah
merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga
ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau
melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu,
aku ingin melihatnya.
Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu,
adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang
Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan,
seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya
sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincangbindcang.
"Kau teman Sekar?"
"Betul. Aku ingin membeli lukisannya."
"Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi.
Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain."
"Aku hanya ingin melihat lukisan itu!"
Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas
di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang
tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu
kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan
dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 21
hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah
ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam
hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah
benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih
parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji
dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis.
Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia
melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan
menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia
akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan
beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri.
Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia
sempat berkata lirih, "Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini."
Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis,
dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat.
Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaanperasaan
yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu.
Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi.
Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau
angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya
yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua
cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat.
Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi
dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan
membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta.
Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang
meringkuk dalam perut babi.
Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali
terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi
terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan
angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium
harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh.
Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit
luarnya. Menyengat, segar, dan manis.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
22 Laha collection
Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar
membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang
karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan
tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang
perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri.
"Sekar sudah meninggal," kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin
pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata
tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum.
Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan
gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan
merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di
pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi
jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga
perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap
yang meninggalkan perut babi itu.
Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi
dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur.
Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang
hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku,
beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari
tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya.
Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam.
Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya.
Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—
seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga
diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang
bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang
tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia
menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak.
Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam
Sekar, sambil berbisik, "Ini yang terakhir, agar dia tenteram."
Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang
terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air
kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang
dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak
dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 23
Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang
diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega
memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah
mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak
segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon
kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan
terserak di pelataran rumah tua.
Pandana Merdeka, November 19, 2006
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
24 Laha collection

Musibah2

Menjelang tengah malam. Ponsel dekat "bedlamp" bergetar. Terlalu
lama untuk sebuah pesan pendek. Di perbatasan antara terjaga dan
bermimpi, Budiman berdecak kesal sekaligus meraih ponselnya.
Telepon dari Mbak Lita? Di malam selarut ini?
"Halo...." "Budiman? Cepat setel televisi! Laporan khusus!"
Lalu, terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang
ditutup.
Budiman malas-malasan meraih remote control dan menghidupkan
televisi. Pas di channel yang menayangkan sisa laporan khusus.
Tampak seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun dalam
posisi membelakangi kamera digiring dan dikawal belasan petugas
kejaksaan dan kepolisian memasuki sebuah mobil tahanan yang
parkir di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Puluhan wartawan
berbagai media merangsek berusaha mendekati pria tua ini,
melontarkan berbagai pertanyaan yang tak begitu jelas terdengar.
"Siapa yang menelepon?"
Budiman tak menjawab pertanyaan istrinya yang ikut terjaga sebab
seluruh konsentrasinya sedang terpusat untuk mengingat- ingat,
siapa gerangan sosok pria tua yang serasa begitu dikenalnya itu.
Sayang, kamera terus mengikutinya dari belakang hingga wajahnya
tak kunjung tampak. Barulah ketika pria tua ini memasuki mobil
tahanan, kamera bergerak sedemikian rupa hingga berhasil
mengambil closeup-nya.
"Pakde Muhargo...!"
2 14 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 11
Budiman cepat-cepat mengambil ponselnya lagi. Menelepon balik ke
ponsel Mbak Lita. Tidak aktif. Dicobanya langsung ke rumahnya di
Batam. Tak ada yang mengangkat.
"Coba saja tanya Mbak Rina."
"Sudah sebulan ini dia tinggal di Amerika. Aku nggak tahu nomor
teleponnya."
"Kenapa nggak langsung nelpon ke rumah pakde aja?"
Budiman terdiam. Saat ini suasana rumah pakde pastilah sangat
tidak kondusif untuk menerima telepon dari luar. Dan sebelum ia
memutuskan untuk menelepon atau tidak, ponselnya sudah lebih
dulu berbunyi, berturut-turut atas masuknya belasan pesan pendek.
Dari saudara-saudara dan teman-teman dekat, yang semuanya
bicara tentang penahanan atas diri Pakde Muhargo. Ada yang
sekadar mengabarkan yang baru saja tertayang di televisi, ada yang
mengajak semua berdoa untuk keselamatan beliau, ada yang
mengutuk tindakan kejaksaan yang "biadab", dan sebagian terbesar
mengimbau agar para sanak saudara berkepala dingin dan tetap
tenang karena "sekarang ini penahanan memang lagi ngetren dan
lebih besar muatan politisnya daripada benar-benar untuk
menjunjung supremasi hukum". Namun, Budiman paling tertarik
dengan pesan pendek dari sebuah nomor yang tak dikenalnya, yang
menyebutkan bahwa Bude Muhargo dirawat di paviliun VVIP
sebuah rumah sakit internasional di Cikarang.
"Eh, Budiman.... Sini, sini."
Budiman menghampiri budenya yang segera bangkit dari tempat
tidur.
"Tidak usah duduk, bude. Tiduran saja."
"Kamu pikir aku sakit?" tanya budenya sambil tersenyum. "Aku
menginap di sini atas saran Nak Ustadz Ramadan ini. Supaya
terbebas dari kejaran wartawan."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
12 Laha collection
Seorang lelaki muda bersurban putih berwajah bersih yang berdiri
tak jauh dari tempat tidur bude tersenyum hormat pada Budiman
dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Ramadan."
"Budiman."
"Pengasuh pondok pesantren Janturan, yang didirikan pakdemu
setahun lalu di Yogya," kata bude menjelaskan. "Pakde melihat tata
susila di kota pelajar itu makin lama makin memprihatinkan, dan
terdorong untuk menyumbang karya nyata yang diharapkan
minimal bisa menghambat laju kemerosotan moral di kalangan
generasi muda. Eh, kok kebetulan ketemu dengan Nak Ramadan
yang punya perhatian sama terhadap pembinaan anak-anak di sana.
Ya, jadilah pesantren itu."
"Oh...." Budiman mengangguk- angguk, sementara dalam hati ia
merasa telah keliru menilai situasi. Semula ia membayangkan bude
berbaring dengan jarum infus, pipa oksigen berikut segala macam
kabel peralatan kedokteran menempel di bagian tubuhnya. Semula
ia mengira akan melihat bude dengan tatapan mata menerawang ke
arah langit-langit ruangan, dengan air mata yang diam-diam
membasahi pipi, dan bicara dengan suara terbata- bata. Nyatanya,
beliau bicara sangat lancar. Kualitas suaranya tetap jernih.
Ketenangannya tetap terjaga. Bahkan terlalu tenang untuk situasi
yang mestinya sangat depresif ini.
Menjelang saat sarapan tiba, Ustadz Ramadan berpamitan dan
secara amat hati-hati bicara. "Kalau sekiranya subsidi dari Bapak
buat pesantren untuk sementara dikurangi atau bahkan dihentikan,
Insya Allah kami siap berswadaya."
"Oh, tidak, tidak. Sejak mulai berurusan dengan kejaksaan, Bapak
selalu berpesan bahwa subsidi buat pesantren sudah merupakan
komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar, dan dengan cara apa pun
Bapak akan tetap menjalankan komitmennya. Jadi Nak Ramadan
tidak perlu risau oleh kondisi yang sedang dihadapi Bapak saat ini."
Sepeninggal Ustadz Ramadan, barulah bude menghela napas
panjang.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 13
"Zaman sekarang lebih dari zaman edan, Bud. Semua orang lagi
pada mabuk kepingin jadi pahlawan. Tapi karena sudah terlalu lama
jadi orang miskin, yang paling gampang dijadikan musuh ya orangorang
yang punya rezeki lebih, seperti pakdemu."
"Boleh tahu, bude, apa yang dituduhkan kejaksaan pada pakde?"
"Cerita lama, Bud. Penyalahgunaan yayasan Mangayu Bagyo,
pembangunan hotel di Bogor dan Kintamani, yang katanya izin
bangunannya tidak sesuai peruntukan, mark-up dana pembelian
kapal-kapal patroli buat angkatan laut, dan... apa lagi, gitu, aku
malah tidak ingat semuanya. Terlalu banyak, Bud. Terlalu banyak
orang yang ingin kebagian rezeki dengan cara-cara yang tak kenal
malu hingga segala sesuatu yang sudah semestinya malah diutakatik,
diobok-obok, supaya seolah-olah ada masalah. Lalu, ahli-ahli
hukum yang katanya pinter-pinter itu berebut menyumbang
kepintarannya dengan cara menafsir-nafsir pasal-pasal hukum
hingga yang selama ini dianggap benar bisa jadi salah, yang selama
ini tidak melanggar hukum bisa dianggap melanggar hukum.
Memalukan, Bud, memalukan sekali orang-orang seperti itu. Sampai
hati menistakan diri sendiri demi uang yang tak seberapa nilainya."
Tidak seperti biasanya, selewat tengah malam Budiman terjaga
untuk melakukan salat tahajud. Tak kurang dari sejam ia berdoa dan
terus berdoa, memohon pada Tuhan agar Pakde Muhargo diberi
kekuatan lahir dan batin menghadapi situasi yang absurd ini.
Budiman sungguh tak rela kalau pakdenya yang sangat
dihormatinya itu sampai benar-benar dimejahijaukan dan dipenjara.
Bagi Budiman, Pakde Muhargo memang segala-galanya. Lebih dari
sekadar kakak almarhum ayahnya, beliau adalah seorang panutan,
sesepuh sekaligus "juru selamat" bagi kehidupan pribadi dan rumah
tangganya. Budiman tak akan pernah melupakan masa remajanya,
yaitu setelah lulus SMP pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah
pakdenya ini. Setiap pagi ia bangun jam setengah lima untuk
mengepel lantai, mencuci mobil, dan menyapu taman sebelum ia
mandi dan bergegas berangkat sekolah dengan mengejar bus kota
untuk mencari celah di antara belasan orang yang bergelantungan di
pintu belakang.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
14 Laha collection
"Jer basuki mawa bea, Bud," begitu Pakde Muhargo saat itu selalu
berucap pada Budiman. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan
pastilah diperlukan pengorbanan.
Budiman sangat mempercayai ucapan itu karena Pakde Muhargo
telah membuktikannya sendiri. Bagaimana beliau dengan gagah
berani menjalani masa- masa penuh kemiskinan sebagai prajurit di
berbagai pertempuran dan tugas-tugas ketentaraan lainnya, terus
merangkak naik menjadi perwira tinggi, menjabat sebagai
komandan di berbagai kesatuan, sampai dipercaya memegang
jabatan-jabatan penting di pemerintahan berikut jabatan komisaris di
berbagai perusahaan.
"Nasib orang memang sulit diduga, Bud. Kadang bisa di puncak,
kadang bisa di bawah. Untuk itu kita harus selalu ingat pada
falsafah pohon. Puncak pohon bisa berkibar anggun karena
dukungan batang dan kekuatan akar. Jadi selagi kita di puncak, kita
tidak boleh melupakan yang di bawah. Tidak boleh melupakan akar
yang diam-diam mendukung kita tanpa pernah mau menonjolkan
diri."
Dan falsafah tersebut secara konsisten diterapkan Pakde Muhargo
dalam kehidupan sehari- hari. Setiap memperoleh pendapatan lebih
dari gaji yang diperolehnya tiap bulan, entah itu dari proyek-proyek
yang dipercayakan padanya atau dari sumber mana pun, beliau
senantiasa membagi rata ke setiap bawahan. Dari tingkat staf sampai
karyawan paling rendah. Tak terkecuali. Itulah maka semua
bawahannya, atau bahkan yang sudah jadi mantan bawahan,
senantiasa loyal dan sangat menghormati pakde. Mereka senantiasa
mengenang beliau sebagai atasan yang "sangat penuh pengertian"
dan mengenang periode menjadi bawahan beliau sebagai "masa
penuh kesejahteraan".
Namun, orang yang sangat dihormati itu kini terkurung di sebuah
ruang tahanan yang menghinakan dirinya, yang menistakan
martabatnya, yang menafikan segala kebajikan yang pernah
diperbuatnya. Maka, Budiman pun merasa harus segera bertindak
untuk menghentikan penzaliman terhadap pakdenya ini.
Seminggu kemudian....
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 15
"Insya Allah semuanya akan terkendali, bude. Saya sudah
menghubungi Mas Prawoto. Dia yang akan mengatur susunan
hakim di pengadilan tingkat pertama."
"Tetap harus ke pengadilan juga?"
"Demi menghormati prosedur hukum saja, bude. Nggak enak juga
kalau sudah terlanjur kelihatan digelandang masuk tahanan, tahutahu
keluar begitu saja. Kasihan Oom Karsono."
"Ah! Karsono itu cari muka. Demi ambisinya untuk bisa naik jadi
jaksa agung dia tega mengkhianati pakdemu."
"Sebenarnya tidak seburuk itu, bude. Sebelum malam penjemputan
itu, pakde ternyata sudah berkomunikasi dengan Oom Karsono dan
bisa memahami posisi Oom Kar yang sangat sulit dalam
menghadapi tekanan publik untuk menyeret pakde ke meja hijau.
Jadi, ini soal tarik ulur saja. Cuma... itulah, dari dulu pakde tidak
punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus
pakde sama sekali tidak terkontrol."
"Kebebasan...," Bude bergumam lirih sambil menghela napas
panjang. "Semuanya jadi kebablasan."
"Memang, bude. Sehubungan dengan itu pula saya ingin
menyarankan bude agar segera pindah dari rumah sakit ini."
"Lho kenapa...??"
"Sudah ada wartawan yang tahu bude menginap di rumah sakit ini."
"Oalah, Gusti.... Terus aku harus pindah ke mana?"
"Terserah bude memilih mana. Rumah di Pondok Indah saya rasa
cukup aman."
"Jangan! Nanti bisa bikin pekewuh Mas Abdul. Masa istri tahanan
bertetangga sama Kapolda. Kalau sampai ketahuan, beritanya bisa
dipelintir jadi macam- macam."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
16 Laha collection
"Atau di Kota Wisata?"
"Memang kita ada rumah di sana?"
"Ada, bude. Yang tahun lalu dikasih sama si Tantra. Ideal sebagai
tempat nyepi. Tapi kalau bude menghendaki yang di masih di
Jakarta, paling sepi ya rumah Kemang."
"Lho, bukannya sudah dijual?"
"Nggak jadi, bude. Sama broker dikasih harga sembilan milyar,
jadinya malah nggak laku. Cuma kondisinya memang sekarang
kurang terawat. Kalau bude mau pindah ke situ harus dibersihkan
dulu."
"Padahal harus segera."
"Benar, bude. Yang paling siap huni dan paling aman sebetulnya di
apartemen. Terserah bude, mau memilih yang di Paku Buwono atau
yang di Menteng. Sampai sekarang dua-duanya belum pernah ada
yang menempati."
"Nggak ah. Kalau gempa bumi bisa mati berdiri."
Sebuah Mercy seri 600 meluncur lembut dan berhenti di pelataran
parkir VIP bandara. Budiman membantu Bude Muhargo keluar
mobil, membawanya ke arah pintu khusus, untuk menunggu
penerbangan ke New York. Bude akhirnya memutuskan untuk
sekalian menemani Rina, putrinya, yang sedang mengambil S-3 di
sana. Di ruang tunggu bude menyerahkan sebuah tas kecil ke
Budiman.
"Ini kunci-kunci safe deposit box, Bud. Semua aku titipkan ke kamu.
Kalau kamu perlu cash US dollar ambil saja dari yang di Citibank.
Kalau tidak salah masih ada sisa sekitar satu atau satu setengah juta
di situ. Buat bayar uang muka pengacara-pengacara aku rasa lebih
dari cukup. Kalau mau rupiah, tadi siang aku sudah transfer lima M
ke rekening kamu. Prawoto sama Karsono pasti perlu buat ngasih
teman- temannya."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 17
"Eyaaang!"
Budiman menoleh mendengar suara Tito, anaknya, yang menyusul
datang dengan mobil lain sepulang dari les matematika. Bude
Muhargo langsung tersenyum lebar dan menyambut si kecil dengan
pelukan hangat.
"Eyang! Aku tadi lihat eyang kakung di televisi."
Budiman seketika berpandangan dengan istrinya.
"Eyang kakung itu ternyata koruptor, ya?"
"Tito!!!"
"Bukan, sayang," buru-buru bude mendahului bicara. "Eyang
kakung bukan koruptor. Koruptor itu orang jahat. Eyang bukan
orang jahat. Eyang cuma dituduh melakukan kejahatan. Orangorang
yang menuduh itu justru yang jahat."
"Kalau memang nggak salah kenapa eyang mau ditahan?"
Bude Muhargo terdiam sesaat. Lalu berbisik dekat telinga Tito.
"Kalau sudah besar nanti Tito akan tahu, tidak semua yang tidak kita
inginkan itu bisa kita hindari. Seperti halnya musibah. Nah eyang
kakung saat ini sedang ditimpa musibah." ***
Jakarta, 10 November 2006
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007

Sabtu, 24 Oktober 2009

Cerpen Kancil versus Si Pemancing Keributan

"Ibu, kenapa Sang Kancil baca buku pake sepatu?

^_^





Bangun tidur Sang Kancil terkejut melihat selembar daun tergeletak di depan rumahnya. Dipungutnya daun tersebut, lalu dibacanya tulisan yang tergores di atas daun. Rupanya sebuah surat-daun.


Akhir-akhir ini memang mulai banyak binatang hutan yang berkomunikasi dengan lembaran daun sebagai pengganti komunikasi lisan via burung beo. Karena kalo menitipkan pesan secara lisan lewat burung beo harus sabar mengantri, maklumlah banyak binatang yang membutuhkan jasanya.


Pelan-pelan disimaknya tulisan yang tertera di permukaan daun.


“Hari gini Kancil masih tidur.
Gak tau apa kalo Kijang sibuk
mengomentari otak Sang Kancil
yang disebutnya mulai tumpul.
Katanya ilmu pengetahuan Sang Kancil
ketinggalan jaman, jauh dari kenyataan”
Sejenak hati Sang Kancil terbakar. Rupanya Kijang mulai meremehkan kemampuan dirinya. Dianggapnya ilmu pengetahuan Sang Kancil telah lapuk. Sudah usang, tidak sesuai dengan kebutuhan masakini. Brrrrggggg! Api kemarahan mulai membakar hati Sang Kancil.

Si Kijang tidak tahu sopan santun! Berani-beraninya meremehkan diriku, Si guru dari segala macam anak binatang di hutan!. Yah, sampai dengan saat ini Sang Kancil adalah guru paling bijak di hutan, tempat para binatang mempercayakan anaknya untuk dididik.


Beruntunglah Sang Kancil berkat kebijaksanaan yang dipelajarinya selama belasan tahun dia tidak mengikuti kata hatinya untuk marah-marah pada Kijang. Dibacanya sekali lagi tulisan di daun lontar. Diselidikinya cara penulisannya. Rasa-rasanya dia kenal tulisan yang ada di daun itu. Yah! Dia pernah menerima tulisan serupa tahun lalu.


Setahun silam Sang Kancil mendapat kiriman tulisan mirip ini. Waktu itu tulisan yang tertera di daun adalah tentang komentar Jerapah terhadap cara baca Sang Kancil. Disebut-sebut dalam surat itu bahwa Jerapah mempertanyakan Sang Kancil yang membaca di perpustakaan Ibu Gajah tanpa melepas sepatu. Padahal sepatu itu kan dipake jalan kemana-mana. Apakah debu di sepatu tidak akan melekat pada tikar dan menyebabkan celana pengunjung perpustakaan jadi kotor?.
Kala itu Sang Kancil langsung marah-marah pada binatang yang pernah dimasukkan dalam kulkas tersebut. Dilabraknya rumah Sang Jerapah dan dimarahinnya Si Jerapah tepat di muka pintu. Di katakannya Si Jerapah jangan menuduhnya sembarangan! Dirinya memang tak pernah melepas sepatu bila baca di perpustakaan Ibu Gajah karena dia bacanya di luar! Dia tak pernah masuk ke perpustakaan, tapi duduk di batu-batu yang disediakan di luar perpustakaan. Jadi wajar saja bila dia tidak membuka sepatu.

Jerapah buru-buru menjelaskan pada Sang Kancil kalau yang bertanya itu adalah Ajer (Anak Jerapah). Waktu itu Ajer, si Jerapah kecil yang sedang diajaknya berkunjung ke perpustakaan heran melihat Sang Kancil asyik membaca tumpukan daun tanpa melepas sepatu. Saat itu juga telah dijelaskan pada Jerapah kecil bahwa Sang Kancil tidak membuka sepatu karena bacanya di luar, bukan di dalam perpustakaan.


Jadilah mereka berdua bingung tentang siapa yang iseng mengirimkan surat pada Sang Kancil mengadukan pertanyaan Jerapah kecil.
Ada juga ternyata makhluk yang suka memancing-mancing.

^_^

Ingat peristiwa dirinya dengan Jerapah tersebut Sang Kancil tersenyum. Tulisan di daun ini dikirim oleh makhluk yang sama. Makhluk Pemancing pertikaian. Jadi pasti isinya tak jauh beda. Tujuannya bikin heboh saja!. Sang Kancil tidak mau jadi tontonan warga hutan karena bertengkar dengan Kijang gara-gara surat itu.

Pastilah kata-kata itu ditujukan bagi kalangan internal keluarga kijang. Didengarnya beberapa anak kijang sudah cukup umur untuk mulai bersekolah. Mungkin mereka sedang rapat keluarga untuk membahas kepada siapa anak mereka akan dititipkan.

Boleh jadi salah satu anggota keluarga Kijang pernah mengetahui dirinya membuat pernyataan yang salah -- lalu khawatir anak-anak mereka jadi ikut salah. Mereka pasti sedang berusaha sekuat tenaga mencari guru yang tepat buat anak-anaknya. Jadi para kijang sedang diskusi keluarga untuk mencari seorang guru, bukan sedang menjelek-jelekkan Sang Kancil.

“Maafkan aku Si Pemancing keributan.
Aku tak sudi makan umpanmu.
Aku tidak akan berdebat dengan siapapun
hanya karena ulahmu! Sorry yah!”

Itulah kata-kata yang ditambahkan Sang Kancil di atas surat-daun berisi aduan itu. Lalu dilemparkannya daun itu hingga terbang terbawa angin ke angkasa (Undil – 2009).


tags: cerita kancil, cerita anak, cerita pendek, cerpen, cerita psikologi, cerita si pemancing-mancing,
 
sumber gambar: boston.com

Sabtu, 17 Oktober 2009

Andong dan Lalat Kecil

Jaman dahulu kala ada sebuah Andong (kereta kuda) bermuatan jambu biji sedang berjalan dari Selarong ke Pasar Bantul. Jaman itu jalan raya masih bergelombang, tidak rata dan dibuat dari bebatuan karena belum ada aspal. Ketika andong sedang melewati jalanan berpasir, ada seekor lalat yang hinggap di atasnya. Bersamaan dengan itu laju andong menjadi lambat. Sebenarnya bukan karena keberadaan lalat, tetapi karena roda andong tertahan oleh pasir yang memenuhi jalan.

Namun pelannya andong tersebut oleh Si Lalat dianggap karena keberadaan dirinya. “Wah, andong jadi pelan gini, pasti karena tidak kuat menahan berat badanku” pikir Si Lalat yang merasa dirinya paling berat sedunia.
“Sapa siy yang bisa menandingi berat tubuhku? Gak ada hewan lain yang lebih berat dari diriku!”

Setelah beberapa lama hinggap di atas andong, Si Lalat menjadi bosan terus terbang lagi. Berbarengan dengan itu andong telah sampai jalanan yang tidak berpasir sehingga lajunya menjadi kencang kembali. Si Lalat yang udah ge-er jadi tambah yakin bahwa tubuhnya benar-benar sangat berat.

“Wah, saya tinggal sebentar saja andong bisa kencang lagi. Pastilah tubuhku benar-benar berat buat dia!” kata Si Lalat dengan hati berbunga-bunga.


Lalat kemudian berpikir jika dirinya hinggap diatas andong sambil menggerakkan sayap tentunya andong akan melaju lebih kencang karena terdorong oleh kepakan sayapnya. Tak berapa lama kemudian Si Lalat mencoba hinggap lagi di atas andong sambil menggerakkan sayapnya. Mendadak andong melaju kencang sekali dengan kecepatan sangat tinggi. Si Lalat kaget sampai terlempar dari atas andong. Untungnya dia bisa terbang sebelum jatuh menyentuh tanah.


Sebenarnya andong tersebut melaju kencang sekali karena ada turunan di jalan raya. Jadi wajar saja andong melaju lebih kencang karena dibantu gravitasi bumi. Namun peristiwa itu membuat Lalat semakin ge-er. Kemudian Si Lalat berteriak pada kuda yang menarik andong

“Sorry, sorry Mas Kuda. Aku salah mengukur kekuatanku. Kayaknya aku gerakkan sayap terlalu cepat, jadi andongmu melaju terlalu kencang!. Sorry ya, besok lagi aku akan menggerakkan sayapku pelan-pelan saja” kata Si Lalat dengan hati bangga akan kekuatannya. (Undil – Okt 09)

bacaan:
Tjrita Pantja Warna oleh S. Har, Penerbit PT. Jaker Jogjakarta

tags: cerita anak, cerita pendek, dongeng menjelang tidur, cerita orang besar kepala, cerita pendek tentang orang geer.



Cerita Pendek Bahasa Jawa: Andong lan Laler Cilik

Jaman mbiyen ana andong nggawa momotan jambu kluthuk lagi mlaku saka Selarong arep menyang Pasar Bantul. Jaman iku dalane isih gronjal-gronjal digawe saka watu durung ana aspal. Nalika andong lagi liwat dalan sing kebak wedi, ana laler cilik mencok ning nduwure andong. Bareng karo mencoke laler, lakune andong malik rindik. Ora amarga kabotan laler, nanging amarga rodane kepater dening wedi sing mbleder ning ndalan.

Nanging rindike andong tumrap laler dianggep amarga kapencokan deweke.
“Wah andong iki dadi mlakune alon-alon, mesti merga jarane kabotan awakku” pikire si laler kanthi ati bungah rumangsa paling abot sak donya.
“Sapa sing iso nandingi abote awakku, ora ana kewan liya sing luwih abot timbang aku!”.

Sakwise sakwetara mencok ning andong, laler banjur jeleh terus mabur meneh. Nalika Laler mabur, andonge pas liwat dalan sing ora ana wedine. Dadi lakune andong malik cepet maneh. Si Laler kang gegeden rumongso tambah yakin menawa deweke abot tenan. “Weladalah, tak tinggal sedilit wae, andonge langsung biso mlaku banter. Wah, nek ngono aku iki abot temenan ya!” celatune si laler.

Laler banjur mikir, manawa deweke mencok ning andong karo ngobahke sewiwine mestine si andong bakal mlaku luwih banter amarga kasurung dening obahe sewiwi. Laler trus nyoba mencok maneh ning andong karo ngobahke sewiwi. Dumadakan andong malik mlayu banter banget ngedap-edapi. Laler kaget banget ngantek awake kontal saka andong. Untunge deweke iso mabur sakdurunge tiba ning lemah.



Sajatine andong mau iso mlayu banter banget amarga dalane ndronjong, Dadi lumrah menawa mlakune luwih banter wong diewangi gravitasi bumi. Nanging lelakon itu agawe Laler dadi tambah ge-er. Trus mbengok-mbengok marang jarane andong.. ‘Sorry, sorry Kang Jaran, aku salah ngukur kekuatanku. Anggonku ngobahke sewiwi sajake kebanteren, dadi andongmu mlakune banter banget. Sorry ya, sesuk maneh anggonku ngobahke sewiwi rindik wae”. celatune Laler kanthi ati mongkok (Undil Okt 09).

bacaan:
Tjrita Pantja Warna oleh S. Har, Penerbit PT. Jaker Jogjakarta


tags: blog bahasa jawa, cerkak, cerita cekak, cerita pendek bahasa jawa, cerkak anak

Minggu, 11 Oktober 2009

Sastrokreatip Mau Dodolan Gorengan



Inilah hari yang ditunggu-tunggu Haji Wage, yaitu datangnya Sastrokreatip ke rumahnya untuk menyatakan minat buka usaha. Mau bisnis saja, begitu kata Sastrokreatip pada Haji Wage lewat telpon. Setahun yang lalu Sastrokreatip lulus kuliah dengan IPK three point something. Namun entah kenapa hingga saat ini belum juga dapat pekerjaan yang sreg dengan panggilan hatinya.

Dua minggu lalu Haji Wage mendengar berita bahwa Sastrokreatip telah magang di warung Kang Dadang. Pertanda upaya Haji Wage tidak sia-sia. Sebulan sebelumnya Haji Wage yang dicurhati ayah Sastrokreatip tentang anaknya yang belum juga dapat kerja – berinisiatif mengajak Sastrokreatip jalan-jalan seharian.

Mereka berdua keliling-keliling Kota Bandung. Bukan keliling sembarang keliling. Si Sastrokreatip ini diajaknya jajan sambil ngobrol dengan tukang gorengan yang tersebar di seantero Bandung. Dari Jalan Eijkman sampai Gunung Batu, dari Dipati Ukur sampai Lembang, dari Tamansari sampai Surapati. Pokoknya komplitlah seluruh penjuru kota dijelajahi untuk bersua dengan para tukang gorengan.

^_^

Pukul sepuluh pagi tamu yang dinanti-nanti oleh Haji Wage datang. Setelah sejenak basa-basi, ngobrol sana-sini akhirnya Sang Tamu tiba pada inti persoalan yang ingin diungkapkan pada Haji Wage.

“Saya butuh uang untuk bisnis Kang!. Bisa nggak pinjem barang 10 juta untuk buka usaha jualan gorengan” pinta Sastrokreatip

“Berapa??. Sepuluhjuta????” Haji Wage kaget sampai rambutnya berdiri.

“Sedikitlah segitu!. Untuk beli gerobak saja berapa? Belum lagi kompor gas dan tabung gas. Wajarlah angka segitu!”

Haji Wage diam sejenak. Kemudian dia berceramah panjang lebar tentang perlunya Sastrokreatip berhati-hati dalam membelanjakan uang buat modal bisnis. Beli yang perlu-perlu saja, jangan dulu tanam modal banyak-banyak. Jelajahi kolamnya dulu, sebelum mencebur untuk berenang. Siapa tahu banyak buaya dan cicak dalam kolam. Intinya Haji Wage tidak setuju Sastrokreatip memulai usaha gorengan dengan modal sebesar itu.

“Bukannya pertigaan jalan tempat kau mau jualan itu dekat banget dengan rumahmu. Kamu juga gak akan jualan keliling kampung. Gak perlulah bikin gerobak dorong. Angkut saja satu meja dari rumahmu untuk pengganti gerobak dorong”. kata Haji Wage

“Waaah, gak nyeni dong Kang. Masa aku jualan pake meja belajar, malu dong!

“Ah, tenang aja. Ntar kalo daganganmu laku kamu gak akan malu lagi. Kalo soal kompor ambil saja satu kompor dari rumahmu, tabung gas tak liat banyak juga di rumahmu. Tinggal diambil satu”.

Sastrokreatip mau gak mau menerima saran Haji Wage untuk mempergunakan perabotan rumah buat jualan gorengan. Pertigaan jalan tempat dirinya akan berjualan memang bukanlah jalan raya yang ramai, tetapi banyak karyawan kantor yang ngontrak, juga banyak tempat kost anak koas kedokteran dan ramai oleh murid-murid SD yang jalan kaki ke sekolah. Ditaksirnya soal pembeli gak akan pernah sepi. Sekarang tinggallah persoalan dana untuk beli isi tabung gas, beli minyak goreng dan tenda sederhana biar dagangannya tidak bubar kalo tiba-tiba turun hujan.

“Kalo gitu aku pinjem uang buat beli bahan-bahan gorengan dan tenda aja” kata Sastrokreatip

“Bukannya kamu punya Motor Megapro di rumah?. Itu bisa untuk modal awal!”

“Apa maksudmu Kang? Kalo dijual, aku beli bahan-bahan gorengan pake apa? Lagipula motor itu sangat kubutuhkan untuk transportasi sehari-hari. Gak mungkinlah kujual!”

“Waaaah salah ngerti kamu!. Jual lalu beli lagi motor yang agak lebih tua. Beli aja motor keluaran akhir tahun 90-an atau awal 2000-an . Banyak yang masih bagus kok! Selisih uangnya buat modal usahamu!”

“Huuuuuu.....Kok Akang gitu siy! Gak bisa yah pinjem uang dulu ke Kang Wage?”

“Bisa aja siy. Tapi aku khawatir kamu jadi kurang semangat dalam jualan. Soalnya uangnya dari aku. Jadi kalo gagal -- yah kamu bisa berharap aku akan memberi kelonggaran dalam pembayaran hutang atau aku akan mengikhlaskan uang itu. Tapi jika modal berasal dari kocekmu sendiri, aku berharap kamu lebih bersemangat. Sebab kalau modal hilang berarti kamu gak akan punya Megapro lagi. Kalau bisnismu tutup, berarti kamu gak bisa naik motor bagus lagi. Makanya kamu bisa lebih semangat!”

Sastrokreatip diam. Dia sayang banget sama motornya. Motor itu diperolehnya dari uang hadiah saat menjadi juara satu lomba rekayasa teknologi tingkat nasional. Puncak dari sederet prestasi yang diraihnya semasa masih kuliah Makanya sangat bersejarah sekali bagi dirinya.



“Dengar!. Kalo kamu semangat, kamu tak akan berhenti jualan hanya karena seharian tidak laku. Kamu gak akan bermalas-malasan karena hujan. Kamu juga tak akan mundurin jadwal buka warung hanya karena ngantuk akibat baru pulang dari luar kota. Jadi pelangganmu dapat mengandalkan warungmu untuk mencari goreng-gorengan! Nah, semangat itu akan bangkit kalo kamu merasa udah membuat pengorbanan, yaitu motormu yang kau jual. Karena kalo kamu malas-malasan kamu rugi sendiri karena uangmu yang akan lenyap. Bukan uang orang lain yang akan hilang!” lanjut Haji Wage berusaha meyakinkan Sastrokreatip.

Sastrokreatip tertegun. Diam-diam dia mengakui bahwa dengan modal sendiri dirinya akan lebih bersemangat. Juga dirinya lebih bangga karena dapat berdiri di atas kaki sendiri (Undil – Okt 2009).


tags: cerpen, cerita pendek, cerita manajemen, cerita wirausaha, dongeng sebelum tidur, dongeng anak, haji wage, wiraswasta, tips mau buka usaha, harga diri, mandiri, hati-hati hutang untuk usaha, hemat modal, jualan gorengan, psikologi modal usaha


Selasa, 06 Oktober 2009

Lintang

Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan
yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti
embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum
membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang
perempuan yang merancang sendiri kehidupannya. Sejak remaja
ditentukannya apa yang akan ia lakukan, kapan akan menikah,
dengan laki-laki seperti apa, akan punya anak berapa, seperti apa
akan membesarkan mereka, itu semua sudah ia pikirkan.
Perempuan itu menggoreskan sendiri takdirnya.
Saat berusia dua puluh tahun ia jadi ibu dari dua anak, satu
perempuan dan satu laki-laki. Sebuah peristiwa telah mengubah
impiannya, jadi mimpi menyeramkan. Sekolah tempat ia bekerja
dibakar. Ayah dan suaminya menghilang entah ke mana. Tinggallah
ia bersama ibu, delapan adik, dan dua anak di rumah masa kecilnya.
Tak ada yang mau mendekati rumah itu. Beberapa orang bahkan
melempari temboknya dengan tinja. Siang hari hanya mereka yang
bersepatu lars sesekali terlihat ke luar masuk. Malam hari rumah itu
bagai bayangan besar yang pekat, gelap, tak ada terang setitik pun.
Pintu dan jendelanya tetap terbuka. Engsel-engselnya menjerit saat
angin menyentuh. Tapi perempuan itu tahu kadang ada nafas-nafas
lain selain ia, ibu, adik dan anaknya. Mereka, gerombolan bersarung
yang siap menggasak apa saja, termasuk nyawa sekalipun. Menurut
kabar, mereka telah penggal beratus, bahkan beribu kepala manusia
di sepanjang Kali Brantas. Karena itu, setiap kali mereka datang,
malam pun jadi sesak. Perempuan itu bersama ibunya akan berjagajaga
di balik pintu kamar sambil berdoa. Saat semburat pertama
mengembang di ufuk timur, perempuan itu menghitung tubuhtubuh
yang berjejal di kolong dipan.
"Delapan, lengkap!"
1 7 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
4 Laha collection
Anak perempuannya lelap di dekapan ibunya yang pulas di sudut
kamar.
"Lengkap…."
Ia pun tertidur sambil memeluk anak laki-lakinya.
Tahun hampir berujung, namun satu interogasi ke interogasi lain
seolah tiada akhir. Awalnya perempuan itu menggigil saat pertama
kali digiring ke markas. Kali ketiga ia mulai terbiasa, bahkan ia
sudah bisa tersenyum saat menjawab pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan
yang sama, yang ia jawab dengan jawaban yang juga
selalu sama: tidak tahu! Ia memang sungguh tak tahu di mana ayah
dan suaminya berada. Tapi ia sudah tahu takdir kedua lelaki itu,
mereka tak mati, tak boleh mati. Dan, ia putuskan untuk melukis
pencarian di setiap jengkal kota.
Perempuan itu tahu pasti ayah dan suaminya tak mati. Detak
jantung kedua lelaki itu terus memanggil-manggil, mengajaknya
melangkah ke penjara Tangerang. Di halamannya yang kering,
keduanya hampir tak bisa dibedakan dengan ratusan lelaki lain
yang sedang berdiri dalam barisan, kurus dan kumal. Sejak itu,
setiap minggu senyum perempuan itu jadi penguat bagi mereka
untuk tetap memberi jawaban yang sama pada petugas: tidak tahu!
Satu tahun sudah peristiwa itu berlalu. Perempuan itu masih tinggal
di rumah masa kecilnya. Tetap saja, hanya mereka yang bersepatu
lars yang datang. Satu adik perempuannya memilih kawin dengan
kepala gerombolan yang dulu acapkali porak-porandakan rumah.
Hal itu sedikit membawa perubahan, tak ada lagi tamu yang
merusak malam. Sisanya tak berubah, teman atau kerabat sama saja,
membuang muka saat berpapasan. Penghuni rumah itu dianggap
petaka. Orang-orang tahu, seribu mata- mata memasang mata dan
telinga untuk menangkap siapa pun yang dianggap mengenal
mereka.
Nyanyian jangkrik mengurai sepi. Sepi pun porak bagai kaca pecah
ketika anak perempuannya berteriak dari beranda belakang.
"Bapak pulang! Bapak pulang!"
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 5
"Suruh anakmu diam!" perintah ibunya panik.
Perempuan itu setengah berlari menghampiri anaknya yang sedang
bermain.
"Buu, Bapak pulang!"
"Sst, Maya jangan begitu, diam sayang, nanti dikira orang betul
Bapakmu pulang…."
Sosok tipis menghampiri perempuan itu. Tak percaya ia tatap tubuh
di balik caping petani yang tutupi tirus pasi.
"Ini aku."
Perempuan itu lepaskan bekapan di mulut anaknya. Ia peluk lelaki
di hadapannya. Dua bulir basahi dada kerontang lelaki itu.
"Bapak bagaimana?"
"Bapak masih di sana. Mereka melepaskanku karena disentri yang
semakin parah. Aku disuruh pergi, sebelum mati di penjara."
Tak ada lagi kata-kata, malam pun berlalu dengan lengang yang tak
berbeda. Senyum perempuan itu butakan mata, tulikan telinga para
mata-mata. Berhari seperti itu, seolah tak ada yang berarti terjadi.
Tak ada yang tahu, bahkan ketika mereka tinggalkan rumah itu,
tinggalkan Jakarta.
"Lintang, ajak Suryo pergi dari sini, Ibu sudah siapkan semuanya.
Pergilah kalian ke tempat Mang Golibi. Geura indit, geulis, bawa
Maya, biar Ibu yang urus Teguh."
Sebuah kota yang diselimuti kabut menyambut mereka. Tak ada
rasa takut sedikit pun di hati perempuan itu. Sekali lagi, ia tentukan
takdirnya. Ia akan bertahan bersama suami dan anak
perempuannya. Mereka bertiga tak boleh mati!
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
6 Laha collection
Mang Golibi, saudara jauh ibunnya, mengantar mereka ke sebuah
pondok pesantren. Pemiliknya, Kiai Hanafi, memberikan
pengharapan. Tak ada tatap menyelidik, tuturnya sisipkan hangat.
"Ulah asa-asa, anggap saja di rumah sendiri."
Tapi, Mang Golibi ingatkan mereka untuk tetap tajamkan rasa.
"Sama saja, di dieu oge banyak yang dibui, banyak juga yang
dibuang ka pulo, yang mati juga banyak, yang hilang komo deui".
Meski dipagari gunung, tak urung kebencian yang sama mengalir
sampai ke dusun-dusun terpencil. Perempuan itu tahu, tak ada
pilihan, si kecil pun harus dibiasakan dengan panggilan baru,
mengingat nama baru ayah dan ibunya, dan tentu saja tak boleh
bercerita tentang kakek- neneknya kepada orang lain. Perempuan itu
sadar, jika ingin hidup, tak ada pilihan, mereka harus kubur semua
riwayat.
Tak ada yang berubah dalam diri perempuan itu, walau hari kadang
menggigit. Ia tetap berikan senyum pada suaminya yang berubah
jadi pemarah, yang sering tanpa sebab, memakinya atau merusak
perabotan rumah atau meleleh dalam takut yang sangat. Lelaki itu
acapkali terbangun tengah malam ketika sepeda motor melintas di
depan rumah. Bukan sekali lelaki itu tiba-tiba lunglai saat
mendengar derap kaki orang di dekat rumah.
"Mereka datang, mereka datang. Habislah aku, habislah kita!"
Kalau sudah begitu, perempuan itu akan berikan dekapan hangat,
mengusap-usap punggungnya, menenangkannya, hingga lelaki itu
kembali bermimpi di bawah elusan senyumnya. Senyum yang sama
yang ia berikan saat bumi menjemput hari. Senyum yang sama yang
ia bagikan pada waktu yang terus berjalan. Ia pun terus merajut hari
dengan kesabaran. Kesabaran yang membalut nyeri di hati
suaminya, hingga lelaki itu perlahan mulai bisa pijakkan kaki di
bumi.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 7
Begitulah hari merambat. Terkadang hari berjinjit sambil sematkan
kabar di pucuk atap. Ibu, dua adik, dan anak lelakinya sudah tak
lagi di Jakarta. Adik-adiknya yang lain tinggal berpencar, jadi
pembantu di rumah kerabat. Hanya dua adik lelaki dan satu adik
perempuan yang masih tinggal di rumah yang sama. Bapak masih
ditahan, entah kapan akan pulang, tak tahu kapan bisa bertemu.
Surat terakhir mengatakan, Bapak dipindah ke Salemba. Sementara
seorang paman menjadi penghuni pulau di timur.
Aku tak pernah bisa berhenti mengenang perempuan itu. Semua
cerita tentangnya kukumpulkan remah demi remah. Aku bahkan
sengaja mewawancarai orang-orang yang pernah kenal, atau
sekadar tahu dirinya. Perempuan itu hidup dalam hidupku.
Sebagian kisahnya hidup dalam hidupku.
Orang pasti berpikir perempuan itu karang yang bergeming saat
gelombang pasang, tapi tidak bagiku. Aku tahu pasti saat
senyumnya luluh ketika pedih terlalu tajam. Tak jarang ia ingin
bunuh hari saat hadapi trauma suaminya. Di saat seperti itu
biasanya ia kemasi barang-barangnya. Aku masih ingat bagaimana
perempuan itu mengangkat koper tua berwarna coklat muda pudar.
Sebungkus air mata disembunyikan di bawah senyumnya. Saat itu
aku pikir ia akan tinggalkan suaminya dan akan mengajakku
kembali ke rumah masa kecilnya. Tapi ternyata ia hanya ingin
titipkan pedih pada sebuah makam yang tak jauh dari rumah.
Perempuan itu percaya kematian bisa dengarkan kehidupan.
"Aku tak tahu makam siapa ini," katanya menjawab pertanyaanku,
“yang pasti, saat kita mencium wewangian, kita bisa mengadu pada
jasad di bawah sana."
Ia punguti kembang kemboja yang berjatuhan di sekitar makam, lalu
ditaruhnya di atas makam itu, lalu lanjutkan kata-katanya.
"Aku sangat ingin bertemu ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku juga
ingin menimang anak lelakiku. Putingku masih merasa berdosa
karena tinggalkan bibirnya. Kau tahu, aku ingin ada seorang yang
bisa dengarkan diriku. Tapi, kepada siapa aku bisa bicara, jika tak
seorang pun tahu diriku, tak seorang pun tahu namaku."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
8 Laha collection
Telaga menggenang di kedua matanya, perlahan menetes jadi
gerimis yang perih. Saat itu untuk pertama kali aku mengerti arti
pedih.
Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan.
Masih jelas tergambar saat ia menghitung untung barang-barang
yang dikreditkannya pada orang-orang kampung. Masih kuingat
saat ia ajari masukkan jamu godokan, racikannya sendiri, ke dalam
botol-botol bekas sirup. Saat itu satu botol harganya limaratus
rupiah. Aku tak akan lupa hari-hari yang dilewati perempuan itu.
Hari ketika seorang tamu datang dan menangis sambil memeluknya.
"Ternyata Zus masih hidup."
Seperti biasa perempuan itu berikan senyumnya. Senyum yang sama
yang diberikannya padaku saat kutanya mengapa aku harus
memanggil Kiai Hanafi kakek, padahal aku tahu dia bukan kakekku.
Senyum yang sama juga diberikannya padaku saat kutanya
mengapa ia tak lagi memanggilku Maya.
Senyum perempuan itu memang tak pernah berubah, sama, tetap
sama. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kusibak
kafan dan kubisikkan kata:
"Akan kutulis di nisanmu namamu, namamu yang sesungguhnya,
Lintang, biar mereka tahu siapa dirimu, siapa kita sebenarnya.
Selamat jalan, Bunda!"


Minggu, 04 Oktober 2009

Renata Kalah Lagi

Weekend ini Renata kalah lagi. Bagaimana tidak kalah, Renata gagal memanfaatkan dua hari libur itu untuk belajar beberapa hal baru tentang pekerjaannya. Lebih tepatnya Renata gagal belajar tentang cara pembuatan database sederhana – terkait penanganan data yang semakin melimpah di departemennya. Terutama untuk menampung data-data terkait proses produksi yang belum tercakup dalam database perusahaan.

Sabtu pagi Renata sudah patok untuk bersepeda keluar kota. Jadi acara naik-turun jalanan di Lembang yang sejuk bersama teman-temannya adalah hal yang tak bisa dia tinggalkan. Sabtu siang Renata jalan-jalan ke toko buku bareng Himaru untuk melihat koleksi buku-buku baru yang masuk ke rak pajangan Toko Buku Gunung Agung.

Sorenya sebenarnya Renata bisa mulai membuka CD Pelajaran Membuat Database – yang dibelinya sejak minggu lalu -- tapi Renata memilih main ke rumah Sari. Mereka berdua menghabiskan waktu nonton serial Numb3rs yang bercerita tentang seorang detektif polisi yang memecahkan kasus-kasus pelik dengan bantuan adiknya – yang seorang jenius matematika & dosen di sebuah universitas. Sebuah film matematika yang sangat mengasyikkan bagi mereka.

Minggu pagi Renata jogging di lapangan bola sebuah kampus dekat kost-nya. Dilanjutkan dengan wisata kuliner di warung-warung tiban yang berjajar di pinggir lapangan. Siangnya dilewatkan dengan ngenet, ngecek email, chatting dan browsing seputar sejarah sepeda untuk bahan mengisi buletin kantor. Sorenya diisi dengan bersih-bersih kamar yang baru berakhir menjelang Maghrib.

Praktis Renata baru membuka CD Pelajaran Membuat Database setelah Isya. Sialnya itu-pun tidak tahan lama. Sehabis makan malam dirinya tiba-tiba jadi ngantuk berat dan tidak sadar tertidur pada pukul sepuluh malam.

Renata terbangun pukul 3 dini hari. Dengan mata merah dia melangkah ke kamar mandi melewati kamar dua orang teman kostnya yang masih berstatus mahasiswa. Dilihatnya dua anak itu masih sibuk main games multiplayer via intranet. Ambooy, Renata melihat mereka telah main games sejak Sabtu siang dan masih belum berhenti hingga Senin dini hari. Tahan banget mereka berdiam belasan jam di depan komputer – demi menekuni ”profesi” sebagai gamers! Sebuah semangat luar biasa dalam menekuni sebuah hobby. Tiba-tiba Renata merasa malu!

Renata malu banget pada dirinya sendiri. Dia kalah telak dari dua orang teman kostnya. Dua anak itu mampu menahan diri untuk menekuni games nyaris selama weekend dari mulai Sabtu hingga Senin dini hari. Mereka mampu bersikap total pada kegemaran ngegames!. Sementara dirinya yang seharusnya menekuni pekerjaan yang lebih serius, yaitu belajar database yang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan rutinnya -- malahan bersikap angin anginan.

Dirinya lebih banyak mengerjakan hal-hal yang sekunder sembari melupakan hal primer. Yang lebih disesalinya lagi adalah dirinya gagal memaksakan diri belajar database di Minggu malam, sementara gamers itu mampu memaksakan diri untuk melek semalaman di depan layar komputer.



Huuuuuu........Renata sebel banget pada dirinya. Bagaimana mungkin dirinya kalah semangat dari orang yang sedang main games? “Ini tidak boleh terulang lagi. Aku harus bersemangat belajar sebesar semangat anak-anak itu main games!!!” teriaknya dalam hati (Undil –2009).